Membangun Indonesia melalui Jalan Kebudayaan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sebuah buku berjudul Kebangsaan yang Berperadaban: Membangun Indonesia dengan Paradigma Pancasilasaat ini memasuki tahap finalisasi. Buku yang telah disusun sejak dua tahun lalu tersebut menawarkan pendekatan baru dalam membangun kebangsaan yang berperadaban melalui jalan kebudayaan.
Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo mengatakan, buku "Kebangsaan yang Berperadaban: Membangun Indonesia dengan Paradigma Pancasila" merupakan rangkuman dari diskusi serial yang digelar oleh Aliansi Kebangsaan bekerja sama dengan Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dan Kompas sejak 20 Maret 2019.
Selain dari hasil diskusi, kata Pontjo, buku ini juga diperkaya dengan hasil-hasil studi literatur, maupun kegiatan diskusi lainnya.
Baca juga: BPIP Bekali Materi Pancasila Kepada Calon Paskibraka Nasional 2021
"Target utama dari penyelenggaraan diskusi serial selama dua tahun tersebut dan disusunnya buku ini adalah menawarkan pendekatan baru dalam membangun kebangsaan yang berperadaban melalui jalan kebudayaan (cultural way) dalam tiga ranah utama kehidupan sosial, yaitu ranah mental spiritual (tata nilai), ranah institusional political (tata kelola), dan ranah material teknologikal (tata sejahtera) berdasarkan paradigma Pancasila," kata Pontjo Sutowo dalam Forum Group Discussion (FGD) dalam rangka finalisasi buku, Rabu (28/7/2021).
Pontjo memastikan bahwa pendekatan dan paradigma ini akan terus disosialisasikan oleh Aliansi Kebangsaan bersama-sama mitra lembaga penyelenggara kegiatan ini, sebagai tolok ukur paradigmatik dalam mengembangkan dan menguji pembangunan nasional.
Menurut Pontjo, dari tiga ranah utama kehidupan sosial yang dibahas dalam buku ini, ranah mental spiritual diyakni menjadi faktor penentu keberhasilan (determinant factor) bagi kemajuan sebuah bangsa. Hal ini juga telah disadari oleh Presiden pertama RI yakni Bung Karno sehingga bertekad menjadikan pembangunan karakter bangsa (character building) sebagai bagian penting dan tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Bung Karno menyebutnya dengan "Nation and Character Building".
Baca juga: Etika Pancasila
"Begitu pentingnya pembangunan ranah mental spiritual (karakter) bagi suatu bangsa, maka banyak kalangan melakukan studi mencari hubungan "mental spiritual/karakter" dan "pembangunan/kemajuan" sebuah bangsa. Salah satu penganjur utamanya di Indonesia adalah Prof Koentjaraningrat yang menautkan antara mentalitas dan pembangunan," kata Pontjo.
Dalam kesempatan tersebut Pontjo juga menyetir pendapat dari Kim & Jaffe dalam bukunya "The New Korea" (2013) yang mengungkapkan bahwa bangsa Korea menjadi maju karena karakter bangsanya. Demikian juga yang dikemukan oleh Jared Diamond dalam bukunya "Collapse" (2014) bahwa kepunahan satu peradaban antara lain dimulai dari cara pandang, terkait sistem nilai atau budaya, bangsa tersebut.
"Lantas bagaimana dengan Indonesia? Apakah modal budaya pada aspek mental spiritual yang dimiliki bangsa ini sudah menjadi "determinant factor" bagi kemajuan bangsa Indonesia?," tanya Pontjo.
Diakuinya, banyak pihak justru khawatir bahwa bangsa ini sedang mengalami perapuhan nilai-nilai kebangsaannya. Banyak indikasi yang memperkuat sinyalemen ini. Bahkan sampai sampai saat ini kita masih merasakan fenomena terpolarisasinya kelompok masyarakat hanya karena perbedaan aspirasi politik.
"Saat ini, ketika kita menghadapi pandemi Covid-19 yang dampaknya begitu luas, semangat dan rasa kebangsaan kita kembali menghadapi ujian," katanya.
