5 Kekuatan Indonesia Tangkal Perpecahan akibat Radikalisme dan Terorisme
Selasa, 04 Mei 2021 - 12:45 WIB
Fenomena itu kemudian berkolaborasi dengan oposisi yang destruktif kemudian berkolaborasi dengan asing ataupun terjadi intervensi asing. Hal ini seperti yang jelas terlihat di Libya, Syria, Yaman, Irak dan sebagainya.
“Ini bisa jadi akibat konflik bangsa yang disebabkan oleh radikalisme dan mengatasnamakan agama ini bisa jadi sepanjang peradaban manusia di abad 21 ini. Korban yang ditimbulkan adalah yang terbesar yang diakibatkan oleh konflik bangsa yang ditimbulkan oleh maraknya radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan Islam,” tuturnya.
Dia yakin radikalisme dan terorisme mengatasnamakan Islam ini sejatinya adalah proxy untuk menghancurkan Islam dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu seluruh elemen masyarakat harus mewaspadainya.
Berdasarkan hasil survei Alvara dan Nazaruddin Umar foundation, indeks potensial terpapar paham radikal ada sekitar 12,2 %. Indikatornya antara lain pelaku sudah eksklusif, intoleran, anti budaya atau anti kearifan lokal keagamaan seperti anti tahlilan, anti Yasinan, anti maulid dan sebagainya.
“Kalau misalnya tidak Yasinan, tidak tahlilan, tidak maulidan itu enggak masalah, karena itu khilafiah atau iktikaf dalam agama .Tetapi ketika dia menjustifikasi atau mengintervensi dengan justifikasi sesat, bid’ah dan sebagainya maka itu sudah intoleran. Karena intoleran ini adalah watak dasar daripada radikalisme dan terorisme itu sendiri,” tuturnya.
Lebih jauh, dia mengatakan boleh dibilang semua teroris pasti berpaham radikal, bersikap toleran dan pasti eksklusif. Namun belum tentu seseorang yang terpapar paham radikal itu otomatis menjadi teroris.
“Radikalisme terorisme mengatasnamakan Islam dalam konteks di Indonesia khususnya, sejatinya adalah gerakan politik yang memanipulasi agama untuk mengambil kekuasaan dan ingin mengganti ideologi negara dan ideologi atau sistem negara. Mereka ini firqoh-firqohnya macam-macam. Tapi sebenarnya endingnya, output atau visi misinya sama. Tentunya ini harus kita waspadai semua,” ungkapnya
Mantan Kabagbanops Detasemen Khusus (Densus)88/Anti Teror Polri ini mengatakan bahwa Indonesia ini adalah negeri yang memiliki potensial konflik terbesar di dunia.
Belajar dari pengalaman bangsa Eropa yang hanya terdiri atas beberapa suku bangsa, lalu bisa pecah menjadi beberapa negara. Kemudian bangsa Arab yang hanya satu suku bangsa tapi terbagi menjadi beberapa negara.
Sementara Indonesia sendiri memiliki lebih dari 1.200 suku bangsa, lebih dari 1.000 bahasa lokal, memiliki 17.480-an pulau yang tidak ada duanya di dunia.
“Ini bisa jadi akibat konflik bangsa yang disebabkan oleh radikalisme dan mengatasnamakan agama ini bisa jadi sepanjang peradaban manusia di abad 21 ini. Korban yang ditimbulkan adalah yang terbesar yang diakibatkan oleh konflik bangsa yang ditimbulkan oleh maraknya radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan Islam,” tuturnya.
Dia yakin radikalisme dan terorisme mengatasnamakan Islam ini sejatinya adalah proxy untuk menghancurkan Islam dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu seluruh elemen masyarakat harus mewaspadainya.
Berdasarkan hasil survei Alvara dan Nazaruddin Umar foundation, indeks potensial terpapar paham radikal ada sekitar 12,2 %. Indikatornya antara lain pelaku sudah eksklusif, intoleran, anti budaya atau anti kearifan lokal keagamaan seperti anti tahlilan, anti Yasinan, anti maulid dan sebagainya.
“Kalau misalnya tidak Yasinan, tidak tahlilan, tidak maulidan itu enggak masalah, karena itu khilafiah atau iktikaf dalam agama .Tetapi ketika dia menjustifikasi atau mengintervensi dengan justifikasi sesat, bid’ah dan sebagainya maka itu sudah intoleran. Karena intoleran ini adalah watak dasar daripada radikalisme dan terorisme itu sendiri,” tuturnya.
Lebih jauh, dia mengatakan boleh dibilang semua teroris pasti berpaham radikal, bersikap toleran dan pasti eksklusif. Namun belum tentu seseorang yang terpapar paham radikal itu otomatis menjadi teroris.
“Radikalisme terorisme mengatasnamakan Islam dalam konteks di Indonesia khususnya, sejatinya adalah gerakan politik yang memanipulasi agama untuk mengambil kekuasaan dan ingin mengganti ideologi negara dan ideologi atau sistem negara. Mereka ini firqoh-firqohnya macam-macam. Tapi sebenarnya endingnya, output atau visi misinya sama. Tentunya ini harus kita waspadai semua,” ungkapnya
Mantan Kabagbanops Detasemen Khusus (Densus)88/Anti Teror Polri ini mengatakan bahwa Indonesia ini adalah negeri yang memiliki potensial konflik terbesar di dunia.
Belajar dari pengalaman bangsa Eropa yang hanya terdiri atas beberapa suku bangsa, lalu bisa pecah menjadi beberapa negara. Kemudian bangsa Arab yang hanya satu suku bangsa tapi terbagi menjadi beberapa negara.
Sementara Indonesia sendiri memiliki lebih dari 1.200 suku bangsa, lebih dari 1.000 bahasa lokal, memiliki 17.480-an pulau yang tidak ada duanya di dunia.
tulis komentar anda