Membangun Koperasi Pangan Modern
loading...
A
A
A
Iwan Nurdin
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria, Staf Pengajar Universitas Paramadina
BAGAIMANA menggeser wajah petani dan pertanian pangan kita yang saat ini dominan berisi rumah tangga pertanian kecil dan buruh tani, berusia tua, menjadi bentuk usaha pertanian pangan modern yang dimiliki petani, berbentuk koperasi dan digemari generasi muda? Bukankah terasa sebagai mimpi yang terlalu muluk-muluk sekarang?
Menjawab pertanyaan tersebut adalah pekerjaan utama pembangunan pertanian pangan kita dewasa ini yang harus dijalankan secara sungguh-sungguh. Tanpa perubahan tersebut, kelak pemasok kebutuhan pangan nasional akan didominasi korporasi produsen pangan, perusahaan impor pangan. Jika sudah demikian, cita-cita kedaulatan pangan semakin jauh dari realita.
Modernisasi Pertanian
Perubahan tersebut hanya dapat tercipta melalui modernisasi petani dan pertanian. Meski terbilang terlambat dibandingkan negara lain, langkah modernisasi tidak boleh surut. Berangkat dari situasi negara kita, salah satu indikator modernisasi di tingkat tapak adalah hadirnya koperasi pangan modern beranggotakan petani.
Ini tentu bukan hal mudah, mengingat citra koperasi di tingkat petani dan desa tidak terlalu baik. Pendekatan baru mesti dilakukan untuk menggairahkan keinginan petani berkoperasi. Pertama, pendekatan ekonomi spasial. Pintu masuk pendekatan ini melalui wilayah-wilayah yang telah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan (LPPB) sesuai amanat UU Nomor 41/2009 yang kemudian dikembangkan menjadi kawasan pembangunan pertanian pangan. Karena itu, langkah afirmatif yang terkoordinasi penting dilakukan oleh kementerian/lembaga yang terkait dengan sektor ini.
Langkah afirmatif tersebut dapat berupa sejumlah insentif kepada petani-petani dalam sebuah hamparan pada kawasan ini untuk bergabung ke dalam koperasi pangan. Karena itu, gabungan petani semacam ini akan menghasilkan kebijakan konsolidasi lahan pertanian. Kesatuan kebijakan yang menguntungkan yang mendorong lahirnya koperasi pangan penting dilakukan. Beberapa insentif seperti adanya legalisasi lahan, kemudahan perizinan, pendampingan, dukungan teknologi, permodalan dan sejumlah subsidi produksi, jaminan pasar, jaminan sosial hingga kebebasan pajak patut diterapkan sebagai insentif awal.
Selanjutnya, melibatkan generasi muda dalam rencana dan aksi ini. Keterlibatan generasi muda menandakan adanya masa depan. Karenanya, kerja sama dengan SMK dan perguruan tinggi juga harus dirumuskan secara jelas sejak dari sisi produksi hingga pemasaran. Sehingga pengembangan kawasan ini, selain sebagai inkubasi bagi lahirnya koperasi pangan modern, juga menjadi bagian dari regenerasi pertanian.
Tahapan lebih maju dari pendekatan ini adalah mendorong gabungan dari koperasi pangan, pembiayaan, pengolahan dan pemasaran dalam kawasan. Alhasil, secara spasial kawasan ini mendapat aneka kemudahan lain layaknya kawasan ekonomi khusus.
Jika saat ini terdapat 221 kawasan yang telah ditetapkan sebagai zona LPPB melalui peraturan daerah (perda) di sejumlah kabupaten/kota, setidaknya terdapat potensi membangun koperasi pertanian pangan pada tahap purwarupa di wilayah-wilayah tersebut.
Kawasan Reforma Agraria
Selain LPPB, terdapat potensi wilayah pembangunan koperasi pangan lainnya, yaitu lokasi di mana pemerintah menjalankan proses redistribusi tanah sebagai tahap awal reforma agraria. Jika menilik kepada peta indikatif Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) maupun usulan masyarakat sipil melalui Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) pendekatan kawasan reforma agraria layak diterapkan.
