Membangun Indonesia melalui Jalan Kebudayaan
Rabu, 28 Juli 2021 - 20:58 WIB
Pontjo mengingatkan, The Fund For Peace dalam laporan pengukuran Indeks Negara Gagal atau "Fragile State Index" tahun 2021 ini, masih menempatkan Indonesia masuk dalam kategori "warning" sebagai negara gagal. Indonesia menduduki ranking 99 dari 179 negara dengan skor 67,6.
Menurut analisa beberapa pakar terhadap temuan "The Fund For Peace" ini, ada sejumlah faktor yang menyebabkan Indonesia berada pada kategori ini antara lain karena persoalan budaya seperti kurang berhasilnya mengelola keberagaman (pluralitas) dan kebangsaan kita.
Pontjo mengatakan upaya memelihara pluralisme sebagai konsensus moral bangsa Indonesia, tentu harus selalu kita upayakan, agar basis-basis ikatan sentimen primordial bisa mengalami proses transformasi menjadi "common domain" yang efektif menjaga keutuhan bangsa kita yang majemuk. Menurut Christine Drake dalam bukunya: "National Integration in Indonesia (1989)" ada beberapa faktor yang dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk membangun common domain bangsa Indonesia, antara lain: (1) kesamaan sejarah; (2) kesamaan atribut-atribut sosial budaya; (3) saling ketergantungan antar daerah, (4) kehendak untuk hidup bersama.
"Selain faktor-faktor tersebut, ada satu faktor penting yang kita miliki yaitu Pancasila sebagai shared values yang bisa dipedomani sebagai rujukan bersama untuk mendorong proses transformasi struktur dan kultur demi terwujudnya common domain ke-Indonesia-an tanpa menanggalkan identitas etnisitas dan identitas lainnya. Oleh karena itulah dalam buku ini kita mendorong agar Pancasila dijadikan sebagai paradigma atau kerangka operasional dalam membangun kebangsaan Indonesia," kata Pontjo.
Walaupun bangsa Indonesia memiliki potensi kultural untuk mewujudkan common domain bagi mengukuhkan ikatan kebangsaan, namun lanjut Pontjo, kita merasakan adanya berbagai paradoks dalam realitas kebangsaan. Indonesia memiliki Pancasila yang disepakati sebagai ideologi kebangsaan, namun kenyataannya seakan semakin menjauh darinya.
Dalam konteks paham pluralisme sebagai paham kebangsaan, jelas Pontjo, ada beberapa fenomena yang menguatkan sinyalemen paradoksial, antara lain menguatnya poliitik identitas, politisasi sentimen primordial, terjadinya pembelahan publik yang sangat tajam akibat Pilkada dan Pilpres, dan lain-lain.
Bagi Pontjo, untuk membangun "Ranah Mental Spiritual" terutama merawat dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan Indonesia ini, memerlukan keandalan rejim "pendidikan dan pengetahuan" sebagai agensi utamanya.
"Oleh karena itu, kita masih menaruh harapan besar kepada sistem pendidikan nasional sebagai upaya kolektif-sistemik melalui tiga pilarnya, yaitu: keluarga (pendidikan informal), masyarakat (pendidikan non-formal), dan lembaga pendidikan formal," katanya.
Hanya, apakah sistem pendidikan nasional Indonesia saat ini sudah mampu berperan sebagai agen transformasi sosial dalam merawat nilai-nilai dan membangun karakter kebangsaan Indonesia? Hal inilah yang dikritisi dalam buku ini karena kita menyadari bahwa pendidikan yang tidak tepat, tidak akan berperan dalam pembangunan karakter bangsa, bahkan bisa menghancurkan karakter bangsa.
Ketepatan suatu sistem pendidikan dalam pembangunan karakter, sangat ditentukan oleh unsur-unsur pendidikan yang tepat pula, antara lain menyangkut substansi pembelajaran. Begitu pentingnya merawat dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia yang majemuk, maka buku ini keluar dengan rekomendasi terkait muatan pendidikan nasional yaitu: "Kebangsaan, Etika, dan Logika" yang disebut "Tri Matra".
