Sensitivitas Retoris Elite
Selasa, 03 Agustus 2021 - 19:11 WIB
Kekuatan Komunikasi
Pandemi global Covid-19 ini secara faktual melahirkan disonansi kognitif di kalangan masyarakat. Istilah disonansi kognitif ini dikenalkan oleh Leon Festinger dalam buku lawasnya A Theory of Cognitive Dissonance(1957). Festinger memaknainya sebagai perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Salah satu yang bisa menyebabkan disonansi ialah inkonsistensi logis, yaitu logika berpikir yang mengingkari logika berfikir lain.
Lihat saja ketidakpastian dan ketidaknyaman akibat pandemi ini telah melahirkan berbagai informasi yang memenuhi kanal-kanal percakapan warga. Mulai dari informasi cara mengatasi virus, prosedur isolasi mandiri, dampak paparan virus, hingga hal-hal lain yang dialami sehari-hari warga selama pemberlakukan berbagai aturan yang diterapkan pemerintah. Di situasi yang menunjukkan kuatnya gejala disonansi kognitif inilah, salah satu solusinya adalah kekuatan komunikasi. Para pihak yang berkaitan dengan optimalisasi kekuatan komunikasi harus bersinergi mengatasi pandemi.
Pertama, pemeritah sebagai pihak yang diberi kewenangan untuk mengeksekusi beragam kebijakan dari pusat hingga ke daerah. Potensi birokrasi, mulai dari anggaran, sumberdaya manusia, hingga kewenangan yang ada harus dioptimalkan untuk menunjang komunikasi publik pemerintah yang jelas dan terarah. Target capaian setiap tahapannya harus terkontrol dan memiliki strategi dalam arus besar manajemen bencana nasional Covid-19. Performa komunikatif baik ritual, hasrat, sosial, politis maupun enkulturasi harus dioptimalisasi guna penanganan pandemi. Ego sektoral kelembagaan, absurditas kewenangan, ambiguitas pesan, ketidakjelasan anggaran, serta ketidaksiapan penyesuaian implementasi strategi di lapangan, harus mendapatkan perhatian untuk menguatkan komunikasi pandemi.
Kedua, media massa yang menjadi kanal informasi warga harus lebih terpercaya. Salah satu problem nyata di era pandemi adalah gelombang informasi yang tak bertanggungjawab yang hampir setiap saat diproduksi dan didiseminasikan ke khalayak. Media massa harusnya menjadi garda terdepan yang mengabarkan kebenaran. Salah satu pembeda media massa dari media sosial adalah proses seleksi informasi. Selama masa pandemi, media harus all out menyeleksi beragam informasi yang masuk ke redaksi. Betul-betul memilah dan memilih, bukan hanya soal akurasi informasi, melainkan juga memerhatikan konteks sosio-psikologis warga. Media bisa memerankan diri sebagai katalisator kebersamaan, motivator untuk membangun optimisme sekaligus pengontrol dari beragam potensi penyelewengan.
Ketiga, kelompok elite baik di suprastruktur maupun infrastruktur politik harus turut menciptakan situasi kondusif dengan pernyataan-pernyataan dan sikapnya yang solutif. Bukan hanya memikirkan keuntungan pribadi dan kelompok semata dengan menjadi penunggang gelap di tengah keterpurukan, melainkan bisa menjadi suar. Bangsa ini lagi memerlukan sosok-sosok pemimpin transformatif yang bisa menggerakkan perubahan secara bersama-sama. Sekat-sekat politis baik partai politik, ideologi, kepentingan kontestasi dan lain-lain harus ditekan di bawah kepentingan bersama, yakni keluar dari keterpurukan pandemi Covid-19.
Komunikasi empatik dengan mengembangkan sensitivitas retoris harus menjadi kesadaran untuk dipraktikkan bersama, agar tak ada warga yang makin terluka.
Pandemi global Covid-19 ini secara faktual melahirkan disonansi kognitif di kalangan masyarakat. Istilah disonansi kognitif ini dikenalkan oleh Leon Festinger dalam buku lawasnya A Theory of Cognitive Dissonance(1957). Festinger memaknainya sebagai perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Salah satu yang bisa menyebabkan disonansi ialah inkonsistensi logis, yaitu logika berpikir yang mengingkari logika berfikir lain.
Lihat saja ketidakpastian dan ketidaknyaman akibat pandemi ini telah melahirkan berbagai informasi yang memenuhi kanal-kanal percakapan warga. Mulai dari informasi cara mengatasi virus, prosedur isolasi mandiri, dampak paparan virus, hingga hal-hal lain yang dialami sehari-hari warga selama pemberlakukan berbagai aturan yang diterapkan pemerintah. Di situasi yang menunjukkan kuatnya gejala disonansi kognitif inilah, salah satu solusinya adalah kekuatan komunikasi. Para pihak yang berkaitan dengan optimalisasi kekuatan komunikasi harus bersinergi mengatasi pandemi.
Pertama, pemeritah sebagai pihak yang diberi kewenangan untuk mengeksekusi beragam kebijakan dari pusat hingga ke daerah. Potensi birokrasi, mulai dari anggaran, sumberdaya manusia, hingga kewenangan yang ada harus dioptimalkan untuk menunjang komunikasi publik pemerintah yang jelas dan terarah. Target capaian setiap tahapannya harus terkontrol dan memiliki strategi dalam arus besar manajemen bencana nasional Covid-19. Performa komunikatif baik ritual, hasrat, sosial, politis maupun enkulturasi harus dioptimalisasi guna penanganan pandemi. Ego sektoral kelembagaan, absurditas kewenangan, ambiguitas pesan, ketidakjelasan anggaran, serta ketidaksiapan penyesuaian implementasi strategi di lapangan, harus mendapatkan perhatian untuk menguatkan komunikasi pandemi.
Kedua, media massa yang menjadi kanal informasi warga harus lebih terpercaya. Salah satu problem nyata di era pandemi adalah gelombang informasi yang tak bertanggungjawab yang hampir setiap saat diproduksi dan didiseminasikan ke khalayak. Media massa harusnya menjadi garda terdepan yang mengabarkan kebenaran. Salah satu pembeda media massa dari media sosial adalah proses seleksi informasi. Selama masa pandemi, media harus all out menyeleksi beragam informasi yang masuk ke redaksi. Betul-betul memilah dan memilih, bukan hanya soal akurasi informasi, melainkan juga memerhatikan konteks sosio-psikologis warga. Media bisa memerankan diri sebagai katalisator kebersamaan, motivator untuk membangun optimisme sekaligus pengontrol dari beragam potensi penyelewengan.
Ketiga, kelompok elite baik di suprastruktur maupun infrastruktur politik harus turut menciptakan situasi kondusif dengan pernyataan-pernyataan dan sikapnya yang solutif. Bukan hanya memikirkan keuntungan pribadi dan kelompok semata dengan menjadi penunggang gelap di tengah keterpurukan, melainkan bisa menjadi suar. Bangsa ini lagi memerlukan sosok-sosok pemimpin transformatif yang bisa menggerakkan perubahan secara bersama-sama. Sekat-sekat politis baik partai politik, ideologi, kepentingan kontestasi dan lain-lain harus ditekan di bawah kepentingan bersama, yakni keluar dari keterpurukan pandemi Covid-19.
Komunikasi empatik dengan mengembangkan sensitivitas retoris harus menjadi kesadaran untuk dipraktikkan bersama, agar tak ada warga yang makin terluka.
(bmm)
tulis komentar anda