Kasus Dihentikan, Satgas BLBI Diminta Segera Selamatkan Aset-aset Negara
Kamis, 24 Juni 2021 - 23:26 WIB
Dikatakan Fatah, Pesiden Joko Widodo pada akhir April 2021 lalu menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI. Dalam Keppres tersebut, terdapat lima menteri serta Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo sebagai pengarah Satgas dan sebagai ketua pelaksananya adalah dirjen kekayaan negara yang bertugas untuk melakukan penelusuran semua aset negara yang berkaitan dengan BLBI.
Namun, sampai saat ini Dirjen Kekayaan Negara belum melaporkan hasil penyitaan aset BLBI. Padahal publik memiliki kekhawatiran atas hilangnya aset-aset BLBI sebagaimana yang terjadi pada kasus Texmaco.
“Strategi pengembalian aset memalui penyitaan perlu mendapat perhatian publik. Selain itu, optimalisasi peran dan fungsi kejaksaan untuk mengembalikan aset-aset koruptor karena telah merugikan keuangan negara layanan mendapatkan perhatian,” katanya.
Sementara itu, Direktur Center for Budget Analysis (CBA) Ucok Sky Khadafi mengatakan, kasus Texmaco ini sangat berbelit belit dan merugikan negara. Sebab aset yang diserahkan statusnya banyak yang tidak jelas sehingga tidak bisa diambil negara. “Saya curiga jangan-jangan kasus Texmaco nanti mengikuti kasus Sjamsul Nursalim,” katanya.
Dikatakan Ucok, ada dua cara untuk mengambil aset-aset Texmaco. Pertama, Satgas BLBI harus fokus pada pengembalian aset-aset Texmaco. Namun, Ucok menilai, Satgas ini sangat “gemuk” dan menyertakan banyak unsur sehingga menghambat percepatan. Seharusnya Satgas ini orang yang paling punya otoritatif. ”Segera bergerak menyelamatkan aset-aset negara,” katanya.
Kedua, banyak obligor yang tidak taat. Karena itu, KPK harus dilibatkan. Sebab, jika hanya mengandalkan Kejaksaan dikhawatirkan tidak maksimal. ”Jaksa harus mendata dulu aset-asetnya dan diprioritaskan mana yang gampang dilakukan penyitaan,” tuturnya.
Sementara itu, pengamat dari Paramadina Public Policy Institute M Ihsan mengatakan, secara umum aturan dan tata kelola penanganan krisis di Indonesia sudah jauh lebih baik. Namun beberapa hal perlu belajar dari negara lain seperti Korsel dan Jepang. Pertama, kepercayaan publik perlu diraih dan dijaga.
Kedua, waktu harus menjadi perhatian dalam mengatasi krisis. Ketiga, pertimbangan cash flow perlu menjadi fokus dalam pengambilan keputusan, selain kepastian hukum bagi para pihak. ”Terakhir, perbaikan sistem kauangan dan tata kelola agar risiko kegagalan dapat dicegah,” katanya.
Namun, sampai saat ini Dirjen Kekayaan Negara belum melaporkan hasil penyitaan aset BLBI. Padahal publik memiliki kekhawatiran atas hilangnya aset-aset BLBI sebagaimana yang terjadi pada kasus Texmaco.
“Strategi pengembalian aset memalui penyitaan perlu mendapat perhatian publik. Selain itu, optimalisasi peran dan fungsi kejaksaan untuk mengembalikan aset-aset koruptor karena telah merugikan keuangan negara layanan mendapatkan perhatian,” katanya.
Sementara itu, Direktur Center for Budget Analysis (CBA) Ucok Sky Khadafi mengatakan, kasus Texmaco ini sangat berbelit belit dan merugikan negara. Sebab aset yang diserahkan statusnya banyak yang tidak jelas sehingga tidak bisa diambil negara. “Saya curiga jangan-jangan kasus Texmaco nanti mengikuti kasus Sjamsul Nursalim,” katanya.
Dikatakan Ucok, ada dua cara untuk mengambil aset-aset Texmaco. Pertama, Satgas BLBI harus fokus pada pengembalian aset-aset Texmaco. Namun, Ucok menilai, Satgas ini sangat “gemuk” dan menyertakan banyak unsur sehingga menghambat percepatan. Seharusnya Satgas ini orang yang paling punya otoritatif. ”Segera bergerak menyelamatkan aset-aset negara,” katanya.
Kedua, banyak obligor yang tidak taat. Karena itu, KPK harus dilibatkan. Sebab, jika hanya mengandalkan Kejaksaan dikhawatirkan tidak maksimal. ”Jaksa harus mendata dulu aset-asetnya dan diprioritaskan mana yang gampang dilakukan penyitaan,” tuturnya.
Sementara itu, pengamat dari Paramadina Public Policy Institute M Ihsan mengatakan, secara umum aturan dan tata kelola penanganan krisis di Indonesia sudah jauh lebih baik. Namun beberapa hal perlu belajar dari negara lain seperti Korsel dan Jepang. Pertama, kepercayaan publik perlu diraih dan dijaga.
Kedua, waktu harus menjadi perhatian dalam mengatasi krisis. Ketiga, pertimbangan cash flow perlu menjadi fokus dalam pengambilan keputusan, selain kepastian hukum bagi para pihak. ”Terakhir, perbaikan sistem kauangan dan tata kelola agar risiko kegagalan dapat dicegah,” katanya.
(mhd)
tulis komentar anda