5 Kekuatan Indonesia Tangkal Perpecahan akibat Radikalisme dan Terorisme

Selasa, 04 Mei 2021 - 12:45 WIB
loading...
5 Kekuatan Indonesia...
Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid saat menjadi narasumber pada acara Ngaji Onlne yang digelar oleh Pondok Pesantren Raden Rahmat Sunan Ampel dengan judul Tasawuf Agama (Ihsan) sebagai Vaksin Radikal Terorisme pada Senin 3 Mei 2021. Foto/Istimewa.
A A A
JAKARTA - Nabi Muhammad SAW telah mensyariatkan atau memfatwakan bahwa rukun dalam beragama ini yaitu iman, Islam dan ihsan.

Rukun Ihsan ini yang bisa mengeksplor dan menggali aspek spiritualitas di dalam keagamaan. Ketika spiritualitas itu muncul dan menonjol maka tercermin dalam perilaku akhlakul karimah sebagaimana misi utama Rasulullah Muhammad SAW. Innama bu'istu liutammima makarimal akhlak’.

Yang bisa menggali atau mengeksplor spiritualitas di dalam keagamaan itu tidak ada jalan lain kecuali hanya dengan tasawuf.

Hal tersebut dikatakan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid saat menjadi narasumber saat acara Ngaji Onlne yang digelar oleh Pondok Pesantren Raden Rahmat Sunan Ampel dengan judul Tasawuf Agama (Ihsan) sebagai Vaksin Radikal Terorisme, Senin 3 Mei 2021.

Tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun lahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. “Kunci utama kekaffahan agama adalah iman, Islam dan ihsan. Kelemahan bangsa Indonesia khususnya umat Islam itu pada aspek ihsan atau aspek spiritualitas, yang mana dalam konteks ini adalah tasawuf,” kata Ahmad Nurwakhid mengawali ceramahnya.

Dia mencoba mengkomparasi atau merelevansikan tasawuf dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika berbicara radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama, tentunya hal tersebut bukan monopoli satu agama, tapi ada di setiap agama, ada di setiap sekte, ada disetiap kelompok, bahkan potensial pada setiap individu manusia.

Menurut dia, akar masalah radikal terorisme adalah ideologi yang menyimpang atau terdistorsi. Radikalisme dalam konteks Indonesia, istilah di luar negeri ekstremisme, inilah yang menjiwai dari segala aksi terorisme .

“Saya sering mengatakan, aksi terorisme itu tidak ada kaitannya dengan agama apa pun. Tetapi sangat terkait dengan pemahaman dan cara beragama oknum umat beragama yang menyimpang dari yang bersangkutan,” tuturnya.

Dia menceritakan, di negeri-negeri Islam yang sedang mengalami konflik, fenomena masifnya radikalisme dan terorisme ini selalu mendahului sebelum terjadinya konflik di suatu bangsa. Artinya, setiap negeri konflik di negeri-negeri Islam, itu selalu didahului oleh masif dan maraknya fenomena radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan Islam.

Fenomena itu kemudian berkolaborasi dengan oposisi yang destruktif kemudian berkolaborasi dengan asing ataupun terjadi intervensi asing. Hal ini seperti yang jelas terlihat di Libya, Syria, Yaman, Irak dan sebagainya.

“Ini bisa jadi akibat konflik bangsa yang disebabkan oleh radikalisme dan mengatasnamakan agama ini bisa jadi sepanjang peradaban manusia di abad 21 ini. Korban yang ditimbulkan adalah yang terbesar yang diakibatkan oleh konflik bangsa yang ditimbulkan oleh maraknya radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan Islam,” tuturnya.

Dia yakin radikalisme dan terorisme mengatasnamakan Islam ini sejatinya adalah proxy untuk menghancurkan Islam dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu seluruh elemen masyarakat harus mewaspadainya.

Berdasarkan hasil survei Alvara dan Nazaruddin Umar foundation, indeks potensial terpapar paham radikal ada sekitar 12,2 %. Indikatornya antara lain pelaku sudah eksklusif, intoleran, anti budaya atau anti kearifan lokal keagamaan seperti anti tahlilan, anti Yasinan, anti maulid dan sebagainya.

“Kalau misalnya tidak Yasinan, tidak tahlilan, tidak maulidan itu enggak masalah, karena itu khilafiah atau iktikaf dalam agama .Tetapi ketika dia menjustifikasi atau mengintervensi dengan justifikasi sesat, bid’ah dan sebagainya maka itu sudah intoleran. Karena intoleran ini adalah watak dasar daripada radikalisme dan terorisme itu sendiri,” tuturnya.

