Menyemai Bibit Unggul Pelajar Indonesia

Kamis, 12 Agustus 2021 - 05:55 WIB
loading...
Menyemai Bibit Unggul...
Pendidikan yang merata di seluruh wilayah Tanah Air menjadi kunci menciptakan SDM berkualitas. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Para pelajar Indonesia kerap mencetak berbagai prestasi di berbagai kompetisi internasional. Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi (Kemendikbudristek) diminta merancang cetak biru untuk pembenahan dan pemerataan kualitas pendidikan .

Dalam dua dekade terakhir kabar pelajar Indonesia meraih medali emas, perak, dan perunggu di berbagai kompetisi, seperti olimpiade sains , nyaring terdengar. Misalnya, awal tahun ini, pelajar Indonesia menyabet tiga medali emas, tiga perak, dan perunggu di International Zhautykov Olympiad (IzhO) ke 17 di Kazakhstan.

Mereka yang memperoleh medali emas, antara lain, Stanve Avrillium Widjaja dari SMA IPEKA Plus BSD (bidang matematika) dan Peter Addison Sadhani dari SMA Santo Aloysius Bandung (fisika). Peraih medali perak: Andrew Jenong dari SMAK 5 Penabur Jakarta (matematika) dan Fernando Nathaniel Sutanto dri SMA Santa Maria 1 Cirebon (komputer).

Kemudian, Edbert Halim dari SMA Santa Maria 1 Cirebon menyabet medali perunggu di bidang komputer. Pada Juni lalu, Muhammad Thariq Aulia Rahman Lubis dari Madrasah Aliyah (MA) Darul Mursyid dan Naila Farikha dri Madrasah Tsanawiyah Negeri I jepara meraih medali emas di olimpiade matematika internasional di Hong Kong.



Plt Kepala Pusat Prestasi Nasional (Puspresnas) Kemendikbudristek Asep Sukmayadi mengatakan pihaknya tidak hanya memperhatikan dan mendorong prestasi akademik saja. Pemerintah juga mengembangkan semua potensi lini kecerdasan anak.

Puspresnas mengembangkan empat klaster kecerdasan anak-anak, yakni saintek, bahasa dan literasi, vokasi dan kewirausahaan, dan olahraga. Dia menyatakan penyiapan sumber daya manusia (SDM) unggul dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya, pengembangan manajemen talenta nasional.

“Kita juga inginkan ini menjadi inspirasi karena anak-anak berprestasi tidak semuanya sama dan bakatnya berbeda-beda. Setiap capaian prestasi apapun, di bidang sains, olahraga, seni, bahasa, lomba debat bahasa inggris, kita hargai. Yang penting, anak-anak ini menjadi inspirasi untuk semangat belajar dan mendorong ketekunan untuk mencapai prestasi sendiri,” ujarnya saat dihubungi Koran SINDO, Selasa (10/8/2021).



Asep menerangkan penyaringan terhadap pelajar yang akan turun di ajang-ajang internasional dilakukan secara berjenjang. Seleksi awal tentunya dilakukan di sekolah masing-masing. Para pelajar biasanya akan berlaga di kompetisi tingkat kabupaten/kota. Kemudian, naik ke provinsi. “Kami melibatkan sekolah dan dinas pendidikan. Kita bergotong royong untuk mengidentifikasi talenta-talenta,” tuturnya.

Dalam identifikasi Puspresnas Kemendikbudristek ada sekitar 150.000-250.000 pelajar yang memiliki minat dan prestasi di sembilan mata pelajaran. Bahkan, ada anak yang memiliki minat pada bidang yang tidak ada pelajarannya di sekolah, seperti astronomi. Mereka biasanya belajar otodidak dan dibimbing oleh sekolah. Dari jumlah tersebut, setelah melalui serangkaian kompetisi di tingkat nasional biasanya tersisa 400-500 orang. Lalu, diambil lagi 30 terbaik di masing-masing bidang. Mereka belum aman karena harus masih menjalani pembinaan dan seleksi lanjutan. Nantinya, akan dipilih 5-6 pelajar untuk dibimbing oleh para ahli dari perguruan tinggi.

