Cetak Uang dan Simalakama BI

Rabu, 20 Mei 2020 - 10:14 WIB
Adhitya Wardhono, Dosen dan peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Jember.
Adhitya Wardhono

Dosen dan peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Jember.



PANDEMI
Covid-19 memunculkan problem ikutan yang sarat dengan perdebatan. Stimulus fiskal pemerintah menyedot anggaran sebesar 405,1 triliun rupiah dirasa sangat kurang, hanya 2,5 persen dari PDB. Terlebih dibandingkan negara lain dalam mengatasi pandemi ini. Anggaran stimulus tidak cukup dan perlu dinaikkan dengan alasan keselamatan ekonomi negara. Maka muncul ide dari Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat untuk mencetak uang. Detailnya adalah mengusulkan Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang sebesar Rp. 400-600 triliun guna menyelamatkan perekonomian Indonesia saat pandemi virus korona.

Masalahnya jadi dilematis antara keselamatan ekonomi negara dan independensi BI. Ide mencetak uang baru atau quantitative easing dengan mendorong BI untuk melakukannya dengan didukung oleh beberapa pengamat dan pengusaha. Karena di