Menurut analisa beberapa pakar terhadap temuan "The Fund For Peace" ini, ada sejumlah faktor yang menyebabkan Indonesia berada pada kategori ini antara lain karena persoalan budaya seperti kurang berhasilnya mengelola keberagaman (pluralitas) dan kebangsaan kita.
Pontjo mengatakan upaya memelihara pluralisme sebagai konsensus moral bangsa Indonesia, tentu harus selalu kita upayakan, agar basis-basis ikatan sentimen primordial bisa mengalami proses transformasi menjadi "common domain" yang efektif menjaga keutuhan bangsa kita yang majemuk. Menurut Christine Drake dalam bukunya: "National Integration in Indonesia (1989)" ada beberapa faktor yang dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk membangun common domain bangsa Indonesia, antara lain: (1) kesamaan sejarah; (2) kesamaan atribut-atribut sosial budaya; (3) saling ketergantungan antar daerah, (4) kehendak untuk hidup bersama.
"Selain faktor-faktor tersebut, ada satu faktor penting yang kita miliki yaitu Pancasila sebagai shared values yang bisa dipedomani sebagai rujukan bersama untuk mendorong proses transformasi struktur dan kultur demi terwujudnya common domain ke-Indonesia-an tanpa menanggalkan identitas etnisitas dan identitas lainnya. Oleh karena itulah dalam buku ini kita mendorong agar Pancasila dijadikan sebagai paradigma atau kerangka operasional dalam membangun kebangsaan Indonesia," kata Pontjo.
Walaupun bangsa Indonesia memiliki potensi kultural untuk mewujudkan common domain bagi mengukuhkan ikatan kebangsaan, namun lanjut Pontjo, kita merasakan adanya berbagai paradoks dalam realitas kebangsaan. Indonesia memiliki Pancasila yang disepakati sebagai ideologi kebangsaan, namun kenyataannya seakan semakin menjauh darinya.
Dalam konteks paham pluralisme sebagai paham kebangsaan, jelas Pontjo, ada beberapa fenomena yang menguatkan sinyalemen paradoksial, antara lain menguatnya poliitik identitas, politisasi sentimen primordial, terjadinya pembelahan publik yang sangat tajam akibat Pilkada dan Pilpres, dan lain-lain.
Bagi Pontjo, untuk membangun "Ranah Mental Spiritual" terutama merawat dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan Indonesia ini, memerlukan keandalan rejim "pendidikan dan pengetahuan" sebagai agensi utamanya.
"Oleh karena itu, kita masih menaruh harapan besar kepada sistem pendidikan nasional sebagai upaya kolektif-sistemik melalui tiga pilarnya, yaitu: keluarga (pendidikan informal), masyarakat (pendidikan non-formal), dan lembaga pendidikan formal," katanya.
Hanya, apakah sistem pendidikan nasional Indonesia saat ini sudah mampu berperan sebagai agen transformasi sosial dalam merawat nilai-nilai dan membangun karakter kebangsaan Indonesia? Hal inilah yang dikritisi dalam buku ini karena kita menyadari bahwa pendidikan yang tidak tepat, tidak akan berperan dalam pembangunan karakter bangsa, bahkan bisa menghancurkan karakter bangsa.
Ketepatan suatu sistem pendidikan dalam pembangunan karakter, sangat ditentukan oleh unsur-unsur pendidikan yang tepat pula, antara lain menyangkut substansi pembelajaran. Begitu pentingnya merawat dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia yang majemuk, maka buku ini keluar dengan rekomendasi terkait muatan pendidikan nasional yaitu: "Kebangsaan, Etika, dan Logika" yang disebut "Tri Matra".
Lihat Juga :
tulis komentar anda