Zakat dan 'Economical Justice'
Kamis, 22 April 2021 - 05:06 WIB
Uraian di atas kiranya cukup memberikan ilustrasi bahwa zakat begitu lekat dengan aspek economical justice (keadilan ekonomi), di samping ajaran lain seperti larangan riba, pembagian waris, dan infak. Semua ajaran itu bukan saja berorientasi demi kesejahteraan bersama, tetapi juga dimaksudkan agar kekayaan di muka bumi ini tidak dimonopoli dan beredar pada segelintir orang atau kalangan tertentu (QS 59:7).
Landasan teologis di atas memberikan kekuatan sosiologis dari makna zakat bahwa setiap muslim yang kaya (the haves) harus menyadari adanya hak bagi orang lain di dalam harta miliknya. Dengan demikian si fakir dan si miskin tidak perlu lagi menengadahkan tangannya pada si kaya.
Namun perlu kiranya dipikirkan secara kualitatif agar zakat yang dikeluarkan tidak sekadar untuk memenuhi kebutuhan sesaat (konsumtif), tetapi diupayakan agar memiliki nilai investasi bagi kemandirian penerima zakat (produktif). Itulah kandungan terdalam dari platform Allah yang artinya: “Mengapakah kamu tidak mau berjuang di jalan Allah untuk membebaskan orang-orang yang lemah, sedangkan mereka harus berdoa, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri yang aniaya penduduknya dan adakanlah untuk kami seorang penolong dari sisi-Mu” (QS 4:75).
Kita semua memang menyadari ada perbedaan di antara manusia, baik dari aspek fisik maupun psikis. Tapi adanya kemiskinan di masyarakat sesungguhnya mengindikasikan masih adanya kezaliman pada diri kita. Karena itu fungsi dari tugas kekhalifahan manusia di antaranya adalah mengarahkan sunnatullah itu bagi kesejahteraan manusia beserta makhluk lainnya. Dalam komunitas masyarakat yang adil, kekayaan dan kemiskinan akan mewujud dalam kualitas dan proporsi yang wajar dan rasional. Kalaupun di dalamnya masih mungkin terdapat si kaya dan si miskin, perbedaan itu hanya boleh terjadi dalam batas-batas kewajaran dan kemanusiaan.
Keadilan yang berkemakmuran dan kemakmuran yang berkeadilan menghapuskan sama sekali free fight liberalism. Ini bukan berarti Islam mengharamkan private ownership, tetapi private ownership dalam Islam tidak boleh melebihi kebutuhan rata-rata masyarakat. Sebab, menurut Mahmud Syaltout, kekayaan yang berlebihan akan selalu menjadi provokasi terhadap kepentingan berbagai golongan yang bersifat destruktif. Sebaliknya penggunaan yang kurang dari rata-rata kebutuhan masyarakat akan merusak masyarakat itu sendiri.
Untuk mewujudkan keadilan dibutuhkan sekelompok orang yang karena kapasitas dan kemampuannya dipercaya menjadi pemimpin masyarakat. Karena itulah, dalam konteks zakat, Khalifah Abu Bakar pernah memerangi sekelompok orang yang membangkang atau enggan membayar zakat. Tindakan tersebut dimaksudkan agar seluruh warga negara terlindungi dari kemungkinan pengebirian terhadap kemerdekaan dan harga dirinya sebagai manusia.
Benang Kusut Zakat
Di Indonesia, sekalipun masalah zakat sudah diatur melalui Undang-Undang (UU) Pengelolaan Zakat Nomor 23 Tahun 2011, bahkan sudah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14/2014 dan Inpres Nomor 3/2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat, ternyata persoalan zakat tetap bagai benang kusut yang tak terurai. Mulai dari penentuan siapa yang termasuk wajib zakat, barang-barang yang dizakati, ukuran nisab, dan bahkan sampai batasan haul, tetap menjadi khilafiah di kalangan umat. Tak berlebihan bila zakat belum mampu memberikan output yang signifikan bagi perbaikan ekonomi bangsa.
Mengapa demikian? Ini, antara lain, disebabkan secara yuridis-formal UU ini tak memiliki kekuatan memaksa bagi muzakki untuk membayarkan zakat. UU ini hanya sebatas mengatur pengelolaan zakat semata. Supremasi pemerintah selaku penguasa dan penyelenggara negara yang memiliki daya paksa tak terlihat dalam UU tersebut. Dengan kata lain UU Zakat yang ada sekarang tak memiliki kekuatan memaksa untuk mengambil zakat dari muzakki.
Kelemahan ini tentu saja menciptakan peluang bagi kelompok tertentu yang berkantong tebal dan belum memiliki komitmen moral yang tinggi untuk tidak berzakat. Berbagai persoalan khilafiah yang ada dalam perkembangan terakhir juga tak bisa terselesaikan. Sebutlah persoalan zakat profesi (pengacara, dokter, konsultan, dan semacamnya) yang dulunya belum disentuh nash. Ketika sekarang timbul ijtihad yang menyebutkan profesi juga wajib dizakati, ijtihad lain mengatakan itu tak termasuk wajib zakat. Padahal penghasilan dari profesi itu jauh lebih besar daripada pendapatan petani yang telah lebih dulu diwajibkan berzakat.
