MK Tolak Uji Materi Revisi UU KPK, Hakim Beda Pendapat
Selasa, 04 Mei 2021 - 16:01 WIB
Namun, singkatnya waktu pembentukan Undang-Undang a quo jelas berpengaruh secara signifikan terhadap sangat minimnya partisipasi masyarakat, sangat minimnya masukan yang diberikan oleh masyarakat secara tulus dan berjenjang (bottom up) dan dari para supporting system yang ada baik dari sisi Presiden maupun DPR, serta sangat minimnya kajian dampak analisis terhadap pihak (khususnya lembaga) yang akan melaksanakan ketentuan Undang-Undang a quo (in casu KPK).
Selain itu, tidak sinkronnya antara Naskah Akademik (yang cenderung berorientasi pada pembentukan "sebuah Undang-Undang perubahan KPK") dan RUU (yang memang sejak awal ternyata telah berorientasi membentuk "sebuah Undang-Undang baru tentang KPK" juga menunjukkan bahwa dalam Undang-Undang a quo telah terjadi disorientasi arah pengaturan mengenai kelembagaan KPK serta upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Akumulasi dari berbagai kondisi tersebut di atas, Adams menilai hal itu menyebabkan sangat rendahnya, bahkan mengarah pada nihilnya jaminan konstitusionalitas pembentukan Undang-Undang a quo.
Dalam memutus perkara ini, dia mengaku terdapat tiga opsi putusan. Pertama, pertahankan Undang-Undang a quo (dengan menyatakan menolak permohonan para Pemohon), kedua, Mahkamah memperbaiki beberapa (bahkan banyak) materi yang terdapat dalam Undang-Undang a quo dengan mengabulkan sebagian permohonan para Pemohon, khususnya para Pemohon uji materil) agar Undang-Undang a quo menjadi terjamin konstitusionalitasnya; atau ketiga Kembali ke Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelum perubahan dan dengan menyatakan bahwa Undang-Undang a quo bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).
"Berdasarkan 3 opsi koridor untuk memutus perkara pengujian di atas, saya berijtihad untuk menempuh koridor "jalan tengah terbaik" yang saya yakini, yaitu menyatakan bahwa pembentukan undang-undang a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sehingga undang-undang a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar dia.
Selain itu, tidak sinkronnya antara Naskah Akademik (yang cenderung berorientasi pada pembentukan "sebuah Undang-Undang perubahan KPK") dan RUU (yang memang sejak awal ternyata telah berorientasi membentuk "sebuah Undang-Undang baru tentang KPK" juga menunjukkan bahwa dalam Undang-Undang a quo telah terjadi disorientasi arah pengaturan mengenai kelembagaan KPK serta upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Akumulasi dari berbagai kondisi tersebut di atas, Adams menilai hal itu menyebabkan sangat rendahnya, bahkan mengarah pada nihilnya jaminan konstitusionalitas pembentukan Undang-Undang a quo.
Dalam memutus perkara ini, dia mengaku terdapat tiga opsi putusan. Pertama, pertahankan Undang-Undang a quo (dengan menyatakan menolak permohonan para Pemohon), kedua, Mahkamah memperbaiki beberapa (bahkan banyak) materi yang terdapat dalam Undang-Undang a quo dengan mengabulkan sebagian permohonan para Pemohon, khususnya para Pemohon uji materil) agar Undang-Undang a quo menjadi terjamin konstitusionalitasnya; atau ketiga Kembali ke Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelum perubahan dan dengan menyatakan bahwa Undang-Undang a quo bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).
"Berdasarkan 3 opsi koridor untuk memutus perkara pengujian di atas, saya berijtihad untuk menempuh koridor "jalan tengah terbaik" yang saya yakini, yaitu menyatakan bahwa pembentukan undang-undang a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sehingga undang-undang a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar dia.
(muh)
tulis komentar anda