Menurut Pontjo, terjadinya eskalasi perapuhan nilai-nilai kebangsaan, seringkali juga dipicu oleh perilaku beberapa elite politik kita yang justru menjadi faktor pemecah belah ketika mereka menggunakan sentimen primordial seperti sentimen suku dan agama yang hidup di masyarakat untuk memobilisasi dukungan dalam Pilpres dan Pilkada.
Politisasi sentimen primordial seperti ini, lanjut Pontjo, dalam banyak kasus membuat terbelahnya kelompok masyarakat yang sangat tajam, sehingga pada eskalasi tertentu berpotensi mengancam ke-Bhinneka Tunggal Ika-an yang sudah disepakati bersama sebagai salah satu konsensus nasional bangsa Indonesia.
Akibat terjadinya perapuhan nilai-nilai kebangsaan kita, Yudi Latif dalam tulisannya di koran pada 11 Oktober 2018 yang lalu pernah mengilustrasikan bahwa bangunan negara Indonesia hari ini ibarat berdiri di atas tanah aluvial dengan daya ikat tanah yang merenggang. Dengan satu getaran gempa sosial, segala bangunan yang dengan susah payah didirikan bisa saja mengalami proses likuefaksi (liquefaction) atau sirna ilang kertaning bumi.
Warning Negara Gagal
Pontjo mengingatkan, The Fund For Peace dalam laporan pengukuran Indeks Negara Gagal atau "Fragile State Index" tahun 2021 ini, masih menempatkan Indonesia masuk dalam kategori "warning" sebagai negara gagal. Indonesia menduduki ranking 99 dari 179 negara dengan skor 67,6.
Menurut analisa beberapa pakar terhadap temuan "The Fund For Peace" ini, ada sejumlah faktor yang menyebabkan Indonesia berada pada kategori ini antara lain karena persoalan budaya seperti kurang berhasilnya mengelola keberagaman (pluralitas) dan kebangsaan kita.
Pontjo mengatakan upaya memelihara pluralisme sebagai konsensus moral bangsa Indonesia, tentu harus selalu kita upayakan, agar basis-basis ikatan sentimen primordial bisa mengalami proses transformasi menjadi "common domain" yang efektif menjaga keutuhan bangsa kita yang majemuk. Menurut Christine Drake dalam bukunya: "National Integration in Indonesia (1989)" ada beberapa faktor yang dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk membangun common domain bangsa Indonesia, antara lain: (1) kesamaan sejarah; (2) kesamaan atribut-atribut sosial budaya; (3) saling ketergantungan antar daerah, (4) kehendak untuk hidup bersama.
"Selain faktor-faktor tersebut, ada satu faktor penting yang kita miliki yaitu Pancasila sebagai shared values yang bisa dipedomani sebagai rujukan bersama untuk mendorong proses transformasi struktur dan kultur demi terwujudnya common domain ke-Indonesia-an tanpa menanggalkan identitas etnisitas dan identitas lainnya. Oleh karena itulah dalam buku ini kita mendorong agar Pancasila dijadikan sebagai paradigma atau kerangka operasional dalam membangun kebangsaan Indonesia," kata Pontjo.
Walaupun bangsa Indonesia memiliki potensi kultural untuk mewujudkan common domain bagi mengukuhkan ikatan kebangsaan, namun lanjut Pontjo, kita merasakan adanya berbagai paradoks dalam realitas kebangsaan. Indonesia memiliki Pancasila yang disepakati sebagai ideologi kebangsaan, namun kenyataannya seakan semakin menjauh darinya.
Dalam konteks paham pluralisme sebagai paham kebangsaan, jelas Pontjo, ada beberapa fenomena yang menguatkan sinyalemen paradoksial, antara lain menguatnya poliitik identitas, politisasi sentimen primordial, terjadinya pembelahan publik yang sangat tajam akibat Pilkada dan Pilpres, dan lain-lain.
Bagi Pontjo, untuk membangun "Ranah Mental Spiritual" terutama merawat dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan Indonesia ini, memerlukan keandalan rejim "pendidikan dan pengetahuan" sebagai agensi utamanya.
