Lone Wolf dan Transformasi Strategi Teror

Jum'at, 09 April 2021 - 05:30 WIB
Sejak berdiri pada 2015, JAD menjadi dalang bagi sejumlah aksi bom bunuh diri, seperti peledakan di Gereja Santa Maria Surabaya, Gereja Kristen Indonesia, dan Polrestabes Surabaya (2018), serta peledakan Halte Bus Kampung Melayu (2017). Selain itu, JAD juga disebut sebagai dalang peledakan bom bunuh diri di Jolo, Filipina, yang menewaskan 14 orang dengan 75 orang luka-luka (2020).

Secara umum, setelah tragedi WTC pada 11 September 2001, muncul kecenderungan sejumlah organisasi teroris meningkatkan intensitas serangan melalui bom bunuh diri karena memiliki tujuan politik yang besar. Al-Qaedah, misalnya, melakukan serangkaian aksi bom bunuh diri untuk memaksa militer Amerika Serikat (AS) pergi dari Semenanjung Arab (Pape, 2003).

Begitu pun dengan ISIS. Organisasi yang didirikan Abu Mus’ab Zarqawi ini mengeluarkan perintah kepada milisinya untuk melakukan serangan teror di negaranya masing-masing. Para kombatan ISIS melancarkan aksi lone wolf melalui beberapa bentuk. Ada yang berupa aksi bom bunuh diri, penembakan dan penusukan warga/aparat, hingga menabrak kerumunan massa.

Jadi, tampak ada kemiripan strategi teror antara ISIS dan JAD dalam hal pemanfaatan lone wolf sebagai bentuk aksi terorisme yang baru. Hal ini karena JAD merupakan representasi gerakan teror ISIS yang berbasis di Asia Tenggara.

JAD merekrut anak-anak muda yang sedang mencari identitas. Sayangnya, para generasi langgas itu salah mendasarkan pemahaman keagamaannya pada orang yang berideologi tertutup. Ada juga di antara mereka yang terpapar melalui akun-akun jejaring sosial yang menyediakan berbagai konten berpaham terorisme.

Pada akhirnya, mereka rela menjadi “pengantin” bom karena doktrin jihad yang disalahpahami. Jadi, ideologi teror yang memanfaatkan bom bunuh diri atau lone wolf sebagai jalan aksinya, sekarang ini harus menjadi perhatian bersama. Para pelakunya bisa berasal dari latar belakang pendidikan, profesi, jenis kelamin, dan usia yang beragam.

Belajar dari kasus penembakan di Mabes Polri, bom bunuh diri di Makassar, dan sejumlah aksi ekstremisme kekerasan berbasiskan agama yang terjadi beberapa tahun ke belakang, para pelakunya bisa berasal dari pasangan suami-istri yang baru menikah, berusia muda atau tua, laki-laki atau perempuan, serta kaya atau miskin.

Dengan demikian, di era kontemporer seperti sekarang, bisa diamati bahwa ideologi terorisme sudah tak mengenal usia atau jenis kelamin. Ide radikal keagamaan ini bisa menyasar siapa saja dan menjadikan mereka ekstremis yang rela mengorbankan nyawa mereka sendiri atau keluarganya demi menjadi syuhada seperti dalam bayangan mereka.

Ideologi ekstremisme ini bisa menyasar siapa pun dan melalui sumber apa pun. Bisa dari kajian yang terselenggara di sekitar perumahan atau dari berbagai narasi keagamaan yang tersebar di media sosial. Terlebih, berbagai kelompok teroris sengaja memanfaatkan jejaring sosial untuk melakukan perekrutan, propaganda dan diseminasi ide-ide radikalisme keagamaan.

Tentu saja penggunaan Telegram, WhatsApp, YouTube, Instagram, Twitter, dan aplikasi media sosial lainnya ini sangat jelas untuk menyasar anak-anak muda yang kerap berselancar di internet untuk mencari rujukan-rujukan keagamaan. Sebab itu, menjadikan rujukan keagamaan yang bersumber dari internet sangatlah boleh, tapi alangkah baiknya jika disertai dengan literasi keagamaan yang mendalam serta berpikiran terbuka.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More