Rumput Liar Negara Hukum
loading...
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
NEGARA hukum dapat dikiaskan sebagai lahan pertanian. Petani menanam padi untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Ketika benih-benih padi disemai, ternyata rumput liar pun ikut tumbuh. Membasmi (ndhangir) merupakan cara konvensional pembersihan rumput liar. Tindakan demikian, perlu dilakukan agar padi tumbuh sehat. Gabahnya mentes. Barokah ketika diolah dan disantap sebagai nasi.
Rumput liar, dalam perspektif yuridis-spiritual, adalah kejahatan. Benih-benihnya, tertanam dalam jiwa dan raga manusia. Artinya, setiap manusia rentan berniat dan berperilaku jahat. Karenanya, pencegahan dan penindakan hukum secara tegas perlu dilakukan terhadapnya. Demi kehidupan bersama yang tertib, teratur, adil, dan makmur.
Kejahatan, dalam perspektif legal-positivistik, hanya dikatakan ada kalau terbukti. Mata kepala digunakan sebagai alat memverifikasi bukti-bukti kejahatan. Dalam keterbatasannya, sungguh tidak mudah untuk melihat unsur niat, motif, ataupun nafsu pendorongnya. Akibatnya, banyak kejahatan sulit pembuktiannya sehingga lolos dari jerat hukum.
Berbeda halnya ketika mata hati juga digunakan secara simultan. Ahli spiritual, Gede Prama, mengatakan, daya tangkap mata hati, serupa samurai dari Jepang. Daya fungsionalnya jauh lebih tajam dibandingkan mata kepala, ataupun pedang yang terbuat dari besi.
Di tengah maraknya korupsi, kolusi, nepotisme, dan kejahatan lain, kehidupan bernegara hukum serupa dengan hamparan tanaman padi yang meranggas. Banyak batang pohonnya (damen), tetapi tanpa buah (gabuk). Justru, rumput liarlah yang tumbuh subur. Dalam situasi demikian, berbagai persoalan kenegaraan muncul. Rakyatlah yang paling menderita. Sementara itu, kelompok elite (rumput liar) justru hidup dalam kemewahan. Jurang kehidupan semakin lebar. Di situ banyak hukum, tetapi langka keadilan.
Bagaimanakah agar negara hukum kembali ke fitrahnya?
Fitrah negara hukum Indonesia adalah institusi perwujudan kehidupan bersama, dalam suasana damai, harmonis, adil, dan makmur, dalam rida Tuhan Yang Maha Esa. Pangkal tolak dan tempat bersauh negara hukum adalah kemutlakan otoritas-Nya, dalam segala perikehidupan. Keberadaan dan penerimaan atas-Nya bukan melalui pancaindera atau mata kepala, melainkan melalui keimanan. Dari sanalah tersalurkan hukum-hukum-Nya, sehingga dapat dipahami dan dikelola perihal sangkan paraning dumadi. Nilai-nilai ketuhanan itu selanjutnya wajib diaktualisasikan sehingga sistem hukum nasional menjadi seiring dan sejalan dengan kehendak-Nya. Itulah, maka sebenarnya negara hukum berwatak religius, merupakan fitrah dan naluriah.
Dalam rangka penjabaran fitrah negara hukum, sekaligus pemahaman tentang realitas empiris tumbuhnya rumput-rumput liar dan upaya-upaya pembasmiannya, ada baiknya disimak saksama hakikat penciptaan organ tubuh: mata, telinga, dan mulut. Atas karunia-Nya, setiap manusia memiliki mulut satu, mata dua, dan telinga dua. Pesan spiritual-religiusnya adalah kemajuan kehidupan negara hukum akan terwujud bila organ-organ tubuh tersebut difungsikan secara benar dan proporsional. Para penyelenggara negara mestinya banyak mendengar suara hati rakyat, banyak menatap realitas kehidupan mayoritas warga, dan hanya (sedikit) bicara, kecuali soal kebenaran dan kejujuran. Jadi, porsi penggunaan telinga dan mata dua kali lipat dibandingkan penggunaan mulut. Orientasinya tertuju kepada masa depan bangsa, yakni sebagai bangsa beradab, sejajar dengan bangsa lain, dan mampu berkontribusi demi terwujudnya perdamaian global.
Bila hakikat penciptaan organ-organ tubuh di atas benar-benar dikelola baik, dapatlah diyakini akan muncul sikap kasih sayang (compassion), sekaligus semakin menipisnya arogansi. Dicintailah seluruh warga negara dan tumpah darahnya sebagaimana mengasihi diri sendiri. Setiap kali hukum dibuat, dilaksanakan, dan ditegakkan, selalu dipertanyakan kepada hati nuraninya, adakah bermanfaat bagi pihak lain? Itulah pancaran energi kebangsaan yang terlahir sebagai ekspresi kehidupan bernegara hukum.
