Soal Tuntutan 6 Tahun Penjara, Kuasa Hukum: JPU Kebingungan Tuntut Syahganda
Jum'at, 02 April 2021 - 18:09 WIB
DEPOK - Petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Syahganda Nainggolan dituntut enam tahun penjara atas dakwaan menyebarkan berita bohong (hoaks). Syahganda didakwa melanggar Pasal 14 ayat (1) atau Pasal 14 ayat (2) atau Pasal 15 Undang undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Menanggapi hal itu, kuasa hukum Syahganda, Abdullah Alkatiri berpendapat jaksa kebingungan dalam menentukan tuntutan. Syahganda didakwa pasal 14 ayat (1) yang menurutnya itu harus ada korban dan kerugian, bukan hanya potensi. “Faktanya tidak ada korban tidak ada kerusuhan Pak Ganda berbicara seperti itu, tapi dihubung-hubungkan. Nampaknya jaksa kebingungan, sehingga mereka menggunakan BAP, jadi bukan fakta persidangan yang digunakan untuk menuntut,” katanya, Jumat (2/4/2021).
Menurutnya, dasar menuntut adalah fakta persidangan. Hal itu diatur dalam KUHAP pada 185 ayat (1) untuk saksi yang diambil adalah keterangan di persidangan. Dia sangat menyayangkan kalau tuntutan diambil berdasarkan BAP, bukan fakta persidangan. “Kalau BAP itu kan subjektif banget, karena ada keterangan orang-orang kita juga. Jadi percuma kalau gitu, kalau dasarnya BAP, langsung aja dituntut nggak usah pakai sidang,” ucapnya.
Selanjutnya pihaknya akan melakukan pembelaan. Karena pasal yang disangkakan dianggap delik materil. Menurutnya, kalau delik materil maka seseorang dikatakan bersalah kalau sudah terjadi peristiwanya. “Kita lakukan pembelaan, pasal 14 ayat satu itu delik materil. Paling 14 ayat (2), pasal 15, itu masuk akal, karena dapat menimbulkan potensi. Kalau materil itu orang dikatakan bersalah kalau sudah terjadi peristiwanya. Saya juga agak bingung kenapa dipakai pasal itu, karena hukumannya sepuluh tahun kan maksimal, kalau lainnya itu tiga tahun, dua tahun,” bebernya.
Alkatiri menduga bahwa JPU menuntut dengan Pasal 14 ayat (1) karena ingin menjerat dengan hukuman yang tertinggi. Namun JPU luput bahwa dalam pasal 14 ayat (1) harus ada pihak yang dirugikan. “Iya, pokoknya hukumannya harus tinggi, tapi mereka lupa 14 ayat (1) itu harus ada siapa yang dirugikan. Jelas-jelas pada waktu Mata Najwa dikatakan, pada waktu dibakar itu bukan mahasiswa bukan buruh. Jelas-jelas dikatakan ada kelompok lain, Anarko atau apa itu. Itu sudah terungkap, bahkan yang berbicara divisi Humas dan BIN kan,” ungkapnya.
Dirinya juga mengaku bingung dengan 18 kali sidang yang dijalani dianggap tidak ada apa-apanya. Karena hakim masih berpegang dengan tuntutan Pasal 14 (1). Alkatiri pun mempertanyakan hal itu. “Makanya saya bingung ini belok dari fakta persidangan, ini kita 18 kali tidak ada apa-apanya. Nah hakim masih berpegang dengan tuntutan ini kami bingung juga, keadilan harus dipertanyakan di negeri ini,” katanya.
Sebelumnya, JPU Syahnan Tanjung mengatakan Syahganda terbukti bersalah. Syahganda didakwa menyebarkan berita bohong soal omnibus law sehingga menimbulkan aksi unjuk rasa. Jaksa berpendapat, dia dinyatakan terbukti melakukan hasutan melalui akun media sosialnya.Jaksa berpandangan cuitan yang diungkapkan Syahganda terkait RUU Omnibus Law membuat resah banyak orang dan memicu situasi tidak kondusif. Padahal dalam RUU tersebut tidak seperti apa yang dicuitkan Syahganda. “Dia terukti secara valid dengan bukti twiter dia mengakuinya sendiri, itu memang buatan dia, dan tidak bisa dituduh orang lain twiter itu karena tidak bisa nama orang lain," kata JPU Syahnan Tanjung.
