Filantropi di Saat Pandemi
Senin, 19 April 2021 - 05:45 WIB
Dalam beberapa tahun terakhir aksi filantropi terus mengalami perkembangan. Semakin banyak perusahaan maupun individu yang belakangan ini aktif berkegiatan filantropi. Aksi beramal membantu orang-orang yang membutuhkan ini memang sungguh terpuji. Berkat kelapangan hati kaum filantropis yang menggelontorkan sebagian rezekinya, tidak sedikit masyarakat yang kurang beruntung menjadi terbantu. Terlebih di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang, di mana dampaknya terasa di hampir semua lapisan masyarakat. Membantu sesama menjadi kunci bangkitnya kembali solidaritas masyarakat yang ujungnya bisa menumbuhkan kembali aktivitas ekonomi secara lebih luas lagi.
Filantropi, apabila dilihat secara harfiah, berasal dari dua kata Yunani yakni philos berarti cinta dan anthropos maknanya manusia. Dengan kata lain, filantropi mengandung arti cinta terhadap sesama manusia. Cinta di sini maknanya sangat luas, bukan hanya hubungan kasih sayang antardua manusia, tetapi bisa berarti peduli pada kondisi manusia lainnya. Ihwal aktivitas filantropi, masyarakat Indonesia sebenarnya sudah mengenal kegiatan beramal ini jauh sebelum ramai-ramai para tokoh dunia melakukannya dan disiarkan melalui media. Sifat gotong-royong dan saling membantu yang sudah mendarah daging di masyarakat menjadi penopang utama aksi filantropi di Tanah Air tak lekang dimakan zaman. Tak mengherankan jika Charities Aid Foundation (CAF) menempatkan Indonesia masuk urutan ke-10 negara yang penduduknya paling dermawan. Pada survei World Giving Index 2019 negara yang berada di urutan teratas dalam hal kedermawanan adalah Amerika Serikat, Myanmar, Selandia Baru, Australia, Irlandia, Kanada, Inggris, Belanda, dan Sri Lanka.
Kini, dengan kemajuan teknologi dan dukungan infrastruktur yang semakin maju, aksi filantropi pun semakin mudah dilakukan. Hanya dengan melalui perangkat telepon pintar, siapa pun yang berniat beramal dan membantu sesama sudah bisa dilakukan hanya dengan hitungan detik. Lembaga untuk menyalurkan filantropi pun kini kian banyak. Dari yang dikelola pemerintah, perusahaan badan usaha milik negara (BUMN), perusahaan swasta, bahkan atas nama pribadi. Tak hanya itu, sejumlah aplikasi di ponsel pintar pun kini mudah ditemukan apabila ingin melakukan filantropi secara praktis.
Kebiasaan berbagi yang sudah mendarah daging ini sesungguhnya merupakan kekuatan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk sama-sama menjadikan masyarakat kita lebih berdaya. Apalagi umat Islam meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan dalam hadisnya bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Bagi kaum muslim, filantropi bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk. Ada zakat, infak, sedekah, hingga wakaf. Jika dikumpulkan, potensi ini pun bisa luar biasa nilainya. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) bahkan memperkirakan potensi zakat di Indonesia mencapai Rp233,8 triliun. Dari jumlah tersebut, realisasi penghimpunan zakat infak dan sedekah sepanjang 2019 melalui organisasi pengelola zakat (OPZ) resmi mencapai Rp10 triliun.
Di bagian lain, berdasarkan kajian yang dilakukan Baznas bersama Institut Pertanian Bogor (IPB), Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), dan Bank Indonesia (BI) pembayaran zakat, infak dan sedekah (ZIS) oleh masyarakat yang tidak dilakukan melalui OPZ resmi pada 2020 mencapai Rp61,25 triliun. Fakta ini menunjukkan masih banyak dana ZIS yang tidak tercatat pada Laporan Zakat Nasional (LZN). Padahal, menurut Baznas, laporan tersebut bisa menjadi acuan untuk pengambilan kebijakan strategis dalam upaya meningkatkan kesejahteraan para mustahiq atau penerima manfaat zakat. Mengingat besarnya potensi zakat secara nasional, maka akan lebih baik apabila dalam pengelolaannya dilakukan lebih terarah dan terukur melalui lembaga resmi agar dalam manfaatnya bisa terasa hingga jangka panjang.
