Opsi Penyelamatan Garuda
Kamis, 10 Juni 2021 - 06:49 WIB
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Maskapai penerbangan Garuda Indonesia berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan setelah utangnya diketahui melampaui ekuitas dan valuasi perusahaan. Garuda diberitakan mengalami kerugian lebi dari USD100 juta per bulan. Utang perusahaan pun telah melebihi ekuitas, nilainya sebesar Rp70 triliun.Arus kas Garuda hanya cukup untuk bertahan dalam waktu singkat, kondisi ini merupakan situasi yang serius mengingat beban utang dan biaya tetap (fix cost) yang tinggi.
Di tengah situasi yang pelik ini, pailit jelas bukan opsi yang tepat. Mengingat sebagai perusahaan terbuka, jika Garuda pailit maka akan memengaruhi kepercayaan investor dan masyarakat terhadap perusahaan penerbangan setelah sebelumnya maskapai Merpati Nusantara yang dikelola BUMN juga berhenti beroperasi.
Selain itu jika Garuda sampai pailit maka tentu akan berdampak pada kerugian masyarakat luas. Ini tak berlebihan sebab sebagai perusahaan terbuka saham Garuda juga dimiliki oleh publik. Di samping itu sebagai satu-satunya maskapai penerbangan yang dimiliki oleh BUMN dengan rute operasional paling luas, Garuda memiliki nilai strategis untuk dipertahankan. Persoalan pada maskapai ini jelas bukan pada sektor operasional, namun lebih pada keuangan.
Rasio kondisi utang Garuda berbanding pendapatan dan nilai aset tidak ideal lantaran kondisi utang jauh lebih besar. Kondisi Garuda ini dalam hukum kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang disebut over leverage.
Garuda masih memiliki pendapatan dari operasional, demikian juga market share juga masih terbilang tinggi dibanding maskapai lain. Kondisi pandemi Covid-19 memengaruhi turunnya pendapatan Garuda. Pada kondisi ini persoalan utamanya adalah beban biaya pasti, termasuk pembayaran bunga pinjaman, angsuran utang pada pihak ketiga serta biaya pasti lainnya yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Secara historikal situasi ini sebenarnya sudah dapat diprediksikan sejak Garuda melakukan restatement laporan keuangan pada 2019 untuk tahun buku 2018. Kala itu dalam materi paparan publik yang disampaikan Garuda dalam keterbukaan informasi BEI, setelah ada penyesuaian pencatatan maskapai penerbangan ini merugi USD175 juta atau setara Rp2,45 triliun (kurs Rp14.004/dolar), ada selisih USD180 juta dari yang disampaikan dalam laporan keuangan perseroan tahun buku 2018. Pada 2018 perseroan melaporkan untung USD5 juta atau setara Rp70,02 miliar.
Selain laporan laba-rugi, dalam penyajian ulang (restatement) laporan keuangan 2018 ini nilai aset perseroan yang tercatat juga berubah menjadi USD4,17 miliar dari sebelumnya tercatat USD4,37 miliar, atau terdapat selisih USD 204 juta. Demikian pula total liabilitas yang berkurang USD24 juta menjadi USD3,44 miliar.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Maskapai penerbangan Garuda Indonesia berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan setelah utangnya diketahui melampaui ekuitas dan valuasi perusahaan. Garuda diberitakan mengalami kerugian lebi dari USD100 juta per bulan. Utang perusahaan pun telah melebihi ekuitas, nilainya sebesar Rp70 triliun.Arus kas Garuda hanya cukup untuk bertahan dalam waktu singkat, kondisi ini merupakan situasi yang serius mengingat beban utang dan biaya tetap (fix cost) yang tinggi.
Di tengah situasi yang pelik ini, pailit jelas bukan opsi yang tepat. Mengingat sebagai perusahaan terbuka, jika Garuda pailit maka akan memengaruhi kepercayaan investor dan masyarakat terhadap perusahaan penerbangan setelah sebelumnya maskapai Merpati Nusantara yang dikelola BUMN juga berhenti beroperasi.
Selain itu jika Garuda sampai pailit maka tentu akan berdampak pada kerugian masyarakat luas. Ini tak berlebihan sebab sebagai perusahaan terbuka saham Garuda juga dimiliki oleh publik. Di samping itu sebagai satu-satunya maskapai penerbangan yang dimiliki oleh BUMN dengan rute operasional paling luas, Garuda memiliki nilai strategis untuk dipertahankan. Persoalan pada maskapai ini jelas bukan pada sektor operasional, namun lebih pada keuangan.
Rasio kondisi utang Garuda berbanding pendapatan dan nilai aset tidak ideal lantaran kondisi utang jauh lebih besar. Kondisi Garuda ini dalam hukum kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang disebut over leverage.
Garuda masih memiliki pendapatan dari operasional, demikian juga market share juga masih terbilang tinggi dibanding maskapai lain. Kondisi pandemi Covid-19 memengaruhi turunnya pendapatan Garuda. Pada kondisi ini persoalan utamanya adalah beban biaya pasti, termasuk pembayaran bunga pinjaman, angsuran utang pada pihak ketiga serta biaya pasti lainnya yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Secara historikal situasi ini sebenarnya sudah dapat diprediksikan sejak Garuda melakukan restatement laporan keuangan pada 2019 untuk tahun buku 2018. Kala itu dalam materi paparan publik yang disampaikan Garuda dalam keterbukaan informasi BEI, setelah ada penyesuaian pencatatan maskapai penerbangan ini merugi USD175 juta atau setara Rp2,45 triliun (kurs Rp14.004/dolar), ada selisih USD180 juta dari yang disampaikan dalam laporan keuangan perseroan tahun buku 2018. Pada 2018 perseroan melaporkan untung USD5 juta atau setara Rp70,02 miliar.
Selain laporan laba-rugi, dalam penyajian ulang (restatement) laporan keuangan 2018 ini nilai aset perseroan yang tercatat juga berubah menjadi USD4,17 miliar dari sebelumnya tercatat USD4,37 miliar, atau terdapat selisih USD 204 juta. Demikian pula total liabilitas yang berkurang USD24 juta menjadi USD3,44 miliar.
tulis komentar anda