Meluruskan Sejarah Pancasila, Hikmah Mengangkat Hak Konstituisonal Warga Negara dalam Demokrasi
Rabu, 02 Juni 2021 - 08:25 WIB
Kedua; Trisila, bahwa Negara dirumuskan atas tiga dasar yang terdiri atas; Pasal (1) Socio-nationalisme, Pasal (2) Socio-demokratie, dan Pasal (3) ke-Tuhanan. Bung Karno juga menyebut Trisila sebagai dasar nasinalisme, demokrasi dan keTuhanan.
Sila Pertama; Sosio-nasionalisme adalah “nasionalisme kemasyarakatan”, nasionalisme yang mendasarkan kepentingan negara (politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan) di atas kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Sosio-nasionalisme juga berarti nasionalis sejati yang menjunjung tinggi budaya, suku/ras, dan agama/kepercayaan rakyat Indonesia, bukan chauvinis dengan menolak segala faham yang bertentangan dengan etika kehidupan masyarakat, baik yang muncul dari kelompok/aliran masyarakat dari dalam negeri maupun budaya barat.
Sila Kedua; Sosio-demokrasi. Esensinya digambarkan Bung Karno dalam risalah berjudul “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi”. Bahwa pembentukan kekuasaan politik ada di tangan rakyat dan pemilikan alat-alat produksi juga berada di tangan rakyat. Konsep sosio-demokrasi menggabungkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Tujuannya, untuk menciptakan keadilan dan menjamin kemakmuran kepada semua rakyat. Artinya, negara menjunjung tinggi demokrasi, dan menjamin tidak adanya penindasan rakyat melalui kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme.
Sila Ketiga; KeTuhanan. Alasan Bung Karno menempatkan sila ke-Tuhanan dalam Trisila, bahwa bangsa dan negara Indonesia tidak hanya suatu fenomena sosiologis, tapi juga memiliki makna geopolitik dan teologis. Atau dengan kata lain bangsa dan negara sebagai sesuatu yang memiliki makna spiritual, yakni memiliki dimensi keimanan (tauhid), karena terbentuknya bangsa dan negara sebagai kehendak Tuhan. Keyakinan Bung Karno dengan dasar ke-Tuhanan dapat dikutip dari “Sarinah Kewajiban Wanita dalam Perdjoeangan Republik Indonesia; ” … …saya mencintai sosialisme, oleh karena saya ber-Tuhan dan menyembah Tuhan. Saya mencintai sosialisme karena saya mencintai Islam. Saya mencintai sosialisme dan berjuang untuk sosialisme itu, malahan sebagai salah satu ibadah kepada Allah. Di dalam cita-cita politikku aku ini nasionalis, di dalam cita-cita sosialku, aku ini sosialis, di dalam cita-cita sukmaku aku ini sama sekali Theis. Sama sekali percaya kepada Tuhan, Sama sekali ingin mengabdi kepada Tuhan…”
Pancasila Sebagai “Weltanschauung”
Istilah weltanschauung berasal dari bahasa Jerman, terdiri dari dua kata anschauung yang memiliki arti pandangan mendasar, dan welt; dunia. Weltanschauung adalah suatu ajaran yang didapatkan dari hasil pemikiran yang mendalam mengenai kehidupan dunia, termasuk di dalamnya kehidupan bernegara, yang dijadikan sebagai acuan dasar untuk mengatur, memelihara, dan mengembangkan kehidupan bersama di dalam suatu negara. Dengan kata lain Weltanschauung merupakan dasar negara (ideologi) yang berfungsi sabagai pandangan hidup (way of life) suatu bangsa.
Lahirnya Pancasila sebagai dasar negara, merupakan hasil perenungan mendalam tentang kondisi riil kehidupan bangsa Indonesia dengan beragam latarbelakang dan kepentingan, yakni; upaya menjunjung tinggi perbedaan agama dan kebebasan dalam peribadatan, kebutuhan norma kehidupan karena beragam perbedaan, persatuan dalam kebersamaan, pentingnya permusyawaratan dalam demokrasi perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, disyahkannya Pancasila sebagai dasar negara juga telah melalui proses demokrasi perwakilan beragam kelompok masyarakat, khususnya dari kelompok nasionalis dan islam.
Karena itu, pada 19 September 1951 Bung Karno menolak disebut sebagai pencipta Pancasila dan menolak menerima gelar Doktor kehormatan dari Universitas Gadjah Mada Jogjakarta.
Bung Karno menyatakan, Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri yang merupakan isi jiwa, intisari dari peradaban bangsa Indonesia. Pancasila adalah isi jiwa Indonesia yang memiliki makna universal sebagai jalan keluar konfrontasi-konfrontasi ideologi. Bung Karno berdalih bahwa ia hanya merumuskan dan sekedar menggali dari akar sosial, politik budaya, dan ekonomi rakyat Indonesia. Ia juga tidak bersedia Pancasila dijadikan filsafatnya Soekarno seperti halnya Filsafat Socrates, filsafat Marx, filsafat Lenin dan lainnya.
Fundamental demokrasi substantif diukur oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) hal, yakni; kebebasan berpendapat, penghargaan terhadap pluralisme, dan toleransi, yakni toleransi yang dinyatakan dalam sila ke-3 Pancasila, “Persatuan Indonesia”, atau disebut sebagai toleransi nasional. Masalahnya, sejak era reformasi sampai sekarang pelaksanaan demokrasi masih bersifat prosedural. Contoh yang paling nyata adalah berubah-ubahnya peraturan tentang prosedur pelaksanaan pemilihan umum (pemilu).
