Jaminan Sosial dalam Bingkai Pancasila
Kamis, 10 Juni 2021 - 07:53 WIB
Ada pelayanan kesehatan yang sebelumnya dijamin JKN, namun dihapuskan di Peraturan Presiden No 82/2018 sehingga korban tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang tidak dijamin lagi oleh JKN. Demikian juga ada beberapa jenis obat yang sebelumnya dijamin tetapi kemudian dikeluarkan dari formularium nasional sehingga tidak dibiayai lagi oleh JKN.
Masih banyak rakyat miskin yang tidak mendapatkan jaminan Kesehatan karena sulit mengakses menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), baik yang dibiayai pemerintah pusat atau daerah. Pandemi Covid-19 pun mendorong penduduk miskin meningkat. Menurut Data BPS, persentase penduduk miskin perkotaan pada Maret 2020 sebesar 7,38%, naik menjadi 7,88% pada September 2020.
Sementara persentase penduduk miskin perdesaan pada Maret 2020 sebesar 12,82%, naik menjadi 13,20% pada September 2020. Rakyat miskin pun yang didaftarkan ke PBI kerap kali dinonaktifkan sepihak tanpa pemberitahuan sehingga tidak bisa digunakan di fasilitas kesehatan.
Demikian juga rakyat miskin yang didaftarkan ke PBI tidak langsung terinformasikan sehingga mereka tidak tahu kalau sudah menjadi peserta PBI. Kualitas komunikasi pemerintah dan peserta PBI relatif rendah.
Pasien JKN pun kerap kali mendapatkan perlakuan diskriminatif karena fasilitas kesehatan lebih menyukai pasien umum, masih ada yang dimintai bayaran, disuruh membeli obat sendiri, diminta pulang dalam kondisi belum layak pulang, dan sebagainya. Perlakuan tersebut sudah terjadi sejak awal beroperasinya JKN hingga saat ini, namun belum mampu ditangani secara sistemik.
Pelaksanaan program jaminan sosial ketenagakerjaan pun diwarnai oleh perlakuan diskriminatif. Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) hanya bisa dinikmati oleh pekerja penerima upah, sementara pekerja migran Indonesia (PMI), pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan pekerja jasa konstruksi (Jakon) yang memang juga peserta aktif di BPJS Ketenagakerjaan tidak mendapatkan dua program ini. Padahal manfaat kedua program tersebut sangat dibutuhkan dan akan mendukung kesejahteraan PMI, PBPU dan Jakon.
Pekerja informal miskin yang memang sangat membutuhkan Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) belum juga didaftarkan oleh pemerintah sebagai peserta PBI di BPJS Ketenagakerjaan. Kecelakaan kerja yang mereka alami sering tidak mendapatkan jaminan JKN lagi karena kecelakaan kerja dianggap sebagai tanggungjawab BPJS Ketenagakerjaan, padahal mereka belum menjadi peserta di BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini yang menyebabkan pekerja miskin yang mengalami kecelakaan kerja akan mengalami kesulitan untuk pembiayaan kuratifnya.
Pelaksanaan program JKK dan JKm bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan TNI-Polri
seharusnya diserahkan ke BPJS Ketenagakerjaan sesuai Peraturan Presiden (Perpres) No 109/2013 agar seluruh pekerja bergotong royong, namun hingga saat ini kedua program tersebut masih dikelola oleh PT Taspen dan PT Asabri. Ego sektoral masih dominan sehingga Perpres No 109/2013 tidak dipatuhi.
Persoalan di atas, baik dari sisi regulasi dan implementasi, tentunya mengambarkan pelaksanaan jaminan sosial masih belum menerapkan sepenuhnya nilai-nilai Pancasila. Persoalan tersebut dikontribusi oleh masalah defisit pembiayaan JKN, dukungan APBN, rendahnya pengawasan, dan masih adanya ego sektoral sehingga nilai-nilai Pancasila ada yang terabaikan.
Masih banyak rakyat miskin yang tidak mendapatkan jaminan Kesehatan karena sulit mengakses menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), baik yang dibiayai pemerintah pusat atau daerah. Pandemi Covid-19 pun mendorong penduduk miskin meningkat. Menurut Data BPS, persentase penduduk miskin perkotaan pada Maret 2020 sebesar 7,38%, naik menjadi 7,88% pada September 2020.
Sementara persentase penduduk miskin perdesaan pada Maret 2020 sebesar 12,82%, naik menjadi 13,20% pada September 2020. Rakyat miskin pun yang didaftarkan ke PBI kerap kali dinonaktifkan sepihak tanpa pemberitahuan sehingga tidak bisa digunakan di fasilitas kesehatan.
Demikian juga rakyat miskin yang didaftarkan ke PBI tidak langsung terinformasikan sehingga mereka tidak tahu kalau sudah menjadi peserta PBI. Kualitas komunikasi pemerintah dan peserta PBI relatif rendah.
Pasien JKN pun kerap kali mendapatkan perlakuan diskriminatif karena fasilitas kesehatan lebih menyukai pasien umum, masih ada yang dimintai bayaran, disuruh membeli obat sendiri, diminta pulang dalam kondisi belum layak pulang, dan sebagainya. Perlakuan tersebut sudah terjadi sejak awal beroperasinya JKN hingga saat ini, namun belum mampu ditangani secara sistemik.
Pelaksanaan program jaminan sosial ketenagakerjaan pun diwarnai oleh perlakuan diskriminatif. Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) hanya bisa dinikmati oleh pekerja penerima upah, sementara pekerja migran Indonesia (PMI), pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan pekerja jasa konstruksi (Jakon) yang memang juga peserta aktif di BPJS Ketenagakerjaan tidak mendapatkan dua program ini. Padahal manfaat kedua program tersebut sangat dibutuhkan dan akan mendukung kesejahteraan PMI, PBPU dan Jakon.
Pekerja informal miskin yang memang sangat membutuhkan Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) belum juga didaftarkan oleh pemerintah sebagai peserta PBI di BPJS Ketenagakerjaan. Kecelakaan kerja yang mereka alami sering tidak mendapatkan jaminan JKN lagi karena kecelakaan kerja dianggap sebagai tanggungjawab BPJS Ketenagakerjaan, padahal mereka belum menjadi peserta di BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini yang menyebabkan pekerja miskin yang mengalami kecelakaan kerja akan mengalami kesulitan untuk pembiayaan kuratifnya.
Pelaksanaan program JKK dan JKm bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan TNI-Polri
seharusnya diserahkan ke BPJS Ketenagakerjaan sesuai Peraturan Presiden (Perpres) No 109/2013 agar seluruh pekerja bergotong royong, namun hingga saat ini kedua program tersebut masih dikelola oleh PT Taspen dan PT Asabri. Ego sektoral masih dominan sehingga Perpres No 109/2013 tidak dipatuhi.
Persoalan di atas, baik dari sisi regulasi dan implementasi, tentunya mengambarkan pelaksanaan jaminan sosial masih belum menerapkan sepenuhnya nilai-nilai Pancasila. Persoalan tersebut dikontribusi oleh masalah defisit pembiayaan JKN, dukungan APBN, rendahnya pengawasan, dan masih adanya ego sektoral sehingga nilai-nilai Pancasila ada yang terabaikan.
tulis komentar anda