Sistem Perpajakan Global di Era New Normal
Jum'at, 29 Mei 2020 - 08:25 WIB
Prof Dr John Hutagaol
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Kemenkeu & Ketua Kompartemen Akuntan Pajak Ikatan Akuntan Indonesia-KAPj IAI
Perubahan merupakan suatu keniscayaan. New Normal merupakan paradigma hidup baru yang berdamai dengan Covid-19 (seperti hidup sesuai dengan protokol kesehatan, yaitu pola hidup sehat dan bersih serta memakai masker) sepanjang vaksinnya belum ditemukan. New normal telah mengubah manusia dalam bersosialisasi, berinteraksi, berkomunikasi, dan bekerja serta berusaha. Di sisi lain New normal semakin menguatkan ketergantungan manusia pada teknologi informasi dan komunikasi (information-and communication Technology/ICT). Dengan ICT, new normal akan mentransformasi kehidupan manusia menjadi lebih praktis, efisien, dan fleksibel. New normal identik dengan era ICT.
Pada perspektif perpajakan di era new normal, ICT dianggap sebagai roh perubahan (spirit of change) karena dampak disruptifnya terhadap sistem perpajakan global dan sistem perpajakan pada tiap negara/yurisdiksi. Walaupun Covid-19 belum berakhir, pembicaraan mengenai sistem perpajakan masa depan mulai dibahas pada forum internasional. Pembahasan mengenai dampak disruptif ICT terhadap kebijakan dan administrasi perpajakan tengah berlangsung, terutama di berbagai kelompok kerja (working party) dan gugus tugas (task force) serta forum on tax administration yang ada pada Organization for Economic Cooperation and Development(OECD) dan di berbagai asosiasi regional administrasi perpajakan seperti African Tax Administration Forum (ATAF), InterAmerican Center of Tax Administration(CIAT), Intra-European Organization of Tax Administration(IOTA), United Nations (UN), dan Study Group on Asian Tax Administration and Research (SGATAR) serta oleh lembaga keuangan internasional seperti World Bank, Asian Development Bank (ADB), dan International Monetary Fund (IMF). Di masa Covid-19, pembahasan dilakukan secara daring yang dipandu oleh OECD.
Diberlakukannya pembatasan sosial menjadi pemicu kesadaran otoritas pajak di dunia atas kontribusi besar ICT terhadap keberlangsungan administrasi perpajakan. Pada saat otoritas pajak memberlakukan protokol kesehatan sehingga seluruh atau sebagian besar pegawainya bekerja di rumah (working from home/WFH), di sisi lain pelayanan dan pengawasan kepada wajib pajak harus tetap berjalan sebagaimana mestinya. Terbukti ICT (seperti jaringan internet, aplikasi komputer, telepon, atau faksimile) mampu menjembataninya. Pada masa pembatasan sosial, dengan ICT otoritas pajak dapat memberikan pelayanan perpajakan kepada wajib pajak seperti pemrosesan permohonan untuk memanfaatkan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B), permohonan untuk mendapat certificate of domicile (CoD), dan permohonan restitusi PPN. Bahkan pemberian CoD dengan tanda tangan elektronik telah dilakukan di beberapa negara seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Dengan ICT, pelayanan perpajakan tetap dapat berlangsung sebagaimana saat belum timbulnya Covid-19. Hanya diperlukan sedikit penyesuaian dengan kondisi pembatasan sosial karena pelayanan diberikan oleh pegawai otoritas pajak melalui rumah atau tempat kediaman masing-masing dengan menggunakan jaringan yang terjamin keamanan dan kerahasiaannya.
Kebijakan Pajak atas Ekonomi Digital
Dampak disruptif ICT terhadap ekonomi melahirkan lingkungan ekonomi baru yang dikenal dengan sebutan ekonomi digital. Kegiatan ekonomi digital yang bercirikan scale without mass, relliance on intellectual property, dan data mining and user participationdapat berlangsung tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu serta tidak memerlukan kehadiran fisik. Ciri khas yang membedakannya dengan transaksi ekonomi konvensional tersebut menimbulkan permasalahan baru di bidang perpajakan internasional, yaitu bagaimana menentukan hak pemajakan baru terkait dengan kegiatan ekonomi digital yang belum diatur dalam norma pajak internasional yang berlaku saat ini. Selain itu merumuskan metode yang sesuai untuk mengalokasikan laba usaha dari pelaku usaha global secara adil dan memformulasikan ketentuan apa yang dibutuhkan (anti-avoidance rules) untuk menangkal praktik perencanaan pajak yang agresif (base erosion and profit shifting/BEPS).
Tantangan perpajakan global yang timbul dari perkembangan ICT kini tengah dibahas dalam berbagai forum internasional seperti Inclusive Framework on BEPS dan pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral dari negara-negara G-20. Pembahasan menuju konsensus global telah mengerucut pada dua pilar, yaitu pilar satu mengenai unified approachdan pilar dua mengenai global anti-BEPS atau GloBE.
