Imperialisme Hoaks Masa Pandemi
Selasa, 31 Agustus 2021 - 06:28 WIB
Kita harus berani jujur dan terbuka bahwa kenyataanya memang sebagian besar masyarakat kita belum terdidik dalam mengolah dan menentukan keakuratan suatu informasi. Mereka juga mungkin tidak mengetahui bahwa tidak semua media, dan tidak semua tokoh-tokoh di dalam masyarakat kita, memiliki sensibilitas dalam konteks penanaman nilai-nilai persatuan, di tengah suasana pandemi Covid-19 yang harusnya terbebas dari ikatan kepentingan politik temporer.
Miniminya kesadaran dan sensibilitas dalam mendalami otentisitas informasi menjadi satu dari sekian variabel potensial suburnya berita hoaks. Kita juga harus mengakui bahwa model komunikasi pemerintah yang cenderung satu arah tidak dapat terlalu diharapkan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat akan bahaya hoaks.
Terlebih saat ini terdapat fakta memperihatinkan mengenai berita hoaks di masa pandemi yang intensitasnya justru meningkat. Narasi-narasi destruktif yang mengemas pemberitaan miring terkait vaksinasi juga tidak luput dari jangkauan produsen hoaks.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mencatat sebaran berita bohong terkait Covid 19 yang terhitung dari sejak pandemi sampai Juli 2021 sebanyak 3.777. Dari jumlah tersebut, 113 di antaranya telah ditindaklanjuti ke proses hukum.
Sementara informasi hoaks yang berkaitan dengan vaksin yang tercatat sampai 16 Juli 2021 sebanyak 1.839 konten. Sebaran hoaks paling dominan ditemukan di Facebook sebanyak 1.676. Twitter menempati urutan kedua dengan sebaran hoaks sebanyak 96. Sementara YouTube dan TikTok juga tidak luput dari jangkauan berita hoaks, yang jika digabung tercatat 56 konten informasi yang tersebar di dua situs berbagi video tersebut.
Banyaknya temuan konten hoaks terkait Covid-19 agaknya berbanding lurus dengan masyarakat yang memercayainya. Saya menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat pada lapisan bawah meyakini bahwa kematian yang terus-menerus meningkat bukan karena Covid-19, melainkan karena ada pengaruh dari interaksi obat terhadap pasien. Tampak sekali mereka tidak terlalu menghiraukan Covid-19 sebagai suatu realitas yang tengah dihadapi.
Selain itu, terdapat juga masyarakat yang percaya ada kandungan berbahaya di dalam vaksin Covid-19. Hal tersebut pada gilirannya membuat mereka enggan melakukan vaksinasi. Tidak sedikit dari mereka menularkan keyakinannya tersebut kepada anggota keluarga, dan masyarakat sekelilingnya. Padahal, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerangkan bahwa 94% pasien yang meninggal karena belum divaksin. Ini mengindikasikan betapa lemahnya pencernaan masyarakat kita terhadap informasi yang diterima. Kita tentu tidak bisa membiarkan persoalan ini berlarut-larut.
Strategi Penanganan Hoaks
Pemerintah tengah gencar melakukan upaya edukasi melalui Program Nasional Literasi Digital yang menyasar di 514 kabupaten/kota. Kemkominfo menginisiasi program literasi digital dengan menggandeng pihak-pihak terkait. Program literasi digital memuat empat pilar pokok di antaranya budaya bermedia digital, (digital culture), aman bermedia (digital safety), etis bermedia (digital ethics), dan cakap bermedia (digital skills).
Program ini menyasar semua kalangan, utamanya kalangan pelajar, mahasiswa, guru, dosen, juga kalangan jurnalis. Kalangan terpelajar harus menjadi garda depan dalam menyampaikan edukasi terkait bahaya hoaks khususnya yang berkaitan dengan Covid-19. Sementara jurnalis memiliki peran yang tidak kalah krusial sebab bagaimanapun media memiliki pengaruh yang besar dalam membangun kesadaran dan persepsi publik.
Miniminya kesadaran dan sensibilitas dalam mendalami otentisitas informasi menjadi satu dari sekian variabel potensial suburnya berita hoaks. Kita juga harus mengakui bahwa model komunikasi pemerintah yang cenderung satu arah tidak dapat terlalu diharapkan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat akan bahaya hoaks.
Terlebih saat ini terdapat fakta memperihatinkan mengenai berita hoaks di masa pandemi yang intensitasnya justru meningkat. Narasi-narasi destruktif yang mengemas pemberitaan miring terkait vaksinasi juga tidak luput dari jangkauan produsen hoaks.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mencatat sebaran berita bohong terkait Covid 19 yang terhitung dari sejak pandemi sampai Juli 2021 sebanyak 3.777. Dari jumlah tersebut, 113 di antaranya telah ditindaklanjuti ke proses hukum.
Sementara informasi hoaks yang berkaitan dengan vaksin yang tercatat sampai 16 Juli 2021 sebanyak 1.839 konten. Sebaran hoaks paling dominan ditemukan di Facebook sebanyak 1.676. Twitter menempati urutan kedua dengan sebaran hoaks sebanyak 96. Sementara YouTube dan TikTok juga tidak luput dari jangkauan berita hoaks, yang jika digabung tercatat 56 konten informasi yang tersebar di dua situs berbagi video tersebut.
Banyaknya temuan konten hoaks terkait Covid-19 agaknya berbanding lurus dengan masyarakat yang memercayainya. Saya menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat pada lapisan bawah meyakini bahwa kematian yang terus-menerus meningkat bukan karena Covid-19, melainkan karena ada pengaruh dari interaksi obat terhadap pasien. Tampak sekali mereka tidak terlalu menghiraukan Covid-19 sebagai suatu realitas yang tengah dihadapi.
Selain itu, terdapat juga masyarakat yang percaya ada kandungan berbahaya di dalam vaksin Covid-19. Hal tersebut pada gilirannya membuat mereka enggan melakukan vaksinasi. Tidak sedikit dari mereka menularkan keyakinannya tersebut kepada anggota keluarga, dan masyarakat sekelilingnya. Padahal, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerangkan bahwa 94% pasien yang meninggal karena belum divaksin. Ini mengindikasikan betapa lemahnya pencernaan masyarakat kita terhadap informasi yang diterima. Kita tentu tidak bisa membiarkan persoalan ini berlarut-larut.
Strategi Penanganan Hoaks
Pemerintah tengah gencar melakukan upaya edukasi melalui Program Nasional Literasi Digital yang menyasar di 514 kabupaten/kota. Kemkominfo menginisiasi program literasi digital dengan menggandeng pihak-pihak terkait. Program literasi digital memuat empat pilar pokok di antaranya budaya bermedia digital, (digital culture), aman bermedia (digital safety), etis bermedia (digital ethics), dan cakap bermedia (digital skills).
Program ini menyasar semua kalangan, utamanya kalangan pelajar, mahasiswa, guru, dosen, juga kalangan jurnalis. Kalangan terpelajar harus menjadi garda depan dalam menyampaikan edukasi terkait bahaya hoaks khususnya yang berkaitan dengan Covid-19. Sementara jurnalis memiliki peran yang tidak kalah krusial sebab bagaimanapun media memiliki pengaruh yang besar dalam membangun kesadaran dan persepsi publik.
tulis komentar anda