Bumi yang Kian Panas dan Urgensi Etika Hijau
Jum'at, 13 Agustus 2021 - 12:18 WIB
Kata etikawan Eugene P. Odum, moral ini menjadi pedoman untuk bertindak secara benar terhadap alam sekitar. Artinya ketika punya landasan kuat akan moral lingkungan hidup, maka siapapun akan menyadari apa yang diperbuat terhadap alam itu benar adanya. Sebaliknya saat nihil akan moral itu maka tindakan terhadap lingkungan tak terkontrol.
Tindakan tidak terkontrol itu tergambarkan pada sejarah perjalananhomo sapiens.Manusia bijak ini menunjukkan keangkuhan terhadap alam. Dalam bagian perjalananhomo sapiensitu menunjukkan bahwa ada pergeseran ikhwal kedudukan dan peran manusia dari bagian alam semesta menjadi penguasa jagad. Manusia pun bersikap untuk menguasai lingkungan hidupnya. Lantaran merasa punya kekuasaan itu maka manusia pun menjadi rakus karena beranggapan apapun yang ada di lingkungannya memang tersedia untuk kepentingan hidup manusia. Kerakusan menjadikan kian gencar melancarkan eksploitasi terhadap alam. Inilah keangkuhan yang dimaksudkan.
Padahal manusia harus menyadari kedudukan yang sama di alam ini. Seharusnya manusia punya kesadaran bahwa setiap makhluk di alam semesta ini punya hak untuk hidup sehingga membuat manusia memperhitungkan segala tindakan terhadap alam. Dalam setiap tindakan manusia musti diperhitungkan dampaknya terhadap makhluk lain yang ada di jagad ini, sekalipun itu hanya virus. Saat menebang pohon atau membunuh hewan tertentu, secara moral tidak terlarang, namun akibat tindakan itu harus dipertimbangkan secara keseluruhan. Inilah konseplife-centered ethic.
Dari konsep itu berkembang menjadi teori nilai intrinsik. Berdasarkan teori ini manusia justru dituntut untuk melindungi makhluk lain di jagad ini. Kata filsuf Paul Taylor, pendukung teori ini, secara moral manusia terikat untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan makhluk lain yang non manusia. Jadi, manusia punya tanggung jawab, bukan sekadar menindas. Semakin menindas, alam kian melawan. Bahkan manusia bisa balik ditindas lewat bencana hingga pagebluk.
Kesadaran akan etika hijau ini menjadi dasar kuat dalam perilaku ekonomi.Homo economicusdiajak untuk pelan-pelan meninggalkan ekonomi egosentris dan menerapkan ekonomi ekosentris. Di tengah-tengah keduanya terdapat ekonomi hijau. Konsep ekonomi hijau inilah menjadi diskusi hangat belakangan ini, terutama sejak Program Lingkungan PBB (UNEP) memunculkannya. Alasan UNEP memunculkannya karena alasan kerusakan lingkungan, pemanasan global, dan ketidakadilan sosial.
Kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial menjadi bukti bahwa manusia cenderung serakah mempraktikkan ekonomi egosentris. Itulah sebabnya ekonomi hijau ditawarkan untuk meredam keserakahan itu. Konsepnya dipahami sebagai upaya ekonomi yang menjamin hidup manusia dan keadilan sosial sekaligus meminimalkan dampak buruk ekologis serta kelangkaan sumber daya alam. Target ekonomi hijau ini antara lain emisi karbon rendah, efisiensi sumber daya alam, dan terjaminnya kehidupan sosial.
Jadi yang musti diperkuat adalah etika hijau. Konsepreward and punishmentdianggap mampu mendorong penguatan etika hijau tersebut. Berpijak pada etika hijau ini, selanjutnya ekonomi hijau akan terbangun. Inilah yang bisa mengantisipasi prediksi IPCC tersebut.
Tindakan tidak terkontrol itu tergambarkan pada sejarah perjalananhomo sapiens.Manusia bijak ini menunjukkan keangkuhan terhadap alam. Dalam bagian perjalananhomo sapiensitu menunjukkan bahwa ada pergeseran ikhwal kedudukan dan peran manusia dari bagian alam semesta menjadi penguasa jagad. Manusia pun bersikap untuk menguasai lingkungan hidupnya. Lantaran merasa punya kekuasaan itu maka manusia pun menjadi rakus karena beranggapan apapun yang ada di lingkungannya memang tersedia untuk kepentingan hidup manusia. Kerakusan menjadikan kian gencar melancarkan eksploitasi terhadap alam. Inilah keangkuhan yang dimaksudkan.
Padahal manusia harus menyadari kedudukan yang sama di alam ini. Seharusnya manusia punya kesadaran bahwa setiap makhluk di alam semesta ini punya hak untuk hidup sehingga membuat manusia memperhitungkan segala tindakan terhadap alam. Dalam setiap tindakan manusia musti diperhitungkan dampaknya terhadap makhluk lain yang ada di jagad ini, sekalipun itu hanya virus. Saat menebang pohon atau membunuh hewan tertentu, secara moral tidak terlarang, namun akibat tindakan itu harus dipertimbangkan secara keseluruhan. Inilah konseplife-centered ethic.
Dari konsep itu berkembang menjadi teori nilai intrinsik. Berdasarkan teori ini manusia justru dituntut untuk melindungi makhluk lain di jagad ini. Kata filsuf Paul Taylor, pendukung teori ini, secara moral manusia terikat untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan makhluk lain yang non manusia. Jadi, manusia punya tanggung jawab, bukan sekadar menindas. Semakin menindas, alam kian melawan. Bahkan manusia bisa balik ditindas lewat bencana hingga pagebluk.
Kesadaran akan etika hijau ini menjadi dasar kuat dalam perilaku ekonomi.Homo economicusdiajak untuk pelan-pelan meninggalkan ekonomi egosentris dan menerapkan ekonomi ekosentris. Di tengah-tengah keduanya terdapat ekonomi hijau. Konsep ekonomi hijau inilah menjadi diskusi hangat belakangan ini, terutama sejak Program Lingkungan PBB (UNEP) memunculkannya. Alasan UNEP memunculkannya karena alasan kerusakan lingkungan, pemanasan global, dan ketidakadilan sosial.
Kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial menjadi bukti bahwa manusia cenderung serakah mempraktikkan ekonomi egosentris. Itulah sebabnya ekonomi hijau ditawarkan untuk meredam keserakahan itu. Konsepnya dipahami sebagai upaya ekonomi yang menjamin hidup manusia dan keadilan sosial sekaligus meminimalkan dampak buruk ekologis serta kelangkaan sumber daya alam. Target ekonomi hijau ini antara lain emisi karbon rendah, efisiensi sumber daya alam, dan terjaminnya kehidupan sosial.
Jadi yang musti diperkuat adalah etika hijau. Konsepreward and punishmentdianggap mampu mendorong penguatan etika hijau tersebut. Berpijak pada etika hijau ini, selanjutnya ekonomi hijau akan terbangun. Inilah yang bisa mengantisipasi prediksi IPCC tersebut.
(bmm)
tulis komentar anda