Melalui redistribusi tanah pada kawasan reforma agraria, modernisasi pertanian pangan berbasis koperasi seharusnya lebih mudah mewujud, dengan catatan luasan redistribusi dengan pola kawasan produksi wajib tetap memperhitungkan skala keekonomian setiap subjek penerima manfaat (beneficiaries). Model koperasi dalam wilayah reforma agraria semacam ini akan mencegah fragmentasi lahan pertanian oleh generasi petani sebagaimana selama ini terjadi.
Dengan pendekatan kawasan reforma agraria, modernisasi pertanian melalui koperasi pangan yang mengidealkan luas lahan dalam skala perhitungan bisnis, mekanisasi produksi dan adopsi teknologi setidaknya dapat lebih mudah terpecahkan jika melalui skema reforma agraria.
Tantangan mewujudkan koperasi pangan modern saat ini adalah menyinergiskan kementerian/lembaga seperti Kementerian ATR/BPN, KLHK, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi-UKM, Kementerian Desa-PDDT, KKP, dan pemerintah daerah dan lembaga pembiayaan dalam sebuah route pembangunan yang berkesinambungan. Selain itu, menjadikan keberhasilannya program ini sebagai milik seluruh kementerian yang ada tentu menjadi tantangan politik tersendiri.
Selain keluar dari belenggu ego sektoral kementerian/lembaga, tantangan lainnya adalah semakin terbukanya peluang membangun pertanian pangan berbasis korporasi pangan besar. Godaan semacam ini, yakni menyerahkan lahan kepada korporasi pangan dalam wujud food estate berbasis korporasi, telah mengerdilkan pembangunan pertanian dan melupakan pembangunan petani.
Karena itu, korporatisasi pangan melalui koperasi pangan modern berbasis petani adalah jawaban pembangunan pertanian dan petani kita. Ikhtiar mengubah wajah mereka saat ini menjadi lebih ceria. Namun, tanpa upaya konsisten dan terpimpin, modernisasi pertanian dan petani berbasis koperasi untuk memperbaiki tata produksi, distribusi dan konsumsi pangan nasional secara menyeluruh tidak akan terwujud.
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria, Staf Pengajar Universitas Paramadina
BAGAIMANA menggeser wajah petani dan pertanian pangan kita yang saat ini dominan berisi rumah tangga pertanian kecil dan buruh tani, berusia tua, menjadi bentuk usaha pertanian pangan modern yang dimiliki petani, berbentuk koperasi dan digemari generasi muda? Bukankah terasa sebagai mimpi yang terlalu muluk-muluk sekarang?
Menjawab pertanyaan tersebut adalah pekerjaan utama pembangunan pertanian pangan kita dewasa ini yang harus dijalankan secara sungguh-sungguh. Tanpa perubahan tersebut, kelak pemasok kebutuhan pangan nasional akan didominasi korporasi produsen pangan, perusahaan impor pangan. Jika sudah demikian, cita-cita kedaulatan pangan semakin jauh dari realita.
Modernisasi Pertanian
Perubahan tersebut hanya dapat tercipta melalui modernisasi petani dan pertanian. Meski terbilang terlambat dibandingkan negara lain, langkah modernisasi tidak boleh surut. Berangkat dari situasi negara kita, salah satu indikator modernisasi di tingkat tapak adalah hadirnya koperasi pangan modern beranggotakan petani.
Ini tentu bukan hal mudah, mengingat citra koperasi di tingkat petani dan desa tidak terlalu baik. Pendekatan baru mesti dilakukan untuk menggairahkan keinginan petani berkoperasi. Pertama, pendekatan ekonomi spasial. Pintu masuk pendekatan ini melalui wilayah-wilayah yang telah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan (LPPB) sesuai amanat UU Nomor 41/2009 yang kemudian dikembangkan menjadi kawasan pembangunan pertanian pangan. Karena itu, langkah afirmatif yang terkoordinasi penting dilakukan oleh kementerian/lembaga yang terkait dengan sektor ini.