Landasan teologis di atas memberikan kekuatan sosiologis dari makna zakat bahwa setiap muslim yang kaya (the haves) harus menyadari adanya hak bagi orang lain di dalam harta miliknya. Dengan demikian si fakir dan si miskin tidak perlu lagi menengadahkan tangannya pada si kaya.
Namun perlu kiranya dipikirkan secara kualitatif agar zakat yang dikeluarkan tidak sekadar untuk memenuhi kebutuhan sesaat (konsumtif), tetapi diupayakan agar memiliki nilai investasi bagi kemandirian penerima zakat (produktif). Itulah kandungan terdalam dari platform Allah yang artinya: “Mengapakah kamu tidak mau berjuang di jalan Allah untuk membebaskan orang-orang yang lemah, sedangkan mereka harus berdoa, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri yang aniaya penduduknya dan adakanlah untuk kami seorang penolong dari sisi-Mu” (QS 4:75).
Kita semua memang menyadari ada perbedaan di antara manusia, baik dari aspek fisik maupun psikis. Tapi adanya kemiskinan di masyarakat sesungguhnya mengindikasikan masih adanya kezaliman pada diri kita. Karena itu fungsi dari tugas kekhalifahan manusia di antaranya adalah mengarahkan sunnatullah itu bagi kesejahteraan manusia beserta makhluk lainnya. Dalam komunitas masyarakat yang adil, kekayaan dan kemiskinan akan mewujud dalam kualitas dan proporsi yang wajar dan rasional. Kalaupun di dalamnya masih mungkin terdapat si kaya dan si miskin, perbedaan itu hanya boleh terjadi dalam batas-batas kewajaran dan kemanusiaan.
Keadilan yang berkemakmuran dan kemakmuran yang berkeadilan menghapuskan sama sekali free fight liberalism. Ini bukan berarti Islam mengharamkan private ownership, tetapi private ownership dalam Islam tidak boleh melebihi kebutuhan rata-rata masyarakat. Sebab, menurut Mahmud Syaltout, kekayaan yang berlebihan akan selalu menjadi provokasi terhadap kepentingan berbagai golongan yang bersifat destruktif. Sebaliknya penggunaan yang kurang dari rata-rata kebutuhan masyarakat akan merusak masyarakat itu sendiri.
Untuk mewujudkan keadilan dibutuhkan sekelompok orang yang karena kapasitas dan kemampuannya dipercaya menjadi pemimpin masyarakat. Karena itulah, dalam konteks zakat, Khalifah Abu Bakar pernah memerangi sekelompok orang yang membangkang atau enggan membayar zakat. Tindakan tersebut dimaksudkan agar seluruh warga negara terlindungi dari kemungkinan pengebirian terhadap kemerdekaan dan harga dirinya sebagai manusia.
Benang Kusut Zakat
Di Indonesia, sekalipun masalah zakat sudah diatur melalui Undang-Undang (UU) Pengelolaan Zakat Nomor 23 Tahun 2011, bahkan sudah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14/2014 dan Inpres Nomor 3/2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat, ternyata persoalan zakat tetap bagai benang kusut yang tak terurai. Mulai dari penentuan siapa yang termasuk wajib zakat, barang-barang yang dizakati, ukuran nisab, dan bahkan sampai batasan haul, tetap menjadi khilafiah di kalangan umat. Tak berlebihan bila zakat belum mampu memberikan output yang signifikan bagi perbaikan ekonomi bangsa.
Mengapa demikian? Ini, antara lain, disebabkan secara yuridis-formal UU ini tak memiliki kekuatan memaksa bagi muzakki untuk membayarkan zakat. UU ini hanya sebatas mengatur pengelolaan zakat semata. Supremasi pemerintah selaku penguasa dan penyelenggara negara yang memiliki daya paksa tak terlihat dalam UU tersebut. Dengan kata lain UU Zakat yang ada sekarang tak memiliki kekuatan memaksa untuk mengambil zakat dari muzakki.
Kelemahan ini tentu saja menciptakan peluang bagi kelompok tertentu yang berkantong tebal dan belum memiliki komitmen moral yang tinggi untuk tidak berzakat. Berbagai persoalan khilafiah yang ada dalam perkembangan terakhir juga tak bisa terselesaikan. Sebutlah persoalan zakat profesi (pengacara, dokter, konsultan, dan semacamnya) yang dulunya belum disentuh nash. Ketika sekarang timbul ijtihad yang menyebutkan profesi juga wajib dizakati, ijtihad lain mengatakan itu tak termasuk wajib zakat. Padahal penghasilan dari profesi itu jauh lebih besar daripada pendapatan petani yang telah lebih dulu diwajibkan berzakat.
tulis komentar anda