Papua: Integrasi, Otonomi Khusus, dan Pembangunan

Kamis, 15 April 2021 - 05:05 WIB
loading...
Papua: Integrasi, Otonomi...
Ogiandhafiz Juanda (Foto: Istimewa)
A A A
Ogiandhafiz Juanda
Advokat, Dosen dan Pengamat Hukum Internasional Universitas Nasional (Unas), Direktur Treas Constituendum Institute

LEGALITAS atau keabsahan integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia belum sepenuhnya diterima semua pihak. Salah satu alasannya integrasi tidak dilakukan melalui proses politik yang demokratis. Hal tersebut juga dianggap sebagai akar yang menyebabkan terjadinya krisis sosial dan politik di Papua.

Sebagai jalan keluar, negara telah memberikan otonomi khusus (Otsus) kepada Papua. Akan tetapi, otsus tersebut juga tampaknya tidak mampu berbicara banyak dalam menyelesaikan permasalahan domestik di wilayah paling timur Indonesia tersebut.

Sama halnya dengan upaya pemerintah dalam membangun infrastruktur, itu sering dianggap mata hanya menguntungkan segelintir elite, dan pada kenyataannya tidak membawa dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Papua.

Serangkaian permasalahan di atas ialah gambaran bagaimana kompleksnya masalah yang terjadi di Papua sejak dulu hingga hari ini. Tulisan ini bermaksud untuk mengurainya dari awal.

Integrasi Tidak Final
Dalam literatur hukum internasional, integrasi Papua ke Indonesia yang dilakukan melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 merupakan bentuk pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri secara eksternal (external self-determination).

Pepera tersebut dilaksanakan berdasarkan perjanjian New York 1962 yang dilakukan oleh Indonesia dan Belanda. Tidak banyak fakta yang bisa menegaskan apakah perjanjian tersebut ikut melibatkan orang asli Papua atau tidak. Akan tetapi, perjanjian tersebut memberikan kewajiban kepada Indonesia untuk melaksanakan Pepera dengan melibatkan semua masyarakat Papua tanpa terkecuali.

Menariknya, pelaksanaan Pepera ternyata hanya dilakukan terhadap 1.025 orang yang merupakan perwakilan dari setiap wilayah politik dan budaya di Papua. Itu dilakukan karena mempertimbangkan kondisi geografis dan sebaran masyarakat Papua pada waktu itu.

Meskipun demikian, pelaksanaan Pepera dengan mekanisme yang dikenal dengan istilah noken atau pemberian suara melalui perwakilan kepala suku hasil kesepakatan dari masyarakat tidak kemudian menjadi sebuah kesalahan mutlak. Karena mekanisme politik tersebut pada kenyataannya sampai hari ini masih dipraktikkan di Papua sebagai satu aturan/kebiasaan adat di sana. Sehingga, bisa dikatakan bahwa Pepera tersebut telah dilaksanakan dengan mekanisme yang layak dan tepat pada waktu itu.

Dengan demikian, perdebatan mengenai status integrasi Papua seharusnya juga sudah tuntas meskipun sifatnya tidak final.

Buruknya Pengelolaan
Pasca-pelaksanaan Pepera 1969, secara formal Papua menjadi bagian dari Indonesia. Akan tetapi, pada kenyataannya Indonesia sering dianggap tidak mampu melaksanakan tanggung jawab moral terhadap masyarakat setempat. Hal ini dibuktikan dengan adanya kesenjangan yang dialami masyarakat Papua di semua sektor, mulai dari infrastruktur, ekonomi, kesehatan, hingga pendidikan. Intinya ialah persoalan kesejahteraan.

Respons pemerintah terhadap persoalan Papua baru muncul bersamaan dengan momentum reformasi di Indonesia, yakni dengan secara resmi memberikan status otsus kepada Papua (dulu Irian Jaya) melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.

Otsus dengan konsep desentralisasi asimetris ini memberikan kewenangan dan keleluasaan yang lebih luas kepada pemerintah daerah dalam mengatur dan menyelenggarakan pemerintahannya, termasuk juga dalam hal pengelolaan sumber daya alamnya (Kausar, 2006). Muara otsus ialah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.

Secara teoritis, otsus seharusnya bisa menjadi jalan tengah untuk menyelesaikan persoalan kesejahteraan tersebut. Akan tetapi, ambiguitas pelaksanaannya membuat otsus tidak mampu merespons permasalahan yang ada. Belum lagi, masih banyak peraturan daerah khusus (Perdasus) dan peraturan daerah provinsi (Perdasi) yang diamanatkan dalam UU Otsus yang belum juga dibentuk. Padahal, peraturan tersebut sangat strategis untuk mendukung pelaksanaan otsus.

