Pasien sebagai Konsumen yang Unik
Selasa, 27 April 2021 - 04:37 WIB
Terdapat sekelompok pasien yang dikecualikan dari hak atas informasi karena pemberian informasi tersebut justru akan merugikan pasien (membuat kondisi kesehatan pasien semakin menurun). Biasanya, pasien yang termasuk dalam kelompok ini adalah pasien dengan kondisi stadium terminal (misalnya; penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika, dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS).
Pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan mempunyai hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas jasa pelayanan kesehatan yang telah dipergunakannya. Hal ini diatur di dalam Pasal 4 (4) UU Perlindungan Konsumen. Tentunya, penyampaian pendapat dan keluhan tersebut harus melalui mekanisme yang telah diatur di dalam peraturan (biasanya diatur di dalam peraturan internal rumah sakit). Apabila pasien atau keluarga terdekat pasien menginformasikan kondisi kesehatan pasien (termasuk pendapat dan keluhan) melalui media massa, maka akan menimbulkan 2 (dua) buah konsekuensi. Pertama, pasien dianggap telah melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum. Kedua, tenaga kesehatan (termasuk tenaga medis) dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan diperkenankan untuk membuka atau mengungkap rahasia kedokteran pasien sebagai hak jawab.
Konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, dan pelaku usaha wajib untuk memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantiannya. Hal ini diatur di dalam Pasal 4 (8) jo Pasal 7 (f) (g) UU Perlindungan Konsumen. Pasal 19 (3) UU tersebut mempertegas pengaturan mengenai ganti rugi dengan menyatakan bahwa pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Ketentuan tersebut (mekanisme dan tenggang waktu ganti kerugian) dalam penerapannya di bidang kesehatan tentunya memerlukan penafsiran dan pemahaman tersendiri (berbeda dengan bidang lainnya) karena tiga hal sebagai berikut.
Pertama, hubungan hukum antara pemberi pelayanan kesehatan dengan penerima pelayanan kesehatan (misalnya, antara dokter dengan pasien) merupakan hubungan hukum yang bersifat inspanningsverbintennis (perikatan yang prestasinya berupa usaha maksimal), dan bukanlah hubungan hukum yang bersifat resultaatsverbintennis (perikatan yang prestasinya adalah hasil). Seorang dokter dituntut untuk berupaya semaksimal mungkin dan bekerja sesuai dengan Standar Profesi Kedokteran serta tidak dapat dituntut untuk memberikan hasil sesuai dengan keinginan pasien.
Kedua, hubungan hukum antara pemberi pelayanan kesehatan dengan penerima pelayanan kesehatan (misalnya, antara dokter dengan pasien) merupakan hubungan hukum yang berkarakter spesifik. Seorang dokter yang berhadapan dengan dua orang pasien dengan gejala yang sama yaitu demam, belum tentu akan memberikan terapi dan obat yang sama karena masing-masing individu mempunyai sifat yang spesifik. Oleh karena itu, jangka waktu ganti kerugian dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi sulit untuk diimplementasikan karena adanya kondisi spesifik yang berbeda-beda untuk setiap individu.
Ketiga, kegagalan dalam tindakan medis tidak semata-mata disebabkan karena malapraktik medis (dokter bekerja tidak sesuai atau menyimpang dari Standar Profesi Kedokteran). Namun, kegagalan tersebut dapat juga disebabkan karena berbagai faktor di antaranya adalah risiko medis (misalnya: anaphylactic shock, steven johnson syndrome), kecelakaan medis (misalnya: sarana prasarana medis tidak berfungsi dengan baik sesuai standar); atau contributory negligence dari pasien (adanya kontribusi kesalahan pasien sehingga menyebabkan kegagalan dalam tindakan medis).
Pasal 5 (a) (b) UU Perlindungan Konsumen mewajibkan kepada konsumen untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian jasa. Dalam bidang kesehatan, kelalaian terhadap hal tersebut dapat dikategorikan sebagai contributory negligencedari pasien.
Susan O’Neal di dalam tulisannya yang berjudul “Contributory Negligence in Medical Malpractice: Recent Application in The Context of The Suicidal Patient,” yang dipublikasikan oleh Mississippi Law Journal pada 1999 menjelaskan mengenai 3 (tiga) bentuk contributory negligence yang berpotensi dilakukan oleh pasien, yaitu: A patient’s refusal to follow a physician’s instructions (pasien menolak untuk mengikuti petunjuk dokter); A patient’s failure to return for follow up (pasien lalai untuk kembali melakukan pemeriksaan lanjutan yang telah dijadwalkan atau pasien lalai untuk melakukan kontrol secara rutin sesuai dengan jadwal kepada dokter); A patient’s failure to convey accurate information to the physician (pasien lalai untuk menyampaikan informasi yang akurat kepada dokter).
