Menyemai Bibit Unggul Pelajar Indonesia
Kamis, 12 Agustus 2021 - 05:55 WIB
Masalahnya, ada stigma di masyarakat mereka yang bisa bertualang di kompetisi internasional itu siswa-siswi dari sekolah favorit, berada di kota besar, dan berbiaya mahal.
Wasekjen Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Dudung Abdul Qadir mengatakan pemerintah perlu mendorong sekolah-sekolah negeri untuk melengkapi sarana dan prasarana. Kemudian, pemerintah juga harus meningkatkan kualitas dan tata kelola gurunya.
“Artinya, dimulai dari hulu ke hilir. Bagaimana menyiapkan perguruan tinggi bagi calon guru. Sudah hebatkah dosen-dosen, sarana dan prasana, budaya, dan iklim untuk mengembangkan (guru) di perguruan tinggi. Ini harus menjadi perhatian bersama,” ujarnya.
Menurutnya, saat ini lembaga pendidikan tinggi tempat menempa para calon guru memiliki peringkat yang rendah. Dudung menyatakan perlu membangun sistem kolaborasi yang baik antara sekolah dan orang tua untuk mendorong prestasi para siswa. Sekolah swasta, menurutnya, terbiasa melakukan ini, terutama dari sisi biaya. Mereka juga dilatih orang para ahli di bidangnya.
Sementara di sekolah negeri, ini bisa dianggap pungutan liar (pungli). “Sekarang ada dana BOS yang sudah diatur untuk ini dan itu. Sementara ketika ada hal-hal yang sifatnya kreativitas dan inovasi sekolah, kadang-kadang kita sulit melakukan. Takut menjadi temuan dan sebagainya. Jadi itu satu bukti ada disparitas pelayanan pendidikan,” tuturnya.
PGRI mendorong pemerintah cepat dalam melakukan intervensi terhadap sejumlah masalah di daerah-daerah, seperti kebutuhan dana, kompetensi guru, sarana dan prasarana, serta infrastruktur. Dengan demikian, pemerataan kualitas pendidikan dan prestasi siswa antara kota-kota besar, terutama Jawa, dengan pelosok bisa terjadi.
Asep Sukmayadi membantah pelajar berprestasi di kancah internasional hanya berasal dari sekolah favorit dan mahal. Berdasarkan data dan pemetaan, menurutnya, pelajar-pelajar Papua kuat di bidang cerita pendek. Kemudian, pelajar dari Maluku dan Aceh sangat kuat di penelitian ilmiah.
“Kami menginginkan kegiatan dan program (yang ada) memberikan kesempatan seluas-luasnya siswa untuk berprestasi,” ucapnya.
Pengamat pendidikan Indra Charismiadji mengungkapkan prestasi di kompetisi akademik internasional sangat berbeda dengan kompetisi olahraga. Dalam kompetisi akademik, yang memperoleh medali emas, perak, atau perunggu bisa lebih dari satu. Beda dengan lomba lari, yang menang medali emas hanya diberikan kepada yang tercepat. Menurutnya dalam berbagai kompetisi akademik itu yang harus diutamakan bukan kompetisinya, tapi bagaimana para pelajar itu mempunyai pengalaman internasional.
“Medali emas di internasional bukan berarti paling hebat, tetapi memang salah satu yang dihargai. Tujuannya bukan mencari yang paling hebat. Beda kayak lomba lari, pegang medali emas cuma satu (orang),” ujarnya.
Wasekjen Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Dudung Abdul Qadir mengatakan pemerintah perlu mendorong sekolah-sekolah negeri untuk melengkapi sarana dan prasarana. Kemudian, pemerintah juga harus meningkatkan kualitas dan tata kelola gurunya.
“Artinya, dimulai dari hulu ke hilir. Bagaimana menyiapkan perguruan tinggi bagi calon guru. Sudah hebatkah dosen-dosen, sarana dan prasana, budaya, dan iklim untuk mengembangkan (guru) di perguruan tinggi. Ini harus menjadi perhatian bersama,” ujarnya.
Menurutnya, saat ini lembaga pendidikan tinggi tempat menempa para calon guru memiliki peringkat yang rendah. Dudung menyatakan perlu membangun sistem kolaborasi yang baik antara sekolah dan orang tua untuk mendorong prestasi para siswa. Sekolah swasta, menurutnya, terbiasa melakukan ini, terutama dari sisi biaya. Mereka juga dilatih orang para ahli di bidangnya.
Sementara di sekolah negeri, ini bisa dianggap pungutan liar (pungli). “Sekarang ada dana BOS yang sudah diatur untuk ini dan itu. Sementara ketika ada hal-hal yang sifatnya kreativitas dan inovasi sekolah, kadang-kadang kita sulit melakukan. Takut menjadi temuan dan sebagainya. Jadi itu satu bukti ada disparitas pelayanan pendidikan,” tuturnya.
PGRI mendorong pemerintah cepat dalam melakukan intervensi terhadap sejumlah masalah di daerah-daerah, seperti kebutuhan dana, kompetensi guru, sarana dan prasarana, serta infrastruktur. Dengan demikian, pemerataan kualitas pendidikan dan prestasi siswa antara kota-kota besar, terutama Jawa, dengan pelosok bisa terjadi.
Asep Sukmayadi membantah pelajar berprestasi di kancah internasional hanya berasal dari sekolah favorit dan mahal. Berdasarkan data dan pemetaan, menurutnya, pelajar-pelajar Papua kuat di bidang cerita pendek. Kemudian, pelajar dari Maluku dan Aceh sangat kuat di penelitian ilmiah.
“Kami menginginkan kegiatan dan program (yang ada) memberikan kesempatan seluas-luasnya siswa untuk berprestasi,” ucapnya.
Pengamat pendidikan Indra Charismiadji mengungkapkan prestasi di kompetisi akademik internasional sangat berbeda dengan kompetisi olahraga. Dalam kompetisi akademik, yang memperoleh medali emas, perak, atau perunggu bisa lebih dari satu. Beda dengan lomba lari, yang menang medali emas hanya diberikan kepada yang tercepat. Menurutnya dalam berbagai kompetisi akademik itu yang harus diutamakan bukan kompetisinya, tapi bagaimana para pelajar itu mempunyai pengalaman internasional.
“Medali emas di internasional bukan berarti paling hebat, tetapi memang salah satu yang dihargai. Tujuannya bukan mencari yang paling hebat. Beda kayak lomba lari, pegang medali emas cuma satu (orang),” ujarnya.
tulis komentar anda