Menghentikan Pernikahan Anak, Tanggung Jawab Siapa?
Senin, 14 Juni 2021 - 17:38 WIB
Bagi Alissa, sudah selayaknya perlindungan dan pemeliharaan anak menjadi tanggung jawab bersama “Ini bukan tentang mereka anak-anak. Mengakhiri pernikahan anak adalah tentang kita," ungkapnya.
Webinar juga diikuti Refi (16) seorang anak dari Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah yang merupakan dampingan Wahana Visi Indonesia (WVI).
Menurut dia, kondisi pandemi Covid-19 membuat situasi semakin buruk. "Banyak anak yang menikah di masa pandemi. Hal ini tidak akan terjadi jika orang dewasa di sekitar kami dapat mendampingi dan memberi pengetahuan yang benar kepada kami," tutur Refi.
Kendati pemerintah Indonesia telah membatasi usia minimal pernikahan menjadi 19 tahun, kata Refi, anak-anak juga membutuhkan informasi dan pendampingan yang dapat mencegah anak dari pergaulan yang buruk, dan agar anak mengetahui perihal kesehatan reproduksi.
“Kami berharap orang dewasa juga bisa lebih aktif dan responsif, dan bisa menolong kami menciptakan lingkungan dan aktivitas yang positif untuk mengisi waktu,” ujarnya.
Manajer Advokasi Wahana Visi Indonesia, Junito Drias menilai kasus perkawinan anak perlu dilihat dalam konteks kemiskinan struktural, di mana anak sulit menghindar dari cengkeraman perkawinan anak karena keterbatasan akses ekonomi, pendidikan hingga perlindungan.
“Selain keluarga dan lingkungan sekitar, perlu kebijakan pemerintah untuk mengadakan akses-akses tersebut, supaya orangtua tidak memandang memandang perkawinan sebagai jalan keluar masalah ekonomi atau persoalan seperti kehamilan usia anak,” tutur Drias.
WVI melalui program di bidang perlindungan anak terus melakukan upaya sosialisasi, edukasi, pemberdayaan masyarakat mengenai pencegahan pernikahan anak di 14 provinsi di Indonesia hingga advokasi kebijakan di tingkat lokal maupun nasional.
Webinar juga diikuti Refi (16) seorang anak dari Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah yang merupakan dampingan Wahana Visi Indonesia (WVI).
Menurut dia, kondisi pandemi Covid-19 membuat situasi semakin buruk. "Banyak anak yang menikah di masa pandemi. Hal ini tidak akan terjadi jika orang dewasa di sekitar kami dapat mendampingi dan memberi pengetahuan yang benar kepada kami," tutur Refi.
Kendati pemerintah Indonesia telah membatasi usia minimal pernikahan menjadi 19 tahun, kata Refi, anak-anak juga membutuhkan informasi dan pendampingan yang dapat mencegah anak dari pergaulan yang buruk, dan agar anak mengetahui perihal kesehatan reproduksi.
“Kami berharap orang dewasa juga bisa lebih aktif dan responsif, dan bisa menolong kami menciptakan lingkungan dan aktivitas yang positif untuk mengisi waktu,” ujarnya.
Manajer Advokasi Wahana Visi Indonesia, Junito Drias menilai kasus perkawinan anak perlu dilihat dalam konteks kemiskinan struktural, di mana anak sulit menghindar dari cengkeraman perkawinan anak karena keterbatasan akses ekonomi, pendidikan hingga perlindungan.
“Selain keluarga dan lingkungan sekitar, perlu kebijakan pemerintah untuk mengadakan akses-akses tersebut, supaya orangtua tidak memandang memandang perkawinan sebagai jalan keluar masalah ekonomi atau persoalan seperti kehamilan usia anak,” tutur Drias.
WVI melalui program di bidang perlindungan anak terus melakukan upaya sosialisasi, edukasi, pemberdayaan masyarakat mengenai pencegahan pernikahan anak di 14 provinsi di Indonesia hingga advokasi kebijakan di tingkat lokal maupun nasional.
(dam)
tulis komentar anda