"Oleh karena itu, kita masih menaruh harapan besar kepada sistem pendidikan nasional sebagai upaya kolektif-sistemik melalui tiga pilarnya, yaitu: keluarga (pendidikan informal), masyarakat (pendidikan non-formal), dan lembaga pendidikan formal," katanya.
Hanya, apakah sistem pendidikan nasional Indonesia saat ini sudah mampu berperan sebagai agen transformasi sosial dalam merawat nilai-nilai dan membangun karakter kebangsaan Indonesia? Hal inilah yang dikritisi dalam buku ini karena kita menyadari bahwa pendidikan yang tidak tepat, tidak akan berperan dalam pembangunan karakter bangsa, bahkan bisa menghancurkan karakter bangsa.
Ketepatan suatu sistem pendidikan dalam pembangunan karakter, sangat ditentukan oleh unsur-unsur pendidikan yang tepat pula, antara lain menyangkut substansi pembelajaran. Begitu pentingnya merawat dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia yang majemuk, maka buku ini keluar dengan rekomendasi terkait muatan pendidikan nasional yaitu: "Kebangsaan, Etika, dan Logika" yang disebut "Tri Matra".
Muatan pendidikan ini juga pernah diusulkan oleh Aliansi Kebangsaan bersama-sama YSNB, PPAD, FKPPI, NU-Circle, dan mitra strategis lainnya melalui Naskah Akademik sebagai masukan dalam pembahasan RUU Sisdiknas yang saat ini sudah masuk dalam Prolegnas di DPR.
FGD kali ini dirancang, selain untuk mendiseminasikan dan memperkaya pemikiran serta gagasan yang terangkum dalam buku ini, juga dimaksudkan semacam "uji sahih atau uji publik" agar rekomendasi kebijakan yang dirumuskan dalam buku ini, mendapat keabsahan secara sosiologis. Hadir sejumlah pakar untuk membedah buku antara lain Prof Bambang Wibawarta (Guru Besar UI Yudi), Latief (Pakar Aliansi Kebangsaan), Prof Komaruddin Hidayat (Rektor UIII), dan Wisnubroto (penulis buku).
Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo mengatakan, buku "Kebangsaan yang Berperadaban: Membangun Indonesia dengan Paradigma Pancasila" merupakan rangkuman dari diskusi serial yang digelar oleh Aliansi Kebangsaan bekerja sama dengan Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dan Kompas sejak 20 Maret 2019.
Selain dari hasil diskusi, kata Pontjo, buku ini juga diperkaya dengan hasil-hasil studi literatur, maupun kegiatan diskusi lainnya.
Baca juga: BPIP Bekali Materi Pancasila Kepada Calon Paskibraka Nasional 2021
"Target utama dari penyelenggaraan diskusi serial selama dua tahun tersebut dan disusunnya buku ini adalah menawarkan pendekatan baru dalam membangun kebangsaan yang berperadaban melalui jalan kebudayaan (cultural way) dalam tiga ranah utama kehidupan sosial, yaitu ranah mental spiritual (tata nilai), ranah institusional political (tata kelola), dan ranah material teknologikal (tata sejahtera) berdasarkan paradigma Pancasila," kata Pontjo Sutowo dalam Forum Group Discussion (FGD) dalam rangka finalisasi buku, Rabu (28/7/2021).
Pontjo memastikan bahwa pendekatan dan paradigma ini akan terus disosialisasikan oleh Aliansi Kebangsaan bersama-sama mitra lembaga penyelenggara kegiatan ini, sebagai tolok ukur paradigmatik dalam mengembangkan dan menguji pembangunan nasional.
Menurut Pontjo, dari tiga ranah utama kehidupan sosial yang dibahas dalam buku ini, ranah mental spiritual diyakni menjadi faktor penentu keberhasilan (determinant factor) bagi kemajuan sebuah bangsa. Hal ini juga telah disadari oleh Presiden pertama RI yakni Bung Karno sehingga bertekad menjadikan pembangunan karakter bangsa (character building) sebagai bagian penting dan tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Bung Karno menyebutnya dengan "Nation and Character Building".
