Papua: Integrasi, Otonomi Khusus, dan Pembangunan
Kamis, 15 April 2021 - 05:05 WIB
Sistem pengawasan dan pembinaannya pun harus diperkuat agar pelaksanaan otsus tersebut dapat benar-benar menyentuh tujuannya, yaitu memberikan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi masyarakat Papua.
Lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Papua ini ternyata juga diikuti dengan sengkarut masalah tumpang tindih kewenangan dan tanggung jawab antara Pemprov, MRP, dan DPRP sebagai pelaksana otsus. Kondisi ini semakin menyebabkan pelaksanaan otsus berjalan tidak efektif dan optimal.
Subjek Pembangunan
Dalam mengejar ketertinggalan di Papua, sektor pembangunan menjadi fokus utama. Akan tetapi, pembangunan tersebut justru dianggap sebagai pembuka jalan untuk melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam Papua secara lebih luas.
Pendapat tersebut juga tidak mutlak salah. Sebab banyaknya izin tambang dan sawit yang diberikan kepada perusahaan asing dan swasta bisa menjadi referensi atas argumentasi tersebut. Dan, ini tentu saja menjadi kritik yang substansial.
Di sisi lain, pembangunan tersebut nyatanya juga tidak berkorelasi signifikan terhadap perbaikan dan kesejahteraan masyarakat Papua. Ketertinggalan dan kesenjangan yang terjadi di Papua ini pada akhirnya berimplikasi pada lahirnya gerakan protes hingga meminta diadakannya referendum ulang.
Kalau melihat fakta-fakta kesenjangan yang ada di Papua, protes tersebut bisa dipahami sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Papua. Tetapi, yang kemudian menjadi tolok ukur ialah bagaimana respons pemerintah terhadap hal tersebut.
Tentu saja, mekanisme dan pendekatan persuasif yang mengedepankan dialog harus selalu menjadi pilihan pendekatan utama. Jangan sampai, pendekatan yang digunakan justru mencederai nilai dan prinsip hukum, hak asasi manusia (HAM) dan keadilan yang kemudian menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM berat.
Seperti yang disinggung di awal bahwa integrasi Papua melalui external self-determination tidaklah bersifat finalatau permanen. Dalam hukum internasional, hak untuk memisahkan diri masih mungkin dilakukan ketika hak menentukan nasib sendiri secara internal (internal self-determinantion) tidak terpenuhi. Dan, Bangladesh bisa dijadikan contoh empiris.
Lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Papua ini ternyata juga diikuti dengan sengkarut masalah tumpang tindih kewenangan dan tanggung jawab antara Pemprov, MRP, dan DPRP sebagai pelaksana otsus. Kondisi ini semakin menyebabkan pelaksanaan otsus berjalan tidak efektif dan optimal.
Subjek Pembangunan
Dalam mengejar ketertinggalan di Papua, sektor pembangunan menjadi fokus utama. Akan tetapi, pembangunan tersebut justru dianggap sebagai pembuka jalan untuk melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam Papua secara lebih luas.
Pendapat tersebut juga tidak mutlak salah. Sebab banyaknya izin tambang dan sawit yang diberikan kepada perusahaan asing dan swasta bisa menjadi referensi atas argumentasi tersebut. Dan, ini tentu saja menjadi kritik yang substansial.
Di sisi lain, pembangunan tersebut nyatanya juga tidak berkorelasi signifikan terhadap perbaikan dan kesejahteraan masyarakat Papua. Ketertinggalan dan kesenjangan yang terjadi di Papua ini pada akhirnya berimplikasi pada lahirnya gerakan protes hingga meminta diadakannya referendum ulang.
Kalau melihat fakta-fakta kesenjangan yang ada di Papua, protes tersebut bisa dipahami sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Papua. Tetapi, yang kemudian menjadi tolok ukur ialah bagaimana respons pemerintah terhadap hal tersebut.
Tentu saja, mekanisme dan pendekatan persuasif yang mengedepankan dialog harus selalu menjadi pilihan pendekatan utama. Jangan sampai, pendekatan yang digunakan justru mencederai nilai dan prinsip hukum, hak asasi manusia (HAM) dan keadilan yang kemudian menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM berat.
Seperti yang disinggung di awal bahwa integrasi Papua melalui external self-determination tidaklah bersifat finalatau permanen. Dalam hukum internasional, hak untuk memisahkan diri masih mungkin dilakukan ketika hak menentukan nasib sendiri secara internal (internal self-determinantion) tidak terpenuhi. Dan, Bangladesh bisa dijadikan contoh empiris.
Lihat Juga :
tulis komentar anda