Kebenaran, Kebohongan, dan Jurnalisme

Jum'at, 30 Juli 2021 - 11:09 WIB
Terapi Jurnalisme

Peredaran hoaks di medsos sudah masuk ketegori kondisi darurat dan merepotkan. Contohnya, hoaks seputar Covid-19 di Indonesia yang menambah semakin rumitnya penanganan dan pengendalian virus mematikan ini. Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Indonesia mencatat, dalam sehari tidak kurang 200–250 informasi hoaks di medsos. Pada 2021, sejak Januari sampai awal Juli ada 1.695 isu Covid-19 hoaks ditemukan dan dipastikan terus berlanjut. Hoaks dikemas dengan gaya sangat meyakinkan sehingga penerimanya seakan terhipnotis, tanpa pikir panjang langsung meneruskan pesan secara berantai dan menjadi viral.

Baca juga: Mahfud MD Berharap Tokoh Agama Aktif Tangkal Hoaks Covid-19



Pemerintah tidak diam melawan hoaks dengan melakukan sosialisasi melalui radio, televisi, surat kabar sampai baliho raksasa di pinggir jalan agar masyarakat sadar serta selektif menerima informasi. Namun semua itu belum membuahkan hasil menggembirakan karena hoaks masih berseliweran di medsos.

Persoalan berita bohong di hulu dan hilir tak kunjung berakhir meskipun sudah dilakukan edukasi kepada masyarakat di wilayah tersebut. Banyak pelaku pembuat hoaks diringkus dan diadili, namun hoaks-hoaks baru dan viral muncul kembali. Media jurnalistik sebagai penyampai kebenaran tampak kalah pamor. Medsos sudah bergerak cepat sementara media jurnalistik masih memastikan tali sepatunya terikat dengan benar. Dalam kondisi kebohongan yang membingungkan, peran media jurnalistik sangat dibutuhkan untuk membantu masyarakat mendapatkan kejelasan.

Media jurnalistik harus diakui relatif lamban dibanding medsos, karena sebelum menjadi berita, informasi harus diolah melalui aturan jurnalistik. Informasi yang masuk ke meja redaksi harus diverifikasi dahulu kebenarannya, sehingga membutuhkan waktu untuk disiarkan. Medsos tak peduli dengan aturan. Penerima pesan dari medsos dapat langsung unggah atau share tanpa verifikasi kebenarannya dan tidak jelas siapa bertanggung jawab. Pada media jurnalistik jelas siapa dan dimana pihak bertanggung jawab terhadap berita yang disiarkannya. Polisi harus melacak, mengurai simpul awal penyebaran berita bohong di medsos untuk sampai kepada orang yang bertanggung jawab.

Jurnalisme memiliki aturan dalam menyiarkan berita, seperti tidak menghakimi, azas praduga tak bersalah, menghormati keberimbangan dan yang utama adalah informasi harus diuji dahulu kebenarannya. Sebagai institusi produksi dan penyebaran informasi jurnalisme berpegang pada etika, standar profesional dan tanggung jawab dalam menghasilkan serta menyebarkan informasi. Prinsip inilah yang perlu menjadi budaya atau sistem nilai dalam era digital terkait penyebaran informasi. Meskipun dunia dan interaksi antara publik berubah, tetapi prinsip dasar jurnalisme tak pernah berubah.

Kondisi masyarakat yang terkontaminasi medsos akut perlu segera disadarkan melalui terapi. Ada baiknya jurnalisme diperkenalkan sejak dini sebagai salah satu terapi kepada masyarakat luas agar bijak dalam bermedsos. Dulu ada majalah dinding di sekolah-sekolah yang sekarang berubah bentuk menjadi media on-line melalui kegiatan ini pengenalan jurnalistik bisa lebih ditekankan.

Sayangnya, media sekolah sering tidak menarik sehingga siswa lebih banyak terhubung dengan media sosial, apakah itu Facebook, WhatsApp, Twitter dan sebagainya. Anak hidup dalam era informasi instan tetapi tidak banyak mendapat pendidikan, bagaimana berkomentar di media dengan baik. Jurnalisme membantu mereka menuliskan komentar positif dalam blog sekaligus belajar bertanggung jawab atas media yang dikelolanya.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More