Papua: Integrasi, Otonomi Khusus, dan Pembangunan

Kamis, 15 April 2021 - 05:05 WIB
Menariknya, pelaksanaan Pepera ternyata hanya dilakukan terhadap 1.025 orang yang merupakan perwakilan dari setiap wilayah politik dan budaya di Papua. Itu dilakukan karena mempertimbangkan kondisi geografis dan sebaran masyarakat Papua pada waktu itu.

Meskipun demikian, pelaksanaan Pepera dengan mekanisme yang dikenal dengan istilah noken atau pemberian suara melalui perwakilan kepala suku hasil kesepakatan dari masyarakat tidak kemudian menjadi sebuah kesalahan mutlak. Karena mekanisme politik tersebut pada kenyataannya sampai hari ini masih dipraktikkan di Papua sebagai satu aturan/kebiasaan adat di sana. Sehingga, bisa dikatakan bahwa Pepera tersebut telah dilaksanakan dengan mekanisme yang layak dan tepat pada waktu itu.

Dengan demikian, perdebatan mengenai status integrasi Papua seharusnya juga sudah tuntas meskipun sifatnya tidak final.

Buruknya Pengelolaan

Pasca-pelaksanaan Pepera 1969, secara formal Papua menjadi bagian dari Indonesia. Akan tetapi, pada kenyataannya Indonesia sering dianggap tidak mampu melaksanakan tanggung jawab moral terhadap masyarakat setempat. Hal ini dibuktikan dengan adanya kesenjangan yang dialami masyarakat Papua di semua sektor, mulai dari infrastruktur, ekonomi, kesehatan, hingga pendidikan. Intinya ialah persoalan kesejahteraan.

Respons pemerintah terhadap persoalan Papua baru muncul bersamaan dengan momentum reformasi di Indonesia, yakni dengan secara resmi memberikan status otsus kepada Papua (dulu Irian Jaya) melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.

Otsus dengan konsep desentralisasi asimetris ini memberikan kewenangan dan keleluasaan yang lebih luas kepada pemerintah daerah dalam mengatur dan menyelenggarakan pemerintahannya, termasuk juga dalam hal pengelolaan sumber daya alamnya (Kausar, 2006). Muara otsus ialah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.

Secara teoritis, otsus seharusnya bisa menjadi jalan tengah untuk menyelesaikan persoalan kesejahteraan tersebut. Akan tetapi, ambiguitas pelaksanaannya membuat otsus tidak mampu merespons permasalahan yang ada. Belum lagi, masih banyak peraturan daerah khusus (Perdasus) dan peraturan daerah provinsi (Perdasi) yang diamanatkan dalam UU Otsus yang belum juga dibentuk. Padahal, peraturan tersebut sangat strategis untuk mendukung pelaksanaan otsus.

Selanjutnya, sejak awal ditetapkannya otsus hingga 2021 ini, pemerintah pusat telah menyalurkan dana otsus dan dana tambahan infrastruktur (DTI) yang totalnya mencapai Rp138,65 triliun. Alokasi dana yang jumlahnya triliunan tersebut seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua (Papua dan Papua Barat). Akan tetapi, fakta yang ada seperti “masih jauh panggang dari api”. Besarnya dana otsus tersebut tidak diikuti dengan dampak yang signifikan dan menyebabkan warga di sana masih berkubang dalam kemiskinan dan ketertinggalan.

Buruknya pola pengelolaan dana otsus ini juga memunculkan opini tentang adanya dugaan penyelewengan dana (berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan). Alokasi dana yang begitu besar tersebut seharusnya diimbangi dengan adanya regulasi yang komprehensif, yang mengatur persoalan teknis dan mekanisme pengelolaan hingga prosedur pelaporan dan pertangungjawaban yang sifatnya transparan dan akuntabel.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More