Pandemi Covid-19 sudah berlangsung lebih satu tahun. Belum ada tanda-tanda mereda. Dalam perspektif yuridis-spiritual, pandemi Covid-19 (termasuk larangan mudik) merupakan ujian terhadap negara hukum. Benarkah hukum Tuhan telah dijadikan sumber pembuatan regulasi dan penanganan pandemi Covid-19? Bukankah Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Alquran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah, Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al-Qasas: 85).
Di situlah terdapat petunjuk bahwa “cinta tanah air merupakan sebagian dari iman”. Sahabat Umar RA berkata; “Jika bukan karena cinta tanah air, niscaya akan rusak negeri yang jelek (gersang), maka sebab cinta tanah air dibangunlah negeri-negeri.” (Ismail Haqqi al-Hanafi, Ruhul Bayan, Juz 6, hlm 441-442).
Amat disayangkan, betapa banyak di negeri ini rumput liar bersemi di sela-sela hukum negara. Rumput liar tumbuh di Kementerian Sosial, berupa korupsi dana bantuan sosial. Rumput liar pun disemai di berbagai pemerintahan daerah saat pemilihan kepala daerah. Masih banyak rumput liar lain tumbuh di berbagai lembaga dan oknum pejabat publik.
Idealnya, pandemi Covid-19 dimaknai sebagai peringatan, agar seluruh umat manusia, kembali ke jati dirinya sebagai makhluk suci, cinta tanah airnya, cinta bangsanya. Cinta tanah air bersifat naluriah, demi terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara, serta memiliki keseimbangan dunia dan akhirat.
Ramadan dan Hari Raya Idulfitri di era pandemi Covid-19 perlu dikelola secara bijak. Basmilah rumput-rumput liar melalui sinkronisasi kebijakan kesehatan dengan kebijakan ekonomi. Padukan kebijakan transportasi dengan kebijakan pariwisata. Konsistenkan antara kebijakan pusat (nasional) dan daerah (lokal). Setiap larangan, mesti disertai solusinya. Kebijakan mudik berwatak sosial-religius diperlukan agar pada satu sisi kebijakan tersebut bernilai ibadah. Pada sisi lain, agar kemudaratannya dapat diminimalkan. Wallahu a’lam.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
NEGARA hukum dapat dikiaskan sebagai lahan pertanian. Petani menanam padi untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Ketika benih-benih padi disemai, ternyata rumput liar pun ikut tumbuh. Membasmi (ndhangir) merupakan cara konvensional pembersihan rumput liar. Tindakan demikian, perlu dilakukan agar padi tumbuh sehat. Gabahnya mentes. Barokah ketika diolah dan disantap sebagai nasi.
Rumput liar, dalam perspektif yuridis-spiritual, adalah kejahatan. Benih-benihnya, tertanam dalam jiwa dan raga manusia. Artinya, setiap manusia rentan berniat dan berperilaku jahat. Karenanya, pencegahan dan penindakan hukum secara tegas perlu dilakukan terhadapnya. Demi kehidupan bersama yang tertib, teratur, adil, dan makmur.
Kejahatan, dalam perspektif legal-positivistik, hanya dikatakan ada kalau terbukti. Mata kepala digunakan sebagai alat memverifikasi bukti-bukti kejahatan. Dalam keterbatasannya, sungguh tidak mudah untuk melihat unsur niat, motif, ataupun nafsu pendorongnya. Akibatnya, banyak kejahatan sulit pembuktiannya sehingga lolos dari jerat hukum.
Berbeda halnya ketika mata hati juga digunakan secara simultan. Ahli spiritual, Gede Prama, mengatakan, daya tangkap mata hati, serupa samurai dari Jepang. Daya fungsionalnya jauh lebih tajam dibandingkan mata kepala, ataupun pedang yang terbuat dari besi.
Di tengah maraknya korupsi, kolusi, nepotisme, dan kejahatan lain, kehidupan bernegara hukum serupa dengan hamparan tanaman padi yang meranggas. Banyak batang pohonnya (damen), tetapi tanpa buah (gabuk). Justru, rumput liarlah yang tumbuh subur. Dalam situasi demikian, berbagai persoalan kenegaraan muncul. Rakyatlah yang paling menderita. Sementara itu, kelompok elite (rumput liar) justru hidup dalam kemewahan. Jurang kehidupan semakin lebar. Di situ banyak hukum, tetapi langka keadilan.
Bagaimanakah agar negara hukum kembali ke fitrahnya?
