Zakat dan 'Economical Justice'
Kamis, 22 April 2021 - 05:06 WIB
Maksun
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang
DI TENGAH meningkatnya religiositas umat pada setiap bulan Ramadan, kita masih dihadapkan pada persoalan kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat yang kian menganga, ketimpangan antara pusat dan daerah yang tetap mencolok, dan angka kemiskinan pun kian meningkat sebagai dampak pandemi korona (Covid-19).
Maka sangatlah tepat jika dalam upaya untuk membantu saudara kita yang mengalami kesulitan akibat pandemi, menangani kemiskinan, menangani musibah dan bencana, Presiden Jokowi beberapa waktu meluncurkan Gerakan Cinta Zakat. Ajakan Presiden untuk cinta zakat sangatlah wajar dan harus didukung mengingat potensi zakat tergolong sangat besar sekitar Rp300 triliun (KORAN SINDO, 19/04/2021).
Dalam konteks ini, melakukan refleksi ulang terhadap makna dan nilai zakat cukup signifikan untuk dikedepankan. Sebab zakat merupakan salah satu rukun Islam yang tidak saja mengandung muatan teologis, tetapi juga memiliki dimensi ekonomis-sosiologis yang menjadi pilar perubahan sosial. Dimensi itu sebenarnya merupakan nilai potensial bagi bangsa Indonesia yang kini tengah bertekad bangkit dari keterpurukan akibat pandemi, membangun kemandirian, mewujudkan keadilan yang berkemakmuran dan kemakmuran yang berkeadilan.
“Economical Justice”
Secara etimologis, zakat berarti kesucian atau kebersihan. Zakat berarti membersihkan atau menyucikan harta dan jiwa dengan kekayaan yang kita miliki. Dalam kitab Aqidah wa Syari'ah, Mahmud Syaltout menjelaskan bahwa zakat adalah bagian harta yang dikeluarkan orang kaya (muzakki) untuk saudaranya yang fakir dan miskin (mustahiq) dalam rangka menegakkan kemaslahatan umat.
Dalam perspektif teologis, zakat bertumpu pada dua alasan fundamental. Pertama, segala kekayaan alam di langit dan di bumi adalah milik Tuhan (QS 3:180). Doktrin itu mengandung nilai instrumental bahwa hak pemilikan kekayaan alam pada manusia bukanlah sesuatu yang absolut, tetapi sekadar amanah dari Tuhan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemanusiaan.
Kedua, manusia pada hakikatnya berasal dari umat yang satu dan hendak kembali kepada Tuhan Yang Tunggal. Ini berarti manusia merupakan persaudaraan keluarga yang tiap anggotanya sama-sama memiliki hak hidup sesuai dengan hakikat kemanusiaannya.
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang
DI TENGAH meningkatnya religiositas umat pada setiap bulan Ramadan, kita masih dihadapkan pada persoalan kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat yang kian menganga, ketimpangan antara pusat dan daerah yang tetap mencolok, dan angka kemiskinan pun kian meningkat sebagai dampak pandemi korona (Covid-19).
Maka sangatlah tepat jika dalam upaya untuk membantu saudara kita yang mengalami kesulitan akibat pandemi, menangani kemiskinan, menangani musibah dan bencana, Presiden Jokowi beberapa waktu meluncurkan Gerakan Cinta Zakat. Ajakan Presiden untuk cinta zakat sangatlah wajar dan harus didukung mengingat potensi zakat tergolong sangat besar sekitar Rp300 triliun (KORAN SINDO, 19/04/2021).
Dalam konteks ini, melakukan refleksi ulang terhadap makna dan nilai zakat cukup signifikan untuk dikedepankan. Sebab zakat merupakan salah satu rukun Islam yang tidak saja mengandung muatan teologis, tetapi juga memiliki dimensi ekonomis-sosiologis yang menjadi pilar perubahan sosial. Dimensi itu sebenarnya merupakan nilai potensial bagi bangsa Indonesia yang kini tengah bertekad bangkit dari keterpurukan akibat pandemi, membangun kemandirian, mewujudkan keadilan yang berkemakmuran dan kemakmuran yang berkeadilan.
“Economical Justice”
Secara etimologis, zakat berarti kesucian atau kebersihan. Zakat berarti membersihkan atau menyucikan harta dan jiwa dengan kekayaan yang kita miliki. Dalam kitab Aqidah wa Syari'ah, Mahmud Syaltout menjelaskan bahwa zakat adalah bagian harta yang dikeluarkan orang kaya (muzakki) untuk saudaranya yang fakir dan miskin (mustahiq) dalam rangka menegakkan kemaslahatan umat.
Dalam perspektif teologis, zakat bertumpu pada dua alasan fundamental. Pertama, segala kekayaan alam di langit dan di bumi adalah milik Tuhan (QS 3:180). Doktrin itu mengandung nilai instrumental bahwa hak pemilikan kekayaan alam pada manusia bukanlah sesuatu yang absolut, tetapi sekadar amanah dari Tuhan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemanusiaan.
Kedua, manusia pada hakikatnya berasal dari umat yang satu dan hendak kembali kepada Tuhan Yang Tunggal. Ini berarti manusia merupakan persaudaraan keluarga yang tiap anggotanya sama-sama memiliki hak hidup sesuai dengan hakikat kemanusiaannya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda