New Normal? Bagaimana Sikap Kita

Jum'at, 29 Mei 2020 - 10:25 WIB
Joni Hermana. Foto/its.co.id
Joni Hermana

Guru Besar di ITS Surabaya dan Ketua IATPI Jawa Timur

Saat ini wacana New Normal sedang gencar digaungkan Pemerintah, dan masyarakat sudah dikondisikan untuk - sebut saja; pusat bisnis, perbelanjaan, kantor, sekolah, tempat peribadatan - mulai bersiap-siap beraktivitas dengan kondisi kehidupan yang baru. Lalu pertanyaannya, amankah bagi kita?



Saya tidak akan membahas apa yang menjadi dasar keputusan Pemerintah dalam menetapkan New Normal ini, sebab itu bukan kompetensi saya, dan juga karena pastilah kompleks sekali pertimbangan yang digunakan, ibarat makan buah simalakama. Jadi biar itu jadi pertanggungjawaban moral sebagai pembuat kebijakan atas 260 juta-an rakyat Indonesia. Saya hanya akan membahas beberapa poin penting untuk menjadi perhatian kita, agar kita sebagai rakyat kebanyakan tetap sehat dan aman dari dampak akibat kebijakan di atas.

Pertama, saya ingin membahas soal timing diberlakukan New Normal dari sisi ilmu pertumbuhan mikroorganisma (termasuk tentunya virus Covid19), yaitu bahwa pola pertumbuhannya itu terdiri dari; lag phase - log phase - stationery phase - declining phase. Secara singkat bisa dijelaskan bahwa fase awal ketika virus masuk ke lingkungan dan lalu menyebar, maka itu akan berlangsung perlahan-lahan (lag phase), kemudian setelah itu akan tumbuh menyebar dengan cepat, bahkan secara eksponensial (log phase) sejalan dengan kemampuan manusia beradaptasi. Tahap selanjutnya, karena mulai ditemukannya metoda mengatasi virus tersebut maka pertumbuhan sebarannya akan melambat sehingga mencapai puncaknya (stationery phase), dan barulah setelah itu akan terjadi fase penurunan (declining phase) yang disebabkan karena penemuan vaksin yang bisa ‘membunuh’ virus tersebut dan manusia juga mulai terbiasa alias imun, sehingga terjadilah kondisi yang landai relatif ajeg besarannya. Pada kondisi inilah sebetulnya yang disebut kondisi New Normal, yaitu sebuah tatanan kesetimbangan ekosistem yang baru dimana keberadaan virus Covid19 sudah menjadi bagian dari kehidupan dapat ditoleransi manusia.

Apabila dilihat dari kurva pertumbuhan kematian akibat Covid19 (terlampir) yang diambil dari awal kejadian ditemukannya kasus Covid19 di berbagai negara di awal Januari 2020, terlihat bahwa negara kita masih dalam fase kedua (log phase) artinya masa pertumbuhan sebaran Civid19 saat ini justru sedang kencang-kencangnya sehingga resikonya malah sedang maksimal. Coba bandingkan dengan beberapa negara di Eropa yang sempat hits karena jumlah korban kematian yang sangat tinggi, yaitu Italia dan Spanyol. Mereka sudah mulai melewati fase stationery, dan bahkan sekarang sudah menurun menuju kesetimbangan baru (New Normal), jadi sangat wajar kalau mereka lalu memutuskan untuk membuka kembali aktivitas rakyatnya. Atas pertimbangan inilah menurut saya, kita masih belum saatnya sebenarnya membuka diri dan masih harus sabar menunggu benar-benar aman. Ini pertimbangan dari sisi keilmuan saja.

Kedua, hal yang juga ingin saya bahas adalah soal adanya pernyataan bahwa seolah Covid19 ini adalah flu biasa yang tidak perlu terlalu disikapi berlebih. Bahkan Trump mengatakan lebih banyak korban akibat penyakit maupun sebab lain yang jauh lebih besar dari korban Covid19. Benarkah? Data pertumbuhan jumlah kematian akibat berbagai faktor penyebabnya, dari hasil studi John Hopkins, menunjukkan fakta sebaliknya. Data yang diamati secara dinamis dalam periode waktu yang sama, yaitu sejak awal Januari 2020 sampai akhir Mei 2020, memperlihatkan betapa jumlah kematian akibat Covid19, jauh melebihi kematian yang diakibatkan oleh faktor penyebab lainnya. Artinya Covid19 ini jangan dianggap enteng, dia benar-benar the number one killer di dunia!

Ketiga, yang harus dipahami juga adalah sekali virus muncul dan masuk ke lingkungan kehidupan kita, maka dia tidak akan pernah hilang. Ingat kejadian pandemik yang timbul beberapa abad yang lalu, misalnya selain virus Covid19 saat ini )dikenal juga sebagai virus SARS-CoV-2), berbagai virus flu (H3N2/flu Hongkong, H1N1/flu Spanyol, H2N2/flu Asia), bahkan pes yang disebabkan bakteri, semua mikroorganisme itu juga masih ada saat ini! Artinya bahwa keberadaan virus tetap akan menjadi ancaman sepanjang kehidupan manusia. Korban kematian akan dapat diperkecil apabila sudah ada vaksinnya. Masalahnya sampai saat ini, masih belum benar-benar ditemukan obat penawarnya yang paten. Semua masih dalam proses mencari dan meneliti. Itu artinya bahwa kita masih belum benar-benar aman dari Covid19.

Atas pertimbangan diatas, saya menghimbau agar masyarakat - khususnya keluarga - dapat dengan bijak menyikapi keputusan Pemerintah yang terlalu dini ini agar tidak menjadi korban dari sikap kita sendiri yang kurang waspada. Tetap berlakukanlah prosedur PSBB pada anggota keluarga secara disiplin jangan terpengaruh dengan turut dalam keramaian yang masih beresiko tinggi. Ingat kejadian di Spanyol saat terjadi pandemi flu abad yang lalu, korban kematian terbanyak justru terjadi pada saat gelombang kedua, yaitu saat masyarakat mulai diperbolehkan keluar dan menjalankan aktivitas saat gelombang pertama pandemik flu belum benar-benar usai.

Ada data yang menarik lagi, yaitu dari reportase NYTimes, ternyata walaupun korban kematian akibat Covid19 di US terbanyak di dunia, namun lebih dari 50% korbannya adalah mereka yang di atas usia 60 tahun, sementara itu walaupun dari jumlah korban kematian Covid19 di Indonesia jauh lebih kecil dari US, namun usia korban di bawah 60 tahun lebih besar dari 50%. Artinya semua anggota keluarga kita harus benar-benar dijaga, karena virus ini tidak mengenal usia jika di Indonesia! Kunci utamanya adalah bersabar. Hanya itu yang bisa kita lakukan jika kita atau anggota keluarga kita tidak mau jadi tumbal dari kondisi yang belum mencapai kesetimbangan baru alias the real new normal ini. Semoga.
(ysw)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More