Baca juga: Etika Pancasila
"Begitu pentingnya pembangunan ranah mental spiritual (karakter) bagi suatu bangsa, maka banyak kalangan melakukan studi mencari hubungan "mental spiritual/karakter" dan "pembangunan/kemajuan" sebuah bangsa. Salah satu penganjur utamanya di Indonesia adalah Prof Koentjaraningrat yang menautkan antara mentalitas dan pembangunan," kata Pontjo.
Dalam kesempatan tersebut Pontjo juga menyetir pendapat dari Kim & Jaffe dalam bukunya "The New Korea" (2013) yang mengungkapkan bahwa bangsa Korea menjadi maju karena karakter bangsanya. Demikian juga yang dikemukan oleh Jared Diamond dalam bukunya "Collapse" (2014) bahwa kepunahan satu peradaban antara lain dimulai dari cara pandang, terkait sistem nilai atau budaya, bangsa tersebut.
"Lantas bagaimana dengan Indonesia? Apakah modal budaya pada aspek mental spiritual yang dimiliki bangsa ini sudah menjadi "determinant factor" bagi kemajuan bangsa Indonesia?," tanya Pontjo.
Diakuinya, banyak pihak justru khawatir bahwa bangsa ini sedang mengalami perapuhan nilai-nilai kebangsaannya. Banyak indikasi yang memperkuat sinyalemen ini. Bahkan sampai sampai saat ini kita masih merasakan fenomena terpolarisasinya kelompok masyarakat hanya karena perbedaan aspirasi politik.
"Saat ini, ketika kita menghadapi pandemi Covid-19 yang dampaknya begitu luas, semangat dan rasa kebangsaan kita kembali menghadapi ujian," katanya.
Menurut Pontjo, terjadinya eskalasi perapuhan nilai-nilai kebangsaan, seringkali juga dipicu oleh perilaku beberapa elite politik kita yang justru menjadi faktor pemecah belah ketika mereka menggunakan sentimen primordial seperti sentimen suku dan agama yang hidup di masyarakat untuk memobilisasi dukungan dalam Pilpres dan Pilkada.
Politisasi sentimen primordial seperti ini, lanjut Pontjo, dalam banyak kasus membuat terbelahnya kelompok masyarakat yang sangat tajam, sehingga pada eskalasi tertentu berpotensi mengancam ke-Bhinneka Tunggal Ika-an yang sudah disepakati bersama sebagai salah satu konsensus nasional bangsa Indonesia.
Akibat terjadinya perapuhan nilai-nilai kebangsaan kita, Yudi Latif dalam tulisannya di koran pada 11 Oktober 2018 yang lalu pernah mengilustrasikan bahwa bangunan negara Indonesia hari ini ibarat berdiri di atas tanah aluvial dengan daya ikat tanah yang merenggang. Dengan satu getaran gempa sosial, segala bangunan yang dengan susah payah didirikan bisa saja mengalami proses likuefaksi (liquefaction) atau sirna ilang kertaning bumi.
Warning Negara Gagal
Pontjo mengingatkan, The Fund For Peace dalam laporan pengukuran Indeks Negara Gagal atau "Fragile State Index" tahun 2021 ini, masih menempatkan Indonesia masuk dalam kategori "warning" sebagai negara gagal. Indonesia menduduki ranking 99 dari 179 negara dengan skor 67,6.
Menurut analisa beberapa pakar terhadap temuan "The Fund For Peace" ini, ada sejumlah faktor yang menyebabkan Indonesia berada pada kategori ini antara lain karena persoalan budaya seperti kurang berhasilnya mengelola keberagaman (pluralitas) dan kebangsaan kita.
