Dilema Energi Terbarukan di Tengah Melemahnya Harga Minyak

Rabu, 27 Mei 2020 - 12:44 WIB
Kedua, sistem kelistrikan di Indonesia belum sepenuhnya terkoneksi (on grid) dengan sumber energi primer berbasis EBT. Pembangkit listrik berbasis airyang baru (PLTA) bersama dengan batu bara lebih banyak ditujukan untuk penggunaan sendiri di industri smelter.

Adapun energi panas bumi (geo thermal) atau biomassa, hanya akan ekonomis apabila disubsidi Pemerintah dengantipping fee, fit-in tariff atau harga patokan dan volume untuk diserap PT PLN berdasarkan penugasan. Penugasan yang tidak didasarkan pada urgensi kebutuhan dan harga keekonomianakan memberatkan PLN sebagai korporasi satu satunya Badan Usaha Kelistrikan terintergrasi di Indonesia.

Pada akhirnya apabila dipaksakan demi pertumbuhan EBT, beban kemahalan tersebut akan ditanggung masyarakat banyak baik melalui kenaikan tarif listrik PT PLN atau subsidi listrik melalui APBN.

Ketiga, pertumbuhan permintaan listrik memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Perekonomian dan aktivitas masyarakat saat ini mengkerut. Tidak bijaksana menambah beban PT PLN yang sedang berjuang untuk tetap eksis dan sehat.

Keempat, energi fosil sesungguhnya memiliki prospek dan nilai ekonomi yang besar kalau dihilirisasi. Batu bara misalnya. Produk akhir Methanol atau ethanol dari hilirisasi batu bara selain memberi nilai tambah yang signifikan, juga membantu lingkungan bersih. Dalam konteks ini penguasaan teknologi, pasar, kebijakan dan kerja sama antara pemerintah, badan litbang, dan korporasi sangat diperlukan.

Mendorong EBT akan menunjukkan Indonesia sangat koperatif di mata dunia. Tetapi di sisi lain itu akan mengikis keunggulan kompetitif. Dilematis. Kebijakan energi adalah mencari titik optimum keseimbangan antara memastikan tersedianya energi (availability), harga yang terjangkau (affordability) serta sustainabilitasnya bagi lingkungan dan manfaat kepada masyarakat (sustainability), yang dikenal sebagai trilemma energi.

Kelistrikan adalah penyerap utama energi primer dari EBT. Secara agregat listrik per KwH dari EBT harganya di atas dua kali lipat dari listrik yang dihasilkan oleh energi fosil seperti batu bara dan gas. Negara negara maju mendesak agar externality cost (biaya eksternal) seperti kerusakan lingkungan akibat emisi CO2 dari energi fosil dibebankan sebagai biaya tambahan ke produsen energi fosil. Sebaliknya agar listrik yang dihasilkan EBT disubsidi.

Pada 2005 porsi EBT dalam bauran energi telah mencapai sekitar 5%. Berdasarkan Perpres No 5/2006, target energi baru dan energi terbarukan dalam bauran energi primer dipatok 17% untuk dicapai pada tahun 2025.

Target tersebut direvisi menjadi 23% untuk tahun 2025, dan 31% untuk tahun 2050. Hingga awal tahun 2020 porsi EBT dalam sistem pembangkit kelistrikan Indonesia belum sampai 10%.

Kemampuan fiskal terbatas untuk mensubsidi EBT. Harga minyak yang rendah memberikan pukulan ganda ke kantong pemerintah. Di sisi hulu, sekitar 25% pendapatan negara menurun. Di sisi hilir, rendahnya penjualan produk minyak dan melemahnya mata uang menambah pukulan lain. Di sisi lain, Pemerintah menghadapi begitu banyak prioritas mendesak untuk ditangani karena dampak terkait pandemi ini.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More