Meluruskan Sejarah Pancasila, Hikmah Mengangkat Hak Konstituisonal Warga Negara dalam Demokrasi

Rabu, 02 Juni 2021 - 08:25 WIB
Mohmamad Saihu Direktur Eksekutif Reide Indonesia. Foto/Ist
Mohmamad Saihu

Direktur Eksekutif Reide Indonesia

EKSISTENSI Pancasila sebagai landasan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selalu memantik berbagai diskursus kebangsaan. Masih hangat perdebatan seputar tesis Habib Rizieq Shihab (RHS) yang viral di media massa 3 (tiga) tahun lalu, berjudul “Pengaruh Pancasila terhadap Penerapan Syariat Islam di Indonesia”. Dinyatakan bahwa "Pancasila tidak melarang pemberlakuan penerapan syariat Islam, dan Pancasila membuka pintu selebar-lebarnya untuk pemberlakuan hukum agama di Indonesia selama dilakukan secara konstitusional" (Detik, 13/02/17).

Tesis ini tentu bertentangan dengan Pidato Presiden Soekarno (Bung Karno) pada 1 Juni 1945, disampaikan di hadapan Sidang Badan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI; saat itu disebut Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai), dan diketuai Dr KRuudT Radjiman Wedyodiningrat. Dalam pidatonya, Bung Karno menyatakan bahwa negara yang didirikan adalah untuk semua rakyat Indonesia dari ujung Aceh sampai Irian Jaya (sekarang; Papua), dari berbagai latarbelakang budaya, suka, ras, dan agama.

Dasar pertama adalah Kebangsaan, bahwa negara dibangun di atas satu kebangsaan Indonesia. Maksudnya, persaudaraan bangsa-bangsa akan terwujud jikalau sudah tidak ada lagi penjajahan manusia atas manusia, penindasan bangsa atas bangsa. Dasar kedua adalah Internasionalisme atau perikemanusiaan. Kata Bung Karno "Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme". Maksudnya, internasionalisme dan nasionalisme merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. (Dasar kedua ini tidak termasuk yang disampaikan Bung Karno di depan Sidang BPUPKI, tapi langsung ke dasar ketiga).



Dasar ketiga yaitu prinsip mufakat, perwakilan, permusyawaratan, bahwa Negara didirikan bukan untuk satu orang atau satu golongan. Karena itu, Bung Karno menyebut syarat mutlak kuatnya negara adalah dengan dasar permusyawaratan dan perwakilan.

Dasar keempat yang diusulkan Bung Karno adalah kesejahteraan. Dasar ini menjadi prinsip kuat Bung Karno sebagai simbol perlawanan atas kekuasaan otoriter saat itu. Dasar kesejahteraan adalah suatu kepedulian tinggi negara dalam upaya mengarahkan keberpihakan Negara pada kepentingan rakyat. Bung Karno memimpikan, di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka tidak boleh ada kemiskinan. Dasar kelima yaitu menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

5 (lima) prinsip dasar negara yang diusulkan Bung Karno (yang kemudian disebut Pancasila) disetujui secara aklamasi oleh semua anggota BPUPKI. Selanjutnya BPUPKI membentuk Panitia Sembilan untuk merumuskan dasar negara Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945, yang terdiri atas Ir. Soekarno selaku ketua, dan wakil ketuanya Drs. Mohammad Hatta. 7 (tujuh) anggota, yaitu; Mr. Achmad Soebardjom, Mr. Mohammad Yamin, KH. Wahid Hasjim, Abdoel Kahar Moezakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, H. Agus Salim, dan Mr. Alexander Andries Maramis.

Dari komposisi keanggotaan, Panitia Sembilan terdiri atas 4 (empat) orang dari kaum kebangsaan (nasionalis) dan empat orang dari kaum Islam. Hasilnya, pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan menghasilkan rumusan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) – yang kemudian menjadi cikal bakal Pembukaan UUD 1945 dengan perubahan pada sila pertama (berdasarkan pada berbagai pertimbangan mengenai sebuah negara kesatuan). Adapun bunyi Piagam Jakarta, yaitu;
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More