Sistem Perpajakan Global di Era New Normal
Jum'at, 29 Mei 2020 - 08:25 WIB
Digitalisasi Administrasi Perpajakan
Kecanggihan ICT dianggap sebagai faktor pemicu terjadinya transformasi dalam sistem perpajakan global dan hal tersebut mengakibatkan seluruh atau hampir seluruh otoritas pajak mengalami asimetri informasi karena memiliki keterbatasan informasi mengenai seluk beluk usaha wajib pajaknya, terutama mereka yang melakukan transaksi ekonomi lintas negara. Situasi ini sungguh ironis dan dilematis bagi otoritas pajak karena hal tersebut justru timbul di era revolusi industri 4.0. Selain itu, dengan ICT, pelaku UMKM dapat menjadi pelaku usaha global sehingga jumlah pelaku usaha global cenderung bertambah dari tahun ke tahun dan di sisi lain hal tersebut menimbulkan tambahan beban administrasi pajak bagi otoritas pajak dalam memberikan pelayanan perpajakan dan pengawasannya.
Reformasi administrasi pajak di banyak negara dilakukan dengan tujuan modernisasi administrasi perpajakannya menjadi berbasis ICT. Misalnya Kamboja yang dapat merealisasi penerimaan jauh melebihi target pasca-reformasi administrasi perpajakannya. Digitalisasi administrasi perpajakan selain memberikan kemudahan kepada wajib pajak dalam mengakses pelayanan perpajakan, juga meningkatkan kapasitas administrasi pajak karena mampu mengoptimalkan sumber daya yang ada (leveraging internal resources) sehingga dapat menciptakan biaya administrasi yang murah bagi otoritas pajak di satu sisi dan di sisi lain menekan biaya kepatuhan bagi wajib pajak. Otoritas pajak yang dapat menjaga keseimbangan antara biaya kepatuhan dan beban administrasi pada level yang rendah cenderung menikmati tingkat kepatuhan wajib pajak yang tinggi, misalnya Singapura dan Selandia Baru.
Pertukaran Informasi untuk Tujuan Perpajakan
Pertukaran informasi yang dilakukan berdasarkan perjanjian internasional (seperti P3B, Convention on Mutual Assistance in Tax Matters/MAC, Multilateral Competent Authority Agreement/MCAA) dapat menghasilkan data dan informasi yang berguna bagi otoritas pajak dalam mengungkap secara jelas transaksi ekonomi antarnegara/yurisdiksi atau pembayaran ke luar negeri yang dilakukan wajib pajaknya dan penerima manfaat yang sebenarnya (beneficial owner).
Pertukaran informasi keuangan untuk tujuan perpajakan sudah dilakukan lebih dari 10 tahun yang lalu sejak berdirinya Global Forum on Transparancy and Exchange of Information (GFTEI) yang kini beranggotakan 161 negara/yurisdiksi dan Indonesia merupakan salah satu anggotanya sejak 2009. Pertukaran informasi antarnegara/yurisdiksi sangat membantu otoritas pajak dalam menilai kebenaran dan kewajaran suatu transaksi ekonomi lintas negara, misalnya kegiatan ekspor atau impor, pembayaran royalti, bunga, atau dividen.
Informasi yang dipertukarkan antara lain berupa rekening keuangan nasabah di lembaga keuangan, informasi akuntansi, termasuk laporan keuangan. Selanjutnya pertukaran informasi dapat dilakukan secara otomatis (automatic EOI), spontan (spontaneous EOI), atau berdasarkan permintaan (EOI on request). Selanjutnya data dan informasi yang dipertukarkan harus dapat dijaga keamanan dan kerahasiaannya (safeguards and confidentiality) pada saat dipertukarkan maupun pada saat disimpan atau dimanfaatkan. Dengan teknologi informasi pelaksanaan pertukaran informasi dapat dilaksanakan sesuai dengan standar internasional. Misalnya pada AEOI digunakan transmisi khusus yang dikenal dengan common transmission system untuk mengirimkan atau menerima data rekening keuangan nasabah yang lazimnya dilakukan pada bulan September setiap tahunnya.
Tantangan yang muncul dalam pertukaran informasi adalah big data management dan bagaimana data dan informasi yang diterima maupun yang dikirimkan kepada mitra otoritas pajak dapat dikelola dengan baik untuk tujuan perpajakan dengan memperhatikan standar keamanan dan kerahasiaan data. Dengan ICT, tantangan tersebut dapat direspons dan diatasi dengan baik.
Dalam new normal, ICT akan dimanfaatkan secara luas dan masif dalam administrasi perpajakan. Misalnya seluruh atau hampir seluruh pelayanan perpajakan dan pengawasan kepatuhan sudah terlayani secara digital (automation process for enhancing tax services dan compliance) semisal e-filling, e-billing, dan e-reporting. Oleh karena itu banyak negara/yurisdiksi akan segera melaksanakan atau menuntaskan program modernisasi administrasi perpajakannya menuju digitalisasi administrasi perpajakan. Selain lebih efisien dan efektif, dengan ICT kapasitas administrasi perpajakan dapat ditingkatkan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada.
Selain itu digitalisasi administrasi perpajakan diperlukan untuk mengimplementasikan kerja sama dan kolaborasi internasional dalam rangka memerangi dan mencegah praktik perencanaan pajak yang agresif (agressive tax planning) yang semakin kompleks dan berkembang dari tahun ke tahun. Dengan ICT pertukaran informasi rekening nasabah secara otomatis dapat dilaksanakan sesuai standar internasional seperti common reporting standard.
