Rumput Liar Negara Hukum

Rabu, 05 Mei 2021 - 05:38 WIB
Sudjito Atmoredjo (Foto: Istimewa)
Sudjito Atmoredjo

Guru Besar Ilmu Hukum UGM

NEGARA hukum dapat dikiaskan sebagai lahan pertanian. Petani menanam padi untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Ketika benih-benih padi disemai, ternyata rumput liar pun ikut tumbuh. Membasmi (ndhangir) merupakan cara konvensional pembersihan rumput liar. Tindakan demikian, perlu dilakukan agar padi tumbuh sehat. Gabahnya mentes. Barokah ketika diolah dan disantap sebagai nasi.

Rumput liar, dalam perspektif yuridis-spiritual, adalah kejahatan. Benih-benihnya, tertanam dalam jiwa dan raga manusia. Artinya, setiap manusia rentan berniat dan berperilaku jahat. Karenanya, pencegahan dan penindakan hukum secara tegas perlu dilakukan terhadapnya. Demi kehidupan bersama yang tertib, teratur, adil, dan makmur.

Kejahatan, dalam perspektif legal-positivistik, hanya dikatakan ada kalau terbukti. Mata kepala digunakan sebagai alat memverifikasi bukti-bukti kejahatan. Dalam keterbatasannya, sungguh tidak mudah untuk melihat unsur niat, motif, ataupun nafsu pendorongnya. Akibatnya, banyak kejahatan sulit pembuktiannya sehingga lolos dari jerat hukum.



Berbeda halnya ketika mata hati juga digunakan secara simultan. Ahli spiritual, Gede Prama, mengatakan, daya tangkap mata hati, serupa samurai dari Jepang. Daya fungsionalnya jauh lebih tajam dibandingkan mata kepala, ataupun pedang yang terbuat dari besi.

Di tengah maraknya korupsi, kolusi, nepotisme, dan kejahatan lain, kehidupan bernegara hukum serupa dengan hamparan tanaman padi yang meranggas. Banyak batang pohonnya (damen), tetapi tanpa buah (gabuk). Justru, rumput liarlah yang tumbuh subur. Dalam situasi demikian, berbagai persoalan kenegaraan muncul. Rakyatlah yang paling menderita. Sementara itu, kelompok elite (rumput liar) justru hidup dalam kemewahan. Jurang kehidupan semakin lebar. Di situ banyak hukum, tetapi langka keadilan.

Bagaimanakah agar negara hukum kembali ke fitrahnya?

Fitrah negara hukum Indonesia adalah institusi perwujudan kehidupan bersama, dalam suasana damai, harmonis, adil, dan makmur, dalam rida Tuhan Yang Maha Esa. Pangkal tolak dan tempat bersauh negara hukum adalah kemutlakan otoritas-Nya, dalam segala perikehidupan. Keberadaan dan penerimaan atas-Nya bukan melalui pancaindera atau mata kepala, melainkan melalui keimanan. Dari sanalah tersalurkan hukum-hukum-Nya, sehingga dapat dipahami dan dikelola perihal sangkan paraning dumadi. Nilai-nilai ketuhanan itu selanjutnya wajib diaktualisasikan sehingga sistem hukum nasional menjadi seiring dan sejalan dengan kehendak-Nya. Itulah, maka sebenarnya negara hukum berwatak religius, merupakan fitrah dan naluriah.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More