Mempertegas Ke-Indonesiaan 61 Tahun Lahirnya PMII

Sabtu, 17 April 2021 - 07:28 WIB
Setidaknya ada tiga masalah bangsa Indonesia yang mendasar, jika kita mengutip Yaqut Cholil Qaumas, Pertama, munculnya kelompok yang mempertanyakan konsensus nasional. Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD,45 dipertanyakan atau digugat oleh kelompok yang ingin mengganti dasar dan bentuk negara menjadi paham lain. Ada yang mengsung paham komunis ada juga dengan jargon khilafah Islamiyah.

Kedua, munculnya kelompok yang kerap melakukan klaim kebenaran keagamaan (truth claim). Menganggap diri dan kelompoknya yang paling benar, paling beriman, paling muslim dan menyalahkan pihak lain, bahkan sampai mengkafirkan saudaranya yang muslim. Kelompok ini biasa juga di sebut sebagai kelompok takfiri.

Sementara problem ketiga, adalah kelompok silent majority. Kelompok mayoritas diam terhadap problem-problem kebangsaan yang dihadapi. Terhadap hal ini wajar jika kelomok intoleran dan radikal sebagai gambaran dari kelompok pertama dan kedua makin merajalela. Wacana-wana keagamaan didominasi oleh kelompok ini, sementara warga bangsa yang moderat sering abai, diam menghadapi gempuran yang merontokan sendi-sendi kebangsaan ini.

PMII sebagai organisasi mahasiswa yang sejak kelahirannya mengusung dua komtmen sekaligus, antara komitmen kebangsaan dan keagamaan, ke-Indonesiaan dan ke-Islaman, saat ini menghadapi tantangan yang serius, di tengah kompleksitas persoalan bangsa. Saya yakin dan percaya, doktrin kecintaan PMII terhadap negeri ini takkan pernah goyah, tetapi gempuran dari kelompok intoeran dan radikal menjadi musuh bersama yang harus dihadapi PMII.

Masalah lain yang tak kalah penting adalah bagaimana PMII mendesiminasikan gagasan keagamaan Islam yang moderat (wasathiyah) di kalangan masyarakat. BNPT dalam risetnya tahun 2017, menyebut ada 39% mahasiswa Indonesia yang terpapar intoleran dan radikal. Sementara Alvara Riset menyebut, 23% mahasiswa setuju penegakan khilafah islamiyah dan solidaritas agama dengan cara-cara kekerasan.

Angka-angka hasil riset pandangan keagamaan di kalangan pemuda dan mahasiswa cukup mengkhawatirkan. Di tambah 4% dari jumlah penduduk Indonesia atau setara dengan 10 juta menjadi simpatisan ISIS. Tentu ini tidak hanya menjadi tanggungjawab PMII, tetapi fakta-fakta demikian menambah daftar panjang tantangan yang dihadapi mahasiswa PMII yang notabene berasal dari pondok pesantren dan madrasah.

Secara internal PMII juga menghadapi masalah yang tak kalah penting. Pemahaman keagamaan juga tetap harus dikuatkan, agar modal filosofis dan historis yang selama ini dipunyai PMII, sebagai organisasi keagamaan dengan segudang kader dan anggota berpengetahuan agama memadahi dapat terpelihara.

Perkembangan keanggotaan PMII di kampus umum yang pesat satu sisi menggembirakan, namun harus diimbangi dengan penguatan keagamaan (tafaqquh fiddin)-nya. Walau di kampus umum, juga sudah mulai terjadi pergeseran input, dengan mulai banyaknya alumni madrasah dan pesantren yang mengambil studi pada PTU terbaik, yang kemudian bergabung dalam wadah pergerakan.

Tambahan Refleksi

Jutaan kader dan anggota PMII yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, tentu tengah melakukan refleksi mendalam atas eksistensi, peran dan tantangan yang kini dihadapi. Memasuki era industri 4.0 yang dicirikan dengan big data dan kehidupan yang serba digital, PMII juga dituntut membenahi diri untuk melek teknologi, tak kalah pentingnya diimbangi dengan perubahan paradigma berfikir tentang pemberdayaan kader.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More