Sila Pertama; Sosio-nasionalisme adalah “nasionalisme kemasyarakatan”, nasionalisme yang mendasarkan kepentingan negara (politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan) di atas kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Sosio-nasionalisme juga berarti nasionalis sejati yang menjunjung tinggi budaya, suku/ras, dan agama/kepercayaan rakyat Indonesia, bukan chauvinis dengan menolak segala faham yang bertentangan dengan etika kehidupan masyarakat, baik yang muncul dari kelompok/aliran masyarakat dari dalam negeri maupun budaya barat.
Sila Kedua; Sosio-demokrasi. Esensinya digambarkan Bung Karno dalam risalah berjudul “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi”. Bahwa pembentukan kekuasaan politik ada di tangan rakyat dan pemilikan alat-alat produksi juga berada di tangan rakyat. Konsep sosio-demokrasi menggabungkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Tujuannya, untuk menciptakan keadilan dan menjamin kemakmuran kepada semua rakyat. Artinya, negara menjunjung tinggi demokrasi, dan menjamin tidak adanya penindasan rakyat melalui kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme.
Sila Ketiga; KeTuhanan. Alasan Bung Karno menempatkan sila ke-Tuhanan dalam Trisila, bahwa bangsa dan negara Indonesia tidak hanya suatu fenomena sosiologis, tapi juga memiliki makna geopolitik dan teologis. Atau dengan kata lain bangsa dan negara sebagai sesuatu yang memiliki makna spiritual, yakni memiliki dimensi keimanan (tauhid), karena terbentuknya bangsa dan negara sebagai kehendak Tuhan. Keyakinan Bung Karno dengan dasar ke-Tuhanan dapat dikutip dari “Sarinah Kewajiban Wanita dalam Perdjoeangan Republik Indonesia; ” … …saya mencintai sosialisme, oleh karena saya ber-Tuhan dan menyembah Tuhan. Saya mencintai sosialisme karena saya mencintai Islam. Saya mencintai sosialisme dan berjuang untuk sosialisme itu, malahan sebagai salah satu ibadah kepada Allah. Di dalam cita-cita politikku aku ini nasionalis, di dalam cita-cita sosialku, aku ini sosialis, di dalam cita-cita sukmaku aku ini sama sekali Theis. Sama sekali percaya kepada Tuhan, Sama sekali ingin mengabdi kepada Tuhan…”
Pancasila Sebagai “Weltanschauung”
Istilah weltanschauung berasal dari bahasa Jerman, terdiri dari dua kata anschauung yang memiliki arti pandangan mendasar, dan welt; dunia. Weltanschauung adalah suatu ajaran yang didapatkan dari hasil pemikiran yang mendalam mengenai kehidupan dunia, termasuk di dalamnya kehidupan bernegara, yang dijadikan sebagai acuan dasar untuk mengatur, memelihara, dan mengembangkan kehidupan bersama di dalam suatu negara. Dengan kata lain Weltanschauung merupakan dasar negara (ideologi) yang berfungsi sabagai pandangan hidup (way of life) suatu bangsa.
Lahirnya Pancasila sebagai dasar negara, merupakan hasil perenungan mendalam tentang kondisi riil kehidupan bangsa Indonesia dengan beragam latarbelakang dan kepentingan, yakni; upaya menjunjung tinggi perbedaan agama dan kebebasan dalam peribadatan, kebutuhan norma kehidupan karena beragam perbedaan, persatuan dalam kebersamaan, pentingnya permusyawaratan dalam demokrasi perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, disyahkannya Pancasila sebagai dasar negara juga telah melalui proses demokrasi perwakilan beragam kelompok masyarakat, khususnya dari kelompok nasionalis dan islam.
Karena itu, pada 19 September 1951 Bung Karno menolak disebut sebagai pencipta Pancasila dan menolak menerima gelar Doktor kehormatan dari Universitas Gadjah Mada Jogjakarta.
Bung Karno menyatakan, Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri yang merupakan isi jiwa, intisari dari peradaban bangsa Indonesia. Pancasila adalah isi jiwa Indonesia yang memiliki makna universal sebagai jalan keluar konfrontasi-konfrontasi ideologi. Bung Karno berdalih bahwa ia hanya merumuskan dan sekedar menggali dari akar sosial, politik budaya, dan ekonomi rakyat Indonesia. Ia juga tidak bersedia Pancasila dijadikan filsafatnya Soekarno seperti halnya Filsafat Socrates, filsafat Marx, filsafat Lenin dan lainnya.
Fundamental demokrasi substantif diukur oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) hal, yakni; kebebasan berpendapat, penghargaan terhadap pluralisme, dan toleransi, yakni toleransi yang dinyatakan dalam sila ke-3 Pancasila, “Persatuan Indonesia”, atau disebut sebagai toleransi nasional. Masalahnya, sejak era reformasi sampai sekarang pelaksanaan demokrasi masih bersifat prosedural. Contoh yang paling nyata adalah berubah-ubahnya peraturan tentang prosedur pelaksanaan pemilihan umum (pemilu).
Lihat Juga :
tulis komentar anda