Fitrah negara hukum Indonesia adalah institusi perwujudan kehidupan bersama, dalam suasana damai, harmonis, adil, dan makmur, dalam rida Tuhan Yang Maha Esa. Pangkal tolak dan tempat bersauh negara hukum adalah kemutlakan otoritas-Nya, dalam segala perikehidupan. Keberadaan dan penerimaan atas-Nya bukan melalui pancaindera atau mata kepala, melainkan melalui keimanan. Dari sanalah tersalurkan hukum-hukum-Nya, sehingga dapat dipahami dan dikelola perihal sangkan paraning dumadi. Nilai-nilai ketuhanan itu selanjutnya wajib diaktualisasikan sehingga sistem hukum nasional menjadi seiring dan sejalan dengan kehendak-Nya. Itulah, maka sebenarnya negara hukum berwatak religius, merupakan fitrah dan naluriah.
Dalam rangka penjabaran fitrah negara hukum, sekaligus pemahaman tentang realitas empiris tumbuhnya rumput-rumput liar dan upaya-upaya pembasmiannya, ada baiknya disimak saksama hakikat penciptaan organ tubuh: mata, telinga, dan mulut. Atas karunia-Nya, setiap manusia memiliki mulut satu, mata dua, dan telinga dua. Pesan spiritual-religiusnya adalah kemajuan kehidupan negara hukum akan terwujud bila organ-organ tubuh tersebut difungsikan secara benar dan proporsional. Para penyelenggara negara mestinya banyak mendengar suara hati rakyat, banyak menatap realitas kehidupan mayoritas warga, dan hanya (sedikit) bicara, kecuali soal kebenaran dan kejujuran. Jadi, porsi penggunaan telinga dan mata dua kali lipat dibandingkan penggunaan mulut. Orientasinya tertuju kepada masa depan bangsa, yakni sebagai bangsa beradab, sejajar dengan bangsa lain, dan mampu berkontribusi demi terwujudnya perdamaian global.
Bila hakikat penciptaan organ-organ tubuh di atas benar-benar dikelola baik, dapatlah diyakini akan muncul sikap kasih sayang (compassion), sekaligus semakin menipisnya arogansi. Dicintailah seluruh warga negara dan tumpah darahnya sebagaimana mengasihi diri sendiri. Setiap kali hukum dibuat, dilaksanakan, dan ditegakkan, selalu dipertanyakan kepada hati nuraninya, adakah bermanfaat bagi pihak lain? Itulah pancaran energi kebangsaan yang terlahir sebagai ekspresi kehidupan bernegara hukum.
Pandemi Covid-19 sudah berlangsung lebih satu tahun. Belum ada tanda-tanda mereda. Dalam perspektif yuridis-spiritual, pandemi Covid-19 (termasuk larangan mudik) merupakan ujian terhadap negara hukum. Benarkah hukum Tuhan telah dijadikan sumber pembuatan regulasi dan penanganan pandemi Covid-19? Bukankah Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Alquran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah, Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al-Qasas: 85).
Di situlah terdapat petunjuk bahwa “cinta tanah air merupakan sebagian dari iman”. Sahabat Umar RA berkata; “Jika bukan karena cinta tanah air, niscaya akan rusak negeri yang jelek (gersang), maka sebab cinta tanah air dibangunlah negeri-negeri.” (Ismail Haqqi al-Hanafi, Ruhul Bayan, Juz 6, hlm 441-442).
Amat disayangkan, betapa banyak di negeri ini rumput liar bersemi di sela-sela hukum negara. Rumput liar tumbuh di Kementerian Sosial, berupa korupsi dana bantuan sosial. Rumput liar pun disemai di berbagai pemerintahan daerah saat pemilihan kepala daerah. Masih banyak rumput liar lain tumbuh di berbagai lembaga dan oknum pejabat publik.
Idealnya, pandemi Covid-19 dimaknai sebagai peringatan, agar seluruh umat manusia, kembali ke jati dirinya sebagai makhluk suci, cinta tanah airnya, cinta bangsanya. Cinta tanah air bersifat naluriah, demi terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara, serta memiliki keseimbangan dunia dan akhirat.
Ramadan dan Hari Raya Idulfitri di era pandemi Covid-19 perlu dikelola secara bijak. Basmilah rumput-rumput liar melalui sinkronisasi kebijakan kesehatan dengan kebijakan ekonomi. Padukan kebijakan transportasi dengan kebijakan pariwisata. Konsistenkan antara kebijakan pusat (nasional) dan daerah (lokal). Setiap larangan, mesti disertai solusinya. Kebijakan mudik berwatak sosial-religius diperlukan agar pada satu sisi kebijakan tersebut bernilai ibadah. Pada sisi lain, agar kemudaratannya dapat diminimalkan. Wallahu a’lam.
(bmm)