Selanjutnya, sejak awal ditetapkannya otsus hingga 2021 ini, pemerintah pusat telah menyalurkan dana otsus dan dana tambahan infrastruktur (DTI) yang totalnya mencapai Rp138,65 triliun. Alokasi dana yang jumlahnya triliunan tersebut seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua (Papua dan Papua Barat). Akan tetapi, fakta yang ada seperti “masih jauh panggang dari api”. Besarnya dana otsus tersebut tidak diikuti dengan dampak yang signifikan dan menyebabkan warga di sana masih berkubang dalam kemiskinan dan ketertinggalan.

Buruknya pola pengelolaan dana otsus ini juga memunculkan opini tentang adanya dugaan penyelewengan dana (berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan). Alokasi dana yang begitu besar tersebut seharusnya diimbangi dengan adanya regulasi yang komprehensif, yang mengatur persoalan teknis dan mekanisme pengelolaan hingga prosedur pelaporan dan pertangungjawaban yang sifatnya transparan dan akuntabel.

Sistem pengawasan dan pembinaannya pun harus diperkuat agar pelaksanaan otsus tersebut dapat benar-benar menyentuh tujuannya, yaitu memberikan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi masyarakat Papua.

Lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Papua ini ternyata juga diikuti dengan sengkarut masalah tumpang tindih kewenangan dan tanggung jawab antara Pemprov, MRP, dan DPRP sebagai pelaksana otsus. Kondisi ini semakin menyebabkan pelaksanaan otsus berjalan tidak efektif dan optimal.

Subjek Pembangunan

Dalam mengejar ketertinggalan di Papua, sektor pembangunan menjadi fokus utama. Akan tetapi, pembangunan tersebut justru dianggap sebagai pembuka jalan untuk melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam Papua secara lebih luas.

Pendapat tersebut juga tidak mutlak salah. Sebab banyaknya izin tambang dan sawit yang diberikan kepada perusahaan asing dan swasta bisa menjadi referensi atas argumentasi tersebut. Dan, ini tentu saja menjadi kritik yang substansial.

Di sisi lain, pembangunan tersebut nyatanya juga tidak berkorelasi signifikan terhadap perbaikan dan kesejahteraan masyarakat Papua. Ketertinggalan dan kesenjangan yang terjadi di Papua ini pada akhirnya berimplikasi pada lahirnya gerakan protes hingga meminta diadakannya referendum ulang.

Kalau melihat fakta-fakta kesenjangan yang ada di Papua, protes tersebut bisa dipahami sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Papua. Tetapi, yang kemudian menjadi tolok ukur ialah bagaimana respons pemerintah terhadap hal tersebut.

Tentu saja, mekanisme dan pendekatan persuasif yang mengedepankan dialog harus selalu menjadi pilihan pendekatan utama. Jangan sampai, pendekatan yang digunakan justru mencederai nilai dan prinsip hukum, hak asasi manusia (HAM) dan keadilan yang kemudian menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM berat.

Seperti yang disinggung di awal bahwa integrasi Papua melalui external self-determination tidaklah bersifat finalatau permanen. Dalam hukum internasional, hak untuk memisahkan diri masih mungkin dilakukan ketika hak menentukan nasib sendiri secara internal (internal self-determinantion) tidak terpenuhi. Dan, Bangladesh bisa dijadikan contoh empiris.

Kalau merujuk pada kasus Bangladesh, adanya pelanggaran yang sistematis terhadap hak-hak fundamental, pembunuhan, penindasan dan pelanggaran HAM berat, disertai juga dengan sudah tidak adanya lagi solusi untuk menyelesaikan konflik yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak menentukan nasib sendiri secara internal ialah dasar terlaksananya hak untuk memisahkan diri tersebut.

Kembali pada persoalan Papua dan melihat kondisi faktual Papua hari ini, memang masih dibutuhkan analisis dan penyelidikan yang sangat hati-hati untuk mengatakan bahwa kondisi dan parameter untuk melaksanakan hak untuk memisahkan diri telah terpenuhi atau tidak.

Meskipun demikian, hal tersebut harus dijadikan catatan oleh pemerintah agar dapat mengonstruksikan langkah dan pendekatan yang tepat dalam menghadapi permasalahan Papua.

Kritik konstruktif juga perlu untuk disampaikan kepada pemerintah dalam melihat pembangunan fisik sebagai tolok ukur pembangunan, yang pada akhirnya mengesampingkan hal lain yang sifatnya fundamental, yaitu memberdayakan orang asli Papua secara bermartabat.

Orang asli Papua perlu untuk dilibatkan sebagai subjek pembangunan, termasuk melibatkan mereka dalam setiap perumusan kebijakan yang akan berdampak langsung ataupun tidak langsung kepada mereka melalui proses politik yang demokratis dan berkeadilan. Pemerintah juga harus bisa menerjemahkan setiap pandangan dan masukan ke dalam bentuk perbaikan dan penguatan secara teknis dan yuridis dalam rangka mempertahankan integrasi Papua ke Indonesia.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0684 seconds (0.1#10.140)