Lebih jauh, dia mengatakan boleh dibilang semua teroris pasti berpaham radikal, bersikap toleran dan pasti eksklusif. Namun belum tentu seseorang yang terpapar paham radikal itu otomatis menjadi teroris.

“Radikalisme terorisme mengatasnamakan Islam dalam konteks di Indonesia khususnya, sejatinya adalah gerakan politik yang memanipulasi agama untuk mengambil kekuasaan dan ingin mengganti ideologi negara dan ideologi atau sistem negara. Mereka ini firqoh-firqohnya macam-macam. Tapi sebenarnya endingnya, output atau visi misinya sama. Tentunya ini harus kita waspadai semua,” ungkapnya

Mantan Kabagbanops Detasemen Khusus (Densus)88/Anti Teror Polri ini mengatakan bahwa Indonesia ini adalah negeri yang memiliki potensial konflik terbesar di dunia.

Belajar dari pengalaman bangsa Eropa yang hanya terdiri atas beberapa suku bangsa, lalu bisa pecah menjadi beberapa negara. Kemudian bangsa Arab yang hanya satu suku bangsa tapi terbagi menjadi beberapa negara.

Sementara Indonesia sendiri memiliki lebih dari 1.200 suku bangsa, lebih dari 1.000 bahasa lokal, memiliki 17.480-an pulau yang tidak ada duanya di dunia.

Bangsa ini memiliki agama yang paling banyak di dunia, ada Islam, Katolik, Protestan, Konghucu, Budha, Hindu dan berbagai macam aliran-alirannya yang lain.

Letak geografisnya juga sangat strategis di antara dua benua dan dua samudra. Lebih daripada itu Indonesia ini memiliki kekayaan alam, sumber daya alam yang melimpah yang dibutuhkan untuk kemajuan peradaban dan teknologi masa depan.

“Indonesia ini sangat seksi untuk diperebutkan oleh negeri-negeri adidaya maupun adikuasa. Ini harus kita waspadai. Bangsa ini memiliki potensial konflik yang luar biasa besarnya,” ujarnya.

Bahkan dirinya juga sempat ditanya pengamat dari di luar negeri, bagaimana Indonesia yang beragam ini bisa terhindar dari konflik. Sementara di negeri-negeri Timur Tengah, di negeri-negeri Islam yang lainnya mudah sekali dibuat konflik.

Kepada pengamat itu, dirinya membeberkan Indonesia memiliki lima kekuatan. Yang pertama, Indonesia memiliki Pancasila.

Pancasila adalah ideologi pemersatu bangsa yang diambil dari substansi kearifan lokal budaya leluhur dan substansi agama yang ada di Indonesia.

“Pancasila adalah format atau diformulasikan oleh para founding father kita yang sangat jenius, terutama para ulama-ulama kami yang tidak hanya menggunakan kecerdasan kognisi, tapi juga dengan kecerdasan spiritualnya yaitu dengan tasawuf, sehingga mampu merumuskan ideologi bernama Pancasila yang bisa memoderasi seluruh ‘isme-isme’ yang ada di dunia yang mencoba untuk dipaksakan diterapkan di Indonesia. Itu kekuatan kami Pancasila ini,” tuturnya.

Kedua, Indonesia punya kearifan lokal berupa silaturahmi dan gotong royong yang mampu mempersatukan sampai ke grasroot terhadap masyarakat kami yang heterogen dan majemuk.

Ketiga, Indonesia juga memiliki civil society moderat seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Al Washliyah, Al itiihadiyah, Syarikat Islam, Nahdlatul Wathon dan lain sebagainya yang menjadi benteng dengan "Hubul Wathon Minal Iman-nya".

Keempat, memiliki TNI-Polri yang solid. “Tetapi yang lebih dari itu yang kelima, saya katakan kami memiliki ulama-ulama Sufi, kami memiliki ulama-ulama Tasawuf yang dengan cholis dan dengan ahlas doanya menembus sampai ke langit sehingga oleh Tuhan, negara kami masih diberikan karunia aman, damai sampai sekarang Nah disinilah letak penting yang Tasawuf atau maqom Ihsan, atau tampilan ahlakul kharimah sebagai jawaban untuk memvaksinasi secara ideologis bagi masyarakat bangsa Indonesia ini,” tuturnya.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1459 seconds (0.1#10.140)