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Kemenkeu & Ketua Kompartemen Akuntan Pajak Ikatan Akuntan Indonesia-KAPj IAI
Perubahan merupakan suatu keniscayaan. New Normal merupakan paradigma hidup baru yang berdamai dengan Covid-19 (seperti hidup sesuai dengan protokol kesehatan, yaitu pola hidup sehat dan bersih serta memakai masker) sepanjang vaksinnya belum ditemukan. New normal telah mengubah manusia dalam bersosialisasi, berinteraksi, berkomunikasi, dan bekerja serta berusaha. Di sisi lain New normal semakin menguatkan ketergantungan manusia pada teknologi informasi dan komunikasi (information-and communication Technology/ICT). Dengan ICT, new normal akan mentransformasi kehidupan manusia menjadi lebih praktis, efisien, dan fleksibel. New normal identik dengan era ICT.
Pada perspektif perpajakan di era new normal, ICT dianggap sebagai roh perubahan (spirit of change) karena dampak disruptifnya terhadap sistem perpajakan global dan sistem perpajakan pada tiap negara/yurisdiksi. Walaupun Covid-19 belum berakhir, pembicaraan mengenai sistem perpajakan masa depan mulai dibahas pada forum internasional. Pembahasan mengenai dampak disruptif ICT terhadap kebijakan dan administrasi perpajakan tengah berlangsung, terutama di berbagai kelompok kerja (working party) dan gugus tugas (task force) serta forum on tax administration yang ada pada Organization for Economic Cooperation and Development(OECD) dan di berbagai asosiasi regional administrasi perpajakan seperti African Tax Administration Forum (ATAF), InterAmerican Center of Tax Administration(CIAT), Intra-European Organization of Tax Administration(IOTA), United Nations (UN), dan Study Group on Asian Tax Administration and Research (SGATAR) serta oleh lembaga keuangan internasional seperti World Bank, Asian Development Bank (ADB), dan International Monetary Fund (IMF). Di masa Covid-19, pembahasan dilakukan secara daring yang dipandu oleh OECD.
Diberlakukannya pembatasan sosial menjadi pemicu kesadaran otoritas pajak di dunia atas kontribusi besar ICT terhadap keberlangsungan administrasi perpajakan. Pada saat otoritas pajak memberlakukan protokol kesehatan sehingga seluruh atau sebagian besar pegawainya bekerja di rumah (working from home/WFH), di sisi lain pelayanan dan pengawasan kepada wajib pajak harus tetap berjalan sebagaimana mestinya. Terbukti ICT (seperti jaringan internet, aplikasi komputer, telepon, atau faksimile) mampu menjembataninya. Pada masa pembatasan sosial, dengan ICT otoritas pajak dapat memberikan pelayanan perpajakan kepada wajib pajak seperti pemrosesan permohonan untuk memanfaatkan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B), permohonan untuk mendapat certificate of domicile (CoD), dan permohonan restitusi PPN. Bahkan pemberian CoD dengan tanda tangan elektronik telah dilakukan di beberapa negara seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Dengan ICT, pelayanan perpajakan tetap dapat berlangsung sebagaimana saat belum timbulnya Covid-19. Hanya diperlukan sedikit penyesuaian dengan kondisi pembatasan sosial karena pelayanan diberikan oleh pegawai otoritas pajak melalui rumah atau tempat kediaman masing-masing dengan menggunakan jaringan yang terjamin keamanan dan kerahasiaannya.
Kebijakan Pajak atas Ekonomi Digital
Dampak disruptif ICT terhadap ekonomi melahirkan lingkungan ekonomi baru yang dikenal dengan sebutan ekonomi digital. Kegiatan ekonomi digital yang bercirikan scale without mass, relliance on intellectual property, dan data mining and user participationdapat berlangsung tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu serta tidak memerlukan kehadiran fisik. Ciri khas yang membedakannya dengan transaksi ekonomi konvensional tersebut menimbulkan permasalahan baru di bidang perpajakan internasional, yaitu bagaimana menentukan hak pemajakan baru terkait dengan kegiatan ekonomi digital yang belum diatur dalam norma pajak internasional yang berlaku saat ini. Selain itu merumuskan metode yang sesuai untuk mengalokasikan laba usaha dari pelaku usaha global secara adil dan memformulasikan ketentuan apa yang dibutuhkan (anti-avoidance rules) untuk menangkal praktik perencanaan pajak yang agresif (base erosion and profit shifting/BEPS).
Tantangan perpajakan global yang timbul dari perkembangan ICT kini tengah dibahas dalam berbagai forum internasional seperti Inclusive Framework on BEPS dan pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral dari negara-negara G-20. Pembahasan menuju konsensus global telah mengerucut pada dua pilar, yaitu pilar satu mengenai unified approachdan pilar dua mengenai global anti-BEPS atau GloBE.
tulis komentar anda