Filantropi, apabila dilihat secara harfiah, berasal dari dua kata Yunani yakni philos berarti cinta dan anthropos maknanya manusia. Dengan kata lain, filantropi mengandung arti cinta terhadap sesama manusia. Cinta di sini maknanya sangat luas, bukan hanya hubungan kasih sayang antardua manusia, tetapi bisa berarti peduli pada kondisi manusia lainnya. Ihwal aktivitas filantropi, masyarakat Indonesia sebenarnya sudah mengenal kegiatan beramal ini jauh sebelum ramai-ramai para tokoh dunia melakukannya dan disiarkan melalui media. Sifat gotong-royong dan saling membantu yang sudah mendarah daging di masyarakat menjadi penopang utama aksi filantropi di Tanah Air tak lekang dimakan zaman. Tak mengherankan jika Charities Aid Foundation (CAF) menempatkan Indonesia masuk urutan ke-10 negara yang penduduknya paling dermawan. Pada survei World Giving Index 2019 negara yang berada di urutan teratas dalam hal kedermawanan adalah Amerika Serikat, Myanmar, Selandia Baru, Australia, Irlandia, Kanada, Inggris, Belanda, dan Sri Lanka.
Kini, dengan kemajuan teknologi dan dukungan infrastruktur yang semakin maju, aksi filantropi pun semakin mudah dilakukan. Hanya dengan melalui perangkat telepon pintar, siapa pun yang berniat beramal dan membantu sesama sudah bisa dilakukan hanya dengan hitungan detik. Lembaga untuk menyalurkan filantropi pun kini kian banyak. Dari yang dikelola pemerintah, perusahaan badan usaha milik negara (BUMN), perusahaan swasta, bahkan atas nama pribadi. Tak hanya itu, sejumlah aplikasi di ponsel pintar pun kini mudah ditemukan apabila ingin melakukan filantropi secara praktis.
Kebiasaan berbagi yang sudah mendarah daging ini sesungguhnya merupakan kekuatan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk sama-sama menjadikan masyarakat kita lebih berdaya. Apalagi umat Islam meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan dalam hadisnya bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Bagi kaum muslim, filantropi bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk. Ada zakat, infak, sedekah, hingga wakaf. Jika dikumpulkan, potensi ini pun bisa luar biasa nilainya. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) bahkan memperkirakan potensi zakat di Indonesia mencapai Rp233,8 triliun. Dari jumlah tersebut, realisasi penghimpunan zakat infak dan sedekah sepanjang 2019 melalui organisasi pengelola zakat (OPZ) resmi mencapai Rp10 triliun.
Di bagian lain, berdasarkan kajian yang dilakukan Baznas bersama Institut Pertanian Bogor (IPB), Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), dan Bank Indonesia (BI) pembayaran zakat, infak dan sedekah (ZIS) oleh masyarakat yang tidak dilakukan melalui OPZ resmi pada 2020 mencapai Rp61,25 triliun. Fakta ini menunjukkan masih banyak dana ZIS yang tidak tercatat pada Laporan Zakat Nasional (LZN). Padahal, menurut Baznas, laporan tersebut bisa menjadi acuan untuk pengambilan kebijakan strategis dalam upaya meningkatkan kesejahteraan para mustahiq atau penerima manfaat zakat. Mengingat besarnya potensi zakat secara nasional, maka akan lebih baik apabila dalam pengelolaannya dilakukan lebih terarah dan terukur melalui lembaga resmi agar dalam manfaatnya bisa terasa hingga jangka panjang.
(war)
tulis komentar anda