Membangun Koperasi Pangan Modern
Kamis, 08 April 2021 - 06:30 WIB
Tahapan lebih maju dari pendekatan ini adalah mendorong gabungan dari koperasi pangan, pembiayaan, pengolahan dan pemasaran dalam kawasan. Alhasil, secara spasial kawasan ini mendapat aneka kemudahan lain layaknya kawasan ekonomi khusus.
Jika saat ini terdapat 221 kawasan yang telah ditetapkan sebagai zona LPPB melalui peraturan daerah (perda) di sejumlah kabupaten/kota, setidaknya terdapat potensi membangun koperasi pertanian pangan pada tahap purwarupa di wilayah-wilayah tersebut.
Kawasan Reforma Agraria
Selain LPPB, terdapat potensi wilayah pembangunan koperasi pangan lainnya, yaitu lokasi di mana pemerintah menjalankan proses redistribusi tanah sebagai tahap awal reforma agraria. Jika menilik kepada peta indikatif Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) maupun usulan masyarakat sipil melalui Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) pendekatan kawasan reforma agraria layak diterapkan.
Melalui redistribusi tanah pada kawasan reforma agraria, modernisasi pertanian pangan berbasis koperasi seharusnya lebih mudah mewujud, dengan catatan luasan redistribusi dengan pola kawasan produksi wajib tetap memperhitungkan skala keekonomian setiap subjek penerima manfaat (beneficiaries). Model koperasi dalam wilayah reforma agraria semacam ini akan mencegah fragmentasi lahan pertanian oleh generasi petani sebagaimana selama ini terjadi.
Dengan pendekatan kawasan reforma agraria, modernisasi pertanian melalui koperasi pangan yang mengidealkan luas lahan dalam skala perhitungan bisnis, mekanisasi produksi dan adopsi teknologi setidaknya dapat lebih mudah terpecahkan jika melalui skema reforma agraria.
Tantangan mewujudkan koperasi pangan modern saat ini adalah menyinergiskan kementerian/lembaga seperti Kementerian ATR/BPN, KLHK, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi-UKM, Kementerian Desa-PDDT, KKP, dan pemerintah daerah dan lembaga pembiayaan dalam sebuah route pembangunan yang berkesinambungan. Selain itu, menjadikan keberhasilannya program ini sebagai milik seluruh kementerian yang ada tentu menjadi tantangan politik tersendiri.
Selain keluar dari belenggu ego sektoral kementerian/lembaga, tantangan lainnya adalah semakin terbukanya peluang membangun pertanian pangan berbasis korporasi pangan besar. Godaan semacam ini, yakni menyerahkan lahan kepada korporasi pangan dalam wujud food estate berbasis korporasi, telah mengerdilkan pembangunan pertanian dan melupakan pembangunan petani.
Karena itu, korporatisasi pangan melalui koperasi pangan modern berbasis petani adalah jawaban pembangunan pertanian dan petani kita. Ikhtiar mengubah wajah mereka saat ini menjadi lebih ceria. Namun, tanpa upaya konsisten dan terpimpin, modernisasi pertanian dan petani berbasis koperasi untuk memperbaiki tata produksi, distribusi dan konsumsi pangan nasional secara menyeluruh tidak akan terwujud.
Jika saat ini terdapat 221 kawasan yang telah ditetapkan sebagai zona LPPB melalui peraturan daerah (perda) di sejumlah kabupaten/kota, setidaknya terdapat potensi membangun koperasi pertanian pangan pada tahap purwarupa di wilayah-wilayah tersebut.
Kawasan Reforma Agraria
Selain LPPB, terdapat potensi wilayah pembangunan koperasi pangan lainnya, yaitu lokasi di mana pemerintah menjalankan proses redistribusi tanah sebagai tahap awal reforma agraria. Jika menilik kepada peta indikatif Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) maupun usulan masyarakat sipil melalui Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) pendekatan kawasan reforma agraria layak diterapkan.
Melalui redistribusi tanah pada kawasan reforma agraria, modernisasi pertanian pangan berbasis koperasi seharusnya lebih mudah mewujud, dengan catatan luasan redistribusi dengan pola kawasan produksi wajib tetap memperhitungkan skala keekonomian setiap subjek penerima manfaat (beneficiaries). Model koperasi dalam wilayah reforma agraria semacam ini akan mencegah fragmentasi lahan pertanian oleh generasi petani sebagaimana selama ini terjadi.
Dengan pendekatan kawasan reforma agraria, modernisasi pertanian melalui koperasi pangan yang mengidealkan luas lahan dalam skala perhitungan bisnis, mekanisasi produksi dan adopsi teknologi setidaknya dapat lebih mudah terpecahkan jika melalui skema reforma agraria.
Tantangan mewujudkan koperasi pangan modern saat ini adalah menyinergiskan kementerian/lembaga seperti Kementerian ATR/BPN, KLHK, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi-UKM, Kementerian Desa-PDDT, KKP, dan pemerintah daerah dan lembaga pembiayaan dalam sebuah route pembangunan yang berkesinambungan. Selain itu, menjadikan keberhasilannya program ini sebagai milik seluruh kementerian yang ada tentu menjadi tantangan politik tersendiri.
Selain keluar dari belenggu ego sektoral kementerian/lembaga, tantangan lainnya adalah semakin terbukanya peluang membangun pertanian pangan berbasis korporasi pangan besar. Godaan semacam ini, yakni menyerahkan lahan kepada korporasi pangan dalam wujud food estate berbasis korporasi, telah mengerdilkan pembangunan pertanian dan melupakan pembangunan petani.
Karena itu, korporatisasi pangan melalui koperasi pangan modern berbasis petani adalah jawaban pembangunan pertanian dan petani kita. Ikhtiar mengubah wajah mereka saat ini menjadi lebih ceria. Namun, tanpa upaya konsisten dan terpimpin, modernisasi pertanian dan petani berbasis koperasi untuk memperbaiki tata produksi, distribusi dan konsumsi pangan nasional secara menyeluruh tidak akan terwujud.
(bmm)
tulis komentar anda