Langkah afirmatif tersebut dapat berupa sejumlah insentif kepada petani-petani dalam sebuah hamparan pada kawasan ini untuk bergabung ke dalam koperasi pangan. Karena itu, gabungan petani semacam ini akan menghasilkan kebijakan konsolidasi lahan pertanian. Kesatuan kebijakan yang menguntungkan yang mendorong lahirnya koperasi pangan penting dilakukan. Beberapa insentif seperti adanya legalisasi lahan, kemudahan perizinan, pendampingan, dukungan teknologi, permodalan dan sejumlah subsidi produksi, jaminan pasar, jaminan sosial hingga kebebasan pajak patut diterapkan sebagai insentif awal.
Selanjutnya, melibatkan generasi muda dalam rencana dan aksi ini. Keterlibatan generasi muda menandakan adanya masa depan. Karenanya, kerja sama dengan SMK dan perguruan tinggi juga harus dirumuskan secara jelas sejak dari sisi produksi hingga pemasaran. Sehingga pengembangan kawasan ini, selain sebagai inkubasi bagi lahirnya koperasi pangan modern, juga menjadi bagian dari regenerasi pertanian.
Tahapan lebih maju dari pendekatan ini adalah mendorong gabungan dari koperasi pangan, pembiayaan, pengolahan dan pemasaran dalam kawasan. Alhasil, secara spasial kawasan ini mendapat aneka kemudahan lain layaknya kawasan ekonomi khusus.
Jika saat ini terdapat 221 kawasan yang telah ditetapkan sebagai zona LPPB melalui peraturan daerah (perda) di sejumlah kabupaten/kota, setidaknya terdapat potensi membangun koperasi pertanian pangan pada tahap purwarupa di wilayah-wilayah tersebut.
Kawasan Reforma Agraria
Selain LPPB, terdapat potensi wilayah pembangunan koperasi pangan lainnya, yaitu lokasi di mana pemerintah menjalankan proses redistribusi tanah sebagai tahap awal reforma agraria. Jika menilik kepada peta indikatif Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) maupun usulan masyarakat sipil melalui Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) pendekatan kawasan reforma agraria layak diterapkan.
Melalui redistribusi tanah pada kawasan reforma agraria, modernisasi pertanian pangan berbasis koperasi seharusnya lebih mudah mewujud, dengan catatan luasan redistribusi dengan pola kawasan produksi wajib tetap memperhitungkan skala keekonomian setiap subjek penerima manfaat (beneficiaries). Model koperasi dalam wilayah reforma agraria semacam ini akan mencegah fragmentasi lahan pertanian oleh generasi petani sebagaimana selama ini terjadi.
Dengan pendekatan kawasan reforma agraria, modernisasi pertanian melalui koperasi pangan yang mengidealkan luas lahan dalam skala perhitungan bisnis, mekanisasi produksi dan adopsi teknologi setidaknya dapat lebih mudah terpecahkan jika melalui skema reforma agraria.
Tantangan mewujudkan koperasi pangan modern saat ini adalah menyinergiskan kementerian/lembaga seperti Kementerian ATR/BPN, KLHK, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi-UKM, Kementerian Desa-PDDT, KKP, dan pemerintah daerah dan lembaga pembiayaan dalam sebuah route pembangunan yang berkesinambungan. Selain itu, menjadikan keberhasilannya program ini sebagai milik seluruh kementerian yang ada tentu menjadi tantangan politik tersendiri.
Selain keluar dari belenggu ego sektoral kementerian/lembaga, tantangan lainnya adalah semakin terbukanya peluang membangun pertanian pangan berbasis korporasi pangan besar. Godaan semacam ini, yakni menyerahkan lahan kepada korporasi pangan dalam wujud food estate berbasis korporasi, telah mengerdilkan pembangunan pertanian dan melupakan pembangunan petani.
Karena itu, korporatisasi pangan melalui koperasi pangan modern berbasis petani adalah jawaban pembangunan pertanian dan petani kita. Ikhtiar mengubah wajah mereka saat ini menjadi lebih ceria. Namun, tanpa upaya konsisten dan terpimpin, modernisasi pertanian dan petani berbasis koperasi untuk memperbaiki tata produksi, distribusi dan konsumsi pangan nasional secara menyeluruh tidak akan terwujud.
(bmm)