Bak seorang atlet, mereka pun harus menjalani pelatnas. Beberapa kota yang sering dijadikan pusat pelatihan adalah Jakarta, Bandung, Malang, dan Bogor. Di luar sains, Kemendikbudristek melebarkan pemantauan dan pembinaannya pada minat kewirausahaan siswa-siswi Indonesia. Saban tahun, ada 1.800-2.000 karya, seperti fesyen, kuliner, kriya, dan games, yang ikut tival Inovasi dan Kewirausahaan Siswa Indonesia.

“Kita tidak semata-mata mencari yang genius, tapi anak yang kreatif,” tegas Asep.



Peraih medali emas di International Olympiad in Informatics (IOI) tahun 2020 dan 2021 Pikatan Arya Bramajati membenarkan proses seleksi yang harus dilalui sejak di tingkat daerah. Sebelum masuk tim olimpiade informatika nasional, Ia mengikuti Olimpiade Sains Nasional (OSN). Kemudian, ia masuk pelatnas. Di pelatnas, dia digembleng oleh para alumni siswa berprestasi di olimpiade internasional dan sejumlah dosen dari UI, Binus, dan sebagainya.

Peraih medali perak di Asia Pacific Informatics Olympiad 2020 dan 2021 menceritakan proses pertandingan di olimpiade biasanya panitia memberikan soal dalam bentuk cerita. Soalnya sebanyak tiga buah dan harus diselesaikan dalam waktu lima jam.

“Tugas membuat program untuk menyelesaikan masalah itu. Semakin banyak kasus yang bisa diselesaikan, makin banyak poin didapat,” ujarnya.

Memiliki kemampuan TI dan sedang banyak dimanfaatkan masyarakat di tengah pandemi Covid-19, Pikatan sudah berancang-ancang untuk mengaplikasikan ilmunya tersebut. Pria yang baru diterima di UI itu salah satu sudah membayangkan membuat aplikasi yang bisa membantu masyarakat, entah di bidang pertanian atau perkebunan. “Belum tahu mau menjadi apa. Harusnya nyambung ke informatika,” ucapnya.

Menyelesaikan Disparitas
Masalahnya, ada stigma di masyarakat mereka yang bisa bertualang di kompetisi internasional itu siswa-siswi dari sekolah favorit, berada di kota besar, dan berbiaya mahal.

Wasekjen Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Dudung Abdul Qadir mengatakan pemerintah perlu mendorong sekolah-sekolah negeri untuk melengkapi sarana dan prasarana. Kemudian, pemerintah juga harus meningkatkan kualitas dan tata kelola gurunya.

“Artinya, dimulai dari hulu ke hilir. Bagaimana menyiapkan perguruan tinggi bagi calon guru. Sudah hebatkah dosen-dosen, sarana dan prasana, budaya, dan iklim untuk mengembangkan (guru) di perguruan tinggi. Ini harus menjadi perhatian bersama,” ujarnya.

Menurutnya, saat ini lembaga pendidikan tinggi tempat menempa para calon guru memiliki peringkat yang rendah. Dudung menyatakan perlu membangun sistem kolaborasi yang baik antara sekolah dan orang tua untuk mendorong prestasi para siswa. Sekolah swasta, menurutnya, terbiasa melakukan ini, terutama dari sisi biaya. Mereka juga dilatih orang para ahli di bidangnya.

Sementara di sekolah negeri, ini bisa dianggap pungutan liar (pungli). “Sekarang ada dana BOS yang sudah diatur untuk ini dan itu. Sementara ketika ada hal-hal yang sifatnya kreativitas dan inovasi sekolah, kadang-kadang kita sulit melakukan. Takut menjadi temuan dan sebagainya. Jadi itu satu bukti ada disparitas pelayanan pendidikan,” tuturnya.

