Klaim China di LCS Harus Dicegah Timbulkan Keretakan di ASEAN

Rabu, 14 Juli 2021 - 22:19 WIB
Sebaliknya kerumitan akibat perubahan status quo telah menghadang di depan. Kerumitan itu terjadi setelah kegiatan-kegiatan China untuk mendukung klaim "sembilan garis putus-putus" yang ekspansif telah secara fundamental mengubah status quo di kawasan ini.

China sebagai salah satu pihak yang mengklaim masih melakukan aktivitas-aktivitas, terutama militerisasi kepulauan buatan yang Vietnam katakan telah menduduki wilayahnya di kepulauan Spratly secara ilegal. Pihak-pihak lain yang turut mengklaim sebagian wilayah LCS ialah Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam dan Taiwan.

Para pengamat mengatakan peningkatan aktivitas dan kehadiran militer China di LCS berpotensi mengancam stabilitas, kebebasan maritim internasional dan keamanan kawasan.

Setelah proses tiga tahun pengajuan kasus oleh Filipina, PCA memutuskan pada 12 Juli 2016 mengabulkan gugatan Filipina atas wilayah di LCS yang dklaimnya dan tidak mengakui sembilan garis putus-putus, atau dikenal juga sebagai garis-garis berbentuk U dari China.

Dalam amar putusan setebal 497 halaman, Mahkamah menyatakan klaim China tersebut tidak memiliki dasar hukum, dan menolak hak sejarah dari China di LCS.

Keputusan itu juga menjelaskan bahwa pulau buatan China di atas terumbu karang di kawasan itu tidak dapat dianggap sebagai zona ekonomi eksklusif (EEZ) 200 mil dan wilayah perairan 12 mil karena ketakmampuan menyangga kehidupan manusia di pulau buatan dan tak memenuhi syarat-syarat sebagai EEZ dan landasan kontinen sesuai dengan hukum internasional.

Selain itu, putusan Mahkamah juga menekankan kekuatan patroli China bisa berbahaya bila ditabrak kapal nelayan. Pembangunan dan pengoperasian China menyebabkan kerusakan yang idak dapat dipulihkan pada terumbu karang di LCS.

Pengadilan telah menentukan bahwa China telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina di ZEE-nya karena menghalangi kapal penangkap ikan dan kapal eksplorasi dari Filipina, membangun sebuah pulau buatan. Juga dinyatakan bahwa nelayan Filipina dan nelayan China memiliki hak mencari ikan di Scarborough Shoal namun pada kenyataannya China turun mengintervensi untuk mencegah akses nelayan Filipina ke laut.

Segera setelah putusan Pengadilan keluar, Beijing mengumumkan tidak dapat menerima dan tidak mengakui hasil penilaian itu. Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan Nasional dan banyak media China secara bersamaan mendesak putusan Mahkamah Internasional mengenai gugatan LCS dihentikan.

China terus melobi negara-negara kawasan demi sikapnya yang absurd, mengabaikan hukum dan juga masyarakat internasional. Pada tanggal 14 May 2018 China menerbitkan sebuah buku yang mengkaji keputusan Arbitrase PBB untuk LCS. Aksi China itu sebagai argumen untuk mempertahankan sikapnya, yang menimbulkan reaksi negara-negara yang terkait di kawasan.

Keputusan PCA memiliki dasar hukum internasional yang penting sesuai Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS). Semua negara di kawasan itu termasuk China telah menandatangani dan meratifikasi. Konvensi ini dan dokumen ini memiliki dasar hukum umum untuk penyelesaian sengketa maritim.

Setelah keputusan PCA, China terus merenovasi, menyempurnakan dan mempersenjatai pulau-pulau buatan di Kepulauan Spratly yang diklaim oleh Vietnam. China telah membangun dan menyempurnakan pulau buatan serta melakukan militerisasi pulau-pulau ini di LCS dengan sarana paling modern.

Dilaporkan telah terjadi perubahan ukuran di beberapa pulau karang.Total luas pulau yang diklaim China di Spratly sekitar 1.300 hektar. Ini adalah pekerjaan yang dapat dikatakan merupakan skala terbesar di dunia di planet yang tidak pernah memiliki renovasi besar sebelumnya.

Kemudian China terus menunjukkan eksistensinya atas pulau-pulau buatan itu dan berfokus pada membangun pangkalan militer dilengkapi dua bandar udara untuk melayani naik-turunnya pesawat-pesawat tempur seperti J10, J11, SU 30MK, MiG 29, sejumlah hanggar dan fasilitas pendukung lainnya.

Selain itu, China telah membangun pelabuhan militer, radar dengan frekuensi tinggi yang melayani keperluan militer di pulau Gac Ma, Gaven, Tu Nghia dan Chau Vien. Ketika ada radar frekuensi tinggi di sini, China benar-benar memiliki kemampuan untuk mengendalikan setiap pesawat, kapal asing yang melintasi Selat Malaka dan LCS.

Secara paralel dengan kegiatan konstruksi pangkalan militer, China juga membangun pekerjaan sipil, seperti klinik kesehatan, pusat bantuan, penyelamatan di laut, dasar jasa kelautan, perbaikan kecil, pompa minyak, tanker, membangun mercusuar, pusat penelitian-penelitian ilmiah kelautan,lingkungan.

Tentu apa yang dipertontonkan China di kawasan itu mendapat penentangan keras dari banyak negara di kawasan dan internasional. Di luar dari negara-negara yang mengklaim wilayah di LCS, negara-negara di luar kawasan seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, Prancis dan Inggris telah menyatakan keprihatinan dan telah menanggapi secara berbeda.

Intinya mereka mengambil langkah-langkah untuk mencegah tindakan China karena memengaruhi kebebasan dan keamanan navigasi di jalur laut paling penting dan termasuk teramai di dunia.

Selain AS, negara-negara lain seperti Jepang, Australia, Perancis sangat prihatin terhadap tindakan China setelah putusan PCA. Negara-negara itu menghendaki China berperilaku secara bertanggung jawab sebagai kekuatan utama dalam rangka menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More