Pontjo mengatakan upaya memelihara pluralisme sebagai konsensus moral bangsa Indonesia, tentu harus selalu kita upayakan, agar basis-basis ikatan sentimen primordial bisa mengalami proses transformasi menjadi "common domain" yang efektif menjaga keutuhan bangsa kita yang majemuk. Menurut Christine Drake dalam bukunya: "National Integration in Indonesia (1989)" ada beberapa faktor yang dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk membangun common domain bangsa Indonesia, antara lain: (1) kesamaan sejarah; (2) kesamaan atribut-atribut sosial budaya; (3) saling ketergantungan antar daerah, (4) kehendak untuk hidup bersama.
"Selain faktor-faktor tersebut, ada satu faktor penting yang kita miliki yaitu Pancasila sebagai shared values yang bisa dipedomani sebagai rujukan bersama untuk mendorong proses transformasi struktur dan kultur demi terwujudnya common domain ke-Indonesia-an tanpa menanggalkan identitas etnisitas dan identitas lainnya. Oleh karena itulah dalam buku ini kita mendorong agar Pancasila dijadikan sebagai paradigma atau kerangka operasional dalam membangun kebangsaan Indonesia," kata Pontjo.
Walaupun bangsa Indonesia memiliki potensi kultural untuk mewujudkan common domain bagi mengukuhkan ikatan kebangsaan, namun lanjut Pontjo, kita merasakan adanya berbagai paradoks dalam realitas kebangsaan. Indonesia memiliki Pancasila yang disepakati sebagai ideologi kebangsaan, namun kenyataannya seakan semakin menjauh darinya.
Dalam konteks paham pluralisme sebagai paham kebangsaan, jelas Pontjo, ada beberapa fenomena yang menguatkan sinyalemen paradoksial, antara lain menguatnya poliitik identitas, politisasi sentimen primordial, terjadinya pembelahan publik yang sangat tajam akibat Pilkada dan Pilpres, dan lain-lain.
Bagi Pontjo, untuk membangun "Ranah Mental Spiritual" terutama merawat dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan Indonesia ini, memerlukan keandalan rejim "pendidikan dan pengetahuan" sebagai agensi utamanya.
"Oleh karena itu, kita masih menaruh harapan besar kepada sistem pendidikan nasional sebagai upaya kolektif-sistemik melalui tiga pilarnya, yaitu: keluarga (pendidikan informal), masyarakat (pendidikan non-formal), dan lembaga pendidikan formal," katanya.
Hanya, apakah sistem pendidikan nasional Indonesia saat ini sudah mampu berperan sebagai agen transformasi sosial dalam merawat nilai-nilai dan membangun karakter kebangsaan Indonesia? Hal inilah yang dikritisi dalam buku ini karena kita menyadari bahwa pendidikan yang tidak tepat, tidak akan berperan dalam pembangunan karakter bangsa, bahkan bisa menghancurkan karakter bangsa.
Ketepatan suatu sistem pendidikan dalam pembangunan karakter, sangat ditentukan oleh unsur-unsur pendidikan yang tepat pula, antara lain menyangkut substansi pembelajaran. Begitu pentingnya merawat dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia yang majemuk, maka buku ini keluar dengan rekomendasi terkait muatan pendidikan nasional yaitu: "Kebangsaan, Etika, dan Logika" yang disebut "Tri Matra".
Muatan pendidikan ini juga pernah diusulkan oleh Aliansi Kebangsaan bersama-sama YSNB, PPAD, FKPPI, NU-Circle, dan mitra strategis lainnya melalui Naskah Akademik sebagai masukan dalam pembahasan RUU Sisdiknas yang saat ini sudah masuk dalam Prolegnas di DPR.
FGD kali ini dirancang, selain untuk mendiseminasikan dan memperkaya pemikiran serta gagasan yang terangkum dalam buku ini, juga dimaksudkan semacam "uji sahih atau uji publik" agar rekomendasi kebijakan yang dirumuskan dalam buku ini, mendapat keabsahan secara sosiologis. Hadir sejumlah pakar untuk membedah buku antara lain Prof Bambang Wibawarta (Guru Besar UI Yudi), Latief (Pakar Aliansi Kebangsaan), Prof Komaruddin Hidayat (Rektor UIII), dan Wisnubroto (penulis buku).
(abd)