PGRI mendorong pemerintah cepat dalam melakukan intervensi terhadap sejumlah masalah di daerah-daerah, seperti kebutuhan dana, kompetensi guru, sarana dan prasarana, serta infrastruktur. Dengan demikian, pemerataan kualitas pendidikan dan prestasi siswa antara kota-kota besar, terutama Jawa, dengan pelosok bisa terjadi.

Asep Sukmayadi membantah pelajar berprestasi di kancah internasional hanya berasal dari sekolah favorit dan mahal. Berdasarkan data dan pemetaan, menurutnya, pelajar-pelajar Papua kuat di bidang cerita pendek. Kemudian, pelajar dari Maluku dan Aceh sangat kuat di penelitian ilmiah.

“Kami menginginkan kegiatan dan program (yang ada) memberikan kesempatan seluas-luasnya siswa untuk berprestasi,” ucapnya.

Pengamat pendidikan Indra Charismiadji mengungkapkan prestasi di kompetisi akademik internasional sangat berbeda dengan kompetisi olahraga. Dalam kompetisi akademik, yang memperoleh medali emas, perak, atau perunggu bisa lebih dari satu. Beda dengan lomba lari, yang menang medali emas hanya diberikan kepada yang tercepat. Menurutnya dalam berbagai kompetisi akademik itu yang harus diutamakan bukan kompetisinya, tapi bagaimana para pelajar itu mempunyai pengalaman internasional.

“Medali emas di internasional bukan berarti paling hebat, tetapi memang salah satu yang dihargai. Tujuannya bukan mencari yang paling hebat. Beda kayak lomba lari, pegang medali emas cuma satu (orang),” ujarnya.

Indra mengatakan kualitas pendidikan di sekolah swasta tidak lebih baik dari negeri. Bedanya, mereka yang sekolah swasta favorit dan mahal pasti memiliki orang tua yang berpenghasilan besar. Mereka bisa merogoh kocek sendiri untuk mengirimkan anak-anaknya berkompetisi di luar negeri. Lulusan University of Toledo itu menceritakan sebuah pengalaman buruk saat mendampingi tim olimpiade robotik. Tim itu berhasil memperoleh perunggu. Setelah pulang diantara tim ini saling bercerita dengan pelajar dari negara lain. Tim dari Thailand yang sama memperoleh medali perunggu disambut pejabat dari kementerian pendidikannya. Karena ini kompetisi robotik, tentunya tim membawa sejumlah peralatan.

“Nah Indonesia disambut juga sama pemerintah, tapi bea cukai. Ditahan peralatan robotik. Jadi bisa dilihat kepedulian pemerintah terhadap dunia pendidikan,” kenangnya.

Dunia pendidikan Indonesia memang sejak lama dikritik karena memiliki sejumlah permasalahan yang belum terselesaikan. Maka, Ia mendorong pemerintah untuk membuat cetak biru pendidikan. Cetak biru itu akan memetakan kebutuhan dunia pendidikan seperti apa dan bagaimana cara memenuhi. Indra mencontohkan satu masalah yang tak pernah selesai sampai sekarang adalah kejelasan nasib guru honorer. Padahal, guru merupakan modal utama menciptakan SDM. “Jadi lucu satu-satunya negara (yang ada guru honorer) itu Indonesia,” ucapnya.

Indra menjelaskan pembenahan dunia pendidikan tidak akan selesai pada kepemimpinan satu menteri saja. Perlu ada program jangka panjang. Dia mencontohkan pada 2011, Malaysia menargetkan digitalisasi 10 ribu sekolah selama 15 tahun. “Apalagi kita bicara 266 ribu sekolah. Itu yang 10 ribu sekolah dan negaranya lebih maju dari kita mengatakan butuh 15 tahun. Itupun gagal. Kita enggak punya planning untuk 266 ribu sekolah, mau gimana?” pungkasnya.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4998 seconds (0.1#10.140)