Analisis terhadap beberapa ketentuan yang terdapat di dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut membuktikan bahwa pasien merupakan konsumen yang unik, berbeda dengan mayoritas konsumen lainnya. Sebagai konsumen yang unik, pasien mempunyai sifat dan karakteristik tersendiri. Semoga UU Perlindungan Konsumen semakin memberikan kemanfaatan hukum bagi perlindungan pasien.
Pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan mempunyai hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas jasa pelayanan kesehatan yang telah dipergunakannya. Hal ini diatur di dalam Pasal 4 (4) UU Perlindungan Konsumen. Tentunya, penyampaian pendapat dan keluhan tersebut harus melalui mekanisme yang telah diatur di dalam peraturan (biasanya diatur di dalam peraturan internal rumah sakit). Apabila pasien atau keluarga terdekat pasien menginformasikan kondisi kesehatan pasien (termasuk pendapat dan keluhan) melalui media massa, maka akan menimbulkan 2 (dua) buah konsekuensi. Pertama, pasien dianggap telah melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum. Kedua, tenaga kesehatan (termasuk tenaga medis) dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan diperkenankan untuk membuka atau mengungkap rahasia kedokteran pasien sebagai hak jawab.
Konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, dan pelaku usaha wajib untuk memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantiannya. Hal ini diatur di dalam Pasal 4 (8) jo Pasal 7 (f) (g) UU Perlindungan Konsumen. Pasal 19 (3) UU tersebut mempertegas pengaturan mengenai ganti rugi dengan menyatakan bahwa pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Ketentuan tersebut (mekanisme dan tenggang waktu ganti kerugian) dalam penerapannya di bidang kesehatan tentunya memerlukan penafsiran dan pemahaman tersendiri (berbeda dengan bidang lainnya) karena tiga hal sebagai berikut.
Pertama, hubungan hukum antara pemberi pelayanan kesehatan dengan penerima pelayanan kesehatan (misalnya, antara dokter dengan pasien) merupakan hubungan hukum yang bersifat inspanningsverbintennis (perikatan yang prestasinya berupa usaha maksimal), dan bukanlah hubungan hukum yang bersifat resultaatsverbintennis (perikatan yang prestasinya adalah hasil). Seorang dokter dituntut untuk berupaya semaksimal mungkin dan bekerja sesuai dengan Standar Profesi Kedokteran serta tidak dapat dituntut untuk memberikan hasil sesuai dengan keinginan pasien.
Kedua, hubungan hukum antara pemberi pelayanan kesehatan dengan penerima pelayanan kesehatan (misalnya, antara dokter dengan pasien) merupakan hubungan hukum yang berkarakter spesifik. Seorang dokter yang berhadapan dengan dua orang pasien dengan gejala yang sama yaitu demam, belum tentu akan memberikan terapi dan obat yang sama karena masing-masing individu mempunyai sifat yang spesifik. Oleh karena itu, jangka waktu ganti kerugian dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi sulit untuk diimplementasikan karena adanya kondisi spesifik yang berbeda-beda untuk setiap individu.
Ketiga, kegagalan dalam tindakan medis tidak semata-mata disebabkan karena malapraktik medis (dokter bekerja tidak sesuai atau menyimpang dari Standar Profesi Kedokteran). Namun, kegagalan tersebut dapat juga disebabkan karena berbagai faktor di antaranya adalah risiko medis (misalnya: anaphylactic shock, steven johnson syndrome), kecelakaan medis (misalnya: sarana prasarana medis tidak berfungsi dengan baik sesuai standar); atau contributory negligence dari pasien (adanya kontribusi kesalahan pasien sehingga menyebabkan kegagalan dalam tindakan medis).
Pasal 5 (a) (b) UU Perlindungan Konsumen mewajibkan kepada konsumen untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian jasa. Dalam bidang kesehatan, kelalaian terhadap hal tersebut dapat dikategorikan sebagai contributory negligencedari pasien.
Susan O’Neal di dalam tulisannya yang berjudul “Contributory Negligence in Medical Malpractice: Recent Application in The Context of The Suicidal Patient,” yang dipublikasikan oleh Mississippi Law Journal pada 1999 menjelaskan mengenai 3 (tiga) bentuk contributory negligence yang berpotensi dilakukan oleh pasien, yaitu: A patient’s refusal to follow a physician’s instructions (pasien menolak untuk mengikuti petunjuk dokter); A patient’s failure to return for follow up (pasien lalai untuk kembali melakukan pemeriksaan lanjutan yang telah dijadwalkan atau pasien lalai untuk melakukan kontrol secara rutin sesuai dengan jadwal kepada dokter); A patient’s failure to convey accurate information to the physician (pasien lalai untuk menyampaikan informasi yang akurat kepada dokter).
Analisis terhadap beberapa ketentuan yang terdapat di dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut membuktikan bahwa pasien merupakan konsumen yang unik, berbeda dengan mayoritas konsumen lainnya. Sebagai konsumen yang unik, pasien mempunyai sifat dan karakteristik tersendiri. Semoga UU Perlindungan Konsumen semakin memberikan kemanfaatan hukum bagi perlindungan pasien.
(bmm)
tulis komentar anda