Mengejar Target 2 Juta Vaksinasi Per Hari
Rabu, 30 Juni 2021 - 06:15 WIB
Anggota Covid-19 Vaccine Global Access (COVAX) Independent Allocation of Vaccines Group (IAVG) ini membeberkan, guna mengejar 2 juta vaksinasi per hari pada Agustus 2021 maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan pemerintah dan pihak-pihak terkait.
Aspek pertama dan paling utama tentu saja adalah jaminan ketersediaan vaksin. Semua pihak tentu sudah tahu sejak awal bahwa jumlah vaksin yang tersedia tidaklah sepadan dengan jumlah penduduk dunia yang membutuhkannya.
‘’Ada beberapa negara tertentu yang terus mengejar tingginya cakupan vaksinasi di negaranya. Tetapi di sisi lain, cukup banyak juga negara di dunia yang cakupan vaksinasinya masih amat rendah karena tidak kebagian vaksin dalam jumlah yang cukup," ungkapnya.
Menurut Tjandra, setidaknya empat sumber suatu negara untuk dapat memperoleh vaksin Covid-19. Pertama, tentu negara membeli langsung dari produsen vaksin. Hal ini bukan hanya tentang kebutuhan anggaran tetapi juga ketersediaan produksi vaksin di pasar internasional.
Sumber vaksin kedua bagi negara adalah kerjasama internasional melalui COVAX yang dikelola oleh WHO, UNICEF, Gavi the vaccine alliance dan CEPI (Coalition for Epidemic Preparedness Innovations). COVAX bertujuan untuk mengakselerasi pengembangan dan produksi vaksin COVID-19 dan menjamin akses yang adil dan terjangkau untuk semua negara di dunia yang membutuhkannya.
"Saya sebagai salah satu dari 12 pakar internasional anggota 'Independent Allocation Vaccine Group (IAVG) COVAX' pada 25 Juni 2021 bertemu secara virtual dengan pimpinan tertinggi WHO, yaitu Direktur Jenderal WHO Dr Tedros yang didampingi beberapa pimpinan organisasi itu. Dalam diskusi kami mengemuka masalah yang amat mendasar, yaitu ketimpangan vaksin antar negara di dunia," katanya.
Diungkapkan,kala itu Direktur Jenderal WHO sangat menyayangkan bahwa tidak cukup ada komitmen politik pada negara-negara yang punya banyak vaksin untuk membaginya ke negara lain yang amat membutuhkan, antara lain lewat mekanisme COVAX ini.
Saat itu, kata dia, juga dibicarakan bahwa ketimpangan kesempatan vaksin antara negara adalah masalah kemanusiaan dan membuat orang menjadi korban karena tidak mendapat vaksin yang diperlukannya.
Sumber vaksin ketiga adalah kemungkinan kerjasama bilateral antara satu negara dengan negara lainnya.
Konon juga, lanjut dia, sebelum ini sudah ada kerjasama dengan pemerintah China tentang vaksin Sinovac. Karenanya bagi dia, diplomasi internasional tentu perlu terus dilakukan agar kemungkinan seperti ini dapat lebih luas lagi didapat.
Aspek pertama dan paling utama tentu saja adalah jaminan ketersediaan vaksin. Semua pihak tentu sudah tahu sejak awal bahwa jumlah vaksin yang tersedia tidaklah sepadan dengan jumlah penduduk dunia yang membutuhkannya.
‘’Ada beberapa negara tertentu yang terus mengejar tingginya cakupan vaksinasi di negaranya. Tetapi di sisi lain, cukup banyak juga negara di dunia yang cakupan vaksinasinya masih amat rendah karena tidak kebagian vaksin dalam jumlah yang cukup," ungkapnya.
Menurut Tjandra, setidaknya empat sumber suatu negara untuk dapat memperoleh vaksin Covid-19. Pertama, tentu negara membeli langsung dari produsen vaksin. Hal ini bukan hanya tentang kebutuhan anggaran tetapi juga ketersediaan produksi vaksin di pasar internasional.
Sumber vaksin kedua bagi negara adalah kerjasama internasional melalui COVAX yang dikelola oleh WHO, UNICEF, Gavi the vaccine alliance dan CEPI (Coalition for Epidemic Preparedness Innovations). COVAX bertujuan untuk mengakselerasi pengembangan dan produksi vaksin COVID-19 dan menjamin akses yang adil dan terjangkau untuk semua negara di dunia yang membutuhkannya.
"Saya sebagai salah satu dari 12 pakar internasional anggota 'Independent Allocation Vaccine Group (IAVG) COVAX' pada 25 Juni 2021 bertemu secara virtual dengan pimpinan tertinggi WHO, yaitu Direktur Jenderal WHO Dr Tedros yang didampingi beberapa pimpinan organisasi itu. Dalam diskusi kami mengemuka masalah yang amat mendasar, yaitu ketimpangan vaksin antar negara di dunia," katanya.
Diungkapkan,kala itu Direktur Jenderal WHO sangat menyayangkan bahwa tidak cukup ada komitmen politik pada negara-negara yang punya banyak vaksin untuk membaginya ke negara lain yang amat membutuhkan, antara lain lewat mekanisme COVAX ini.
Saat itu, kata dia, juga dibicarakan bahwa ketimpangan kesempatan vaksin antara negara adalah masalah kemanusiaan dan membuat orang menjadi korban karena tidak mendapat vaksin yang diperlukannya.
Sumber vaksin ketiga adalah kemungkinan kerjasama bilateral antara satu negara dengan negara lainnya.
Konon juga, lanjut dia, sebelum ini sudah ada kerjasama dengan pemerintah China tentang vaksin Sinovac. Karenanya bagi dia, diplomasi internasional tentu perlu terus dilakukan agar kemungkinan seperti ini dapat lebih luas lagi didapat.
tulis komentar anda