Menanggapi hal itu, kuasa hukum Syahganda, Abdullah Alkatiri berpendapat jaksa kebingungan dalam menentukan tuntutan. Syahganda didakwa pasal 14 ayat (1) yang menurutnya itu harus ada korban dan kerugian, bukan hanya potensi. “Faktanya tidak ada korban tidak ada kerusuhan Pak Ganda berbicara seperti itu, tapi dihubung-hubungkan. Nampaknya jaksa kebingungan, sehingga mereka menggunakan BAP, jadi bukan fakta persidangan yang digunakan untuk menuntut,” katanya, Jumat (2/4/2021).
Menurutnya, dasar menuntut adalah fakta persidangan. Hal itu diatur dalam KUHAP pada 185 ayat (1) untuk saksi yang diambil adalah keterangan di persidangan. Dia sangat menyayangkan kalau tuntutan diambil berdasarkan BAP, bukan fakta persidangan. “Kalau BAP itu kan subjektif banget, karena ada keterangan orang-orang kita juga. Jadi percuma kalau gitu, kalau dasarnya BAP, langsung aja dituntut nggak usah pakai sidang,” ucapnya.
Selanjutnya pihaknya akan melakukan pembelaan. Karena pasal yang disangkakan dianggap delik materil. Menurutnya, kalau delik materil maka seseorang dikatakan bersalah kalau sudah terjadi peristiwanya. “Kita lakukan pembelaan, pasal 14 ayat satu itu delik materil. Paling 14 ayat (2), pasal 15, itu masuk akal, karena dapat menimbulkan potensi. Kalau materil itu orang dikatakan bersalah kalau sudah terjadi peristiwanya. Saya juga agak bingung kenapa dipakai pasal itu, karena hukumannya sepuluh tahun kan maksimal, kalau lainnya itu tiga tahun, dua tahun,” bebernya.
Alkatiri menduga bahwa JPU menuntut dengan Pasal 14 ayat (1) karena ingin menjerat dengan hukuman yang tertinggi. Namun JPU luput bahwa dalam pasal 14 ayat (1) harus ada pihak yang dirugikan. “Iya, pokoknya hukumannya harus tinggi, tapi mereka lupa 14 ayat (1) itu harus ada siapa yang dirugikan. Jelas-jelas pada waktu Mata Najwa dikatakan, pada waktu dibakar itu bukan mahasiswa bukan buruh. Jelas-jelas dikatakan ada kelompok lain, Anarko atau apa itu. Itu sudah terungkap, bahkan yang berbicara divisi Humas dan BIN kan,” ungkapnya.
Dirinya juga mengaku bingung dengan 18 kali sidang yang dijalani dianggap tidak ada apa-apanya. Karena hakim masih berpegang dengan tuntutan Pasal 14 (1). Alkatiri pun mempertanyakan hal itu. “Makanya saya bingung ini belok dari fakta persidangan, ini kita 18 kali tidak ada apa-apanya. Nah hakim masih berpegang dengan tuntutan ini kami bingung juga, keadilan harus dipertanyakan di negeri ini,” katanya.
Sebelumnya, JPU Syahnan Tanjung mengatakan Syahganda terbukti bersalah. Syahganda didakwa menyebarkan berita bohong soal omnibus law sehingga menimbulkan aksi unjuk rasa. Jaksa berpendapat, dia dinyatakan terbukti melakukan hasutan melalui akun media sosialnya.Jaksa berpandangan cuitan yang diungkapkan Syahganda terkait RUU Omnibus Law membuat resah banyak orang dan memicu situasi tidak kondusif. Padahal dalam RUU tersebut tidak seperti apa yang dicuitkan Syahganda. “Dia terukti secara valid dengan bukti twiter dia mengakuinya sendiri, itu memang buatan dia, dan tidak bisa dituduh orang lain twiter itu karena tidak bisa nama orang lain," kata JPU Syahnan Tanjung.
(cip)
tulis komentar anda