Kecanggihan ICT dianggap sebagai faktor pemicu terjadinya transformasi dalam sistem perpajakan global dan hal tersebut mengakibatkan seluruh atau hampir seluruh otoritas pajak mengalami asimetri informasi karena memiliki keterbatasan informasi mengenai seluk beluk usaha wajib pajaknya, terutama mereka yang melakukan transaksi ekonomi lintas negara. Situasi ini sungguh ironis dan dilematis bagi otoritas pajak karena hal tersebut justru timbul di era revolusi industri 4.0. Selain itu, dengan ICT, pelaku UMKM dapat menjadi pelaku usaha global sehingga jumlah pelaku usaha global cenderung bertambah dari tahun ke tahun dan di sisi lain hal tersebut menimbulkan tambahan beban administrasi pajak bagi otoritas pajak dalam memberikan pelayanan perpajakan dan pengawasannya.
Reformasi administrasi pajak di banyak negara dilakukan dengan tujuan modernisasi administrasi perpajakannya menjadi berbasis ICT. Misalnya Kamboja yang dapat merealisasi penerimaan jauh melebihi target pasca-reformasi administrasi perpajakannya. Digitalisasi administrasi perpajakan selain memberikan kemudahan kepada wajib pajak dalam mengakses pelayanan perpajakan, juga meningkatkan kapasitas administrasi pajak karena mampu mengoptimalkan sumber daya yang ada (leveraging internal resources) sehingga dapat menciptakan biaya administrasi yang murah bagi otoritas pajak di satu sisi dan di sisi lain menekan biaya kepatuhan bagi wajib pajak. Otoritas pajak yang dapat menjaga keseimbangan antara biaya kepatuhan dan beban administrasi pada level yang rendah cenderung menikmati tingkat kepatuhan wajib pajak yang tinggi, misalnya Singapura dan Selandia Baru.
Pertukaran Informasi untuk Tujuan Perpajakan
Pertukaran informasi yang dilakukan berdasarkan perjanjian internasional (seperti P3B, Convention on Mutual Assistance in Tax Matters/MAC, Multilateral Competent Authority Agreement/MCAA) dapat menghasilkan data dan informasi yang berguna bagi otoritas pajak dalam mengungkap secara jelas transaksi ekonomi antarnegara/yurisdiksi atau pembayaran ke luar negeri yang dilakukan wajib pajaknya dan penerima manfaat yang sebenarnya (beneficial owner).
Pertukaran informasi keuangan untuk tujuan perpajakan sudah dilakukan lebih dari 10 tahun yang lalu sejak berdirinya Global Forum on Transparancy and Exchange of Information (GFTEI) yang kini beranggotakan 161 negara/yurisdiksi dan Indonesia merupakan salah satu anggotanya sejak 2009. Pertukaran informasi antarnegara/yurisdiksi sangat membantu otoritas pajak dalam menilai kebenaran dan kewajaran suatu transaksi ekonomi lintas negara, misalnya kegiatan ekspor atau impor, pembayaran royalti, bunga, atau dividen.
Informasi yang dipertukarkan antara lain berupa rekening keuangan nasabah di lembaga keuangan, informasi akuntansi, termasuk laporan keuangan. Selanjutnya pertukaran informasi dapat dilakukan secara otomatis (automatic EOI), spontan (spontaneous EOI), atau berdasarkan permintaan (EOI on request). Selanjutnya data dan informasi yang dipertukarkan harus dapat dijaga keamanan dan kerahasiaannya (safeguards and confidentiality) pada saat dipertukarkan maupun pada saat disimpan atau dimanfaatkan. Dengan teknologi informasi pelaksanaan pertukaran informasi dapat dilaksanakan sesuai dengan standar internasional. Misalnya pada AEOI digunakan transmisi khusus yang dikenal dengan common transmission system untuk mengirimkan atau menerima data rekening keuangan nasabah yang lazimnya dilakukan pada bulan September setiap tahunnya.
Tantangan yang muncul dalam pertukaran informasi adalah big data management dan bagaimana data dan informasi yang diterima maupun yang dikirimkan kepada mitra otoritas pajak dapat dikelola dengan baik untuk tujuan perpajakan dengan memperhatikan standar keamanan dan kerahasiaan data. Dengan ICT, tantangan tersebut dapat direspons dan diatasi dengan baik.
Dalam new normal, ICT akan dimanfaatkan secara luas dan masif dalam administrasi perpajakan. Misalnya seluruh atau hampir seluruh pelayanan perpajakan dan pengawasan kepatuhan sudah terlayani secara digital (automation process for enhancing tax services dan compliance) semisal e-filling, e-billing, dan e-reporting. Oleh karena itu banyak negara/yurisdiksi akan segera melaksanakan atau menuntaskan program modernisasi administrasi perpajakannya menuju digitalisasi administrasi perpajakan. Selain lebih efisien dan efektif, dengan ICT kapasitas administrasi perpajakan dapat ditingkatkan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada.
Selain itu digitalisasi administrasi perpajakan diperlukan untuk mengimplementasikan kerja sama dan kolaborasi internasional dalam rangka memerangi dan mencegah praktik perencanaan pajak yang agresif (agressive tax planning) yang semakin kompleks dan berkembang dari tahun ke tahun. Dengan ICT pertukaran informasi rekening nasabah secara otomatis dapat dilaksanakan sesuai standar internasional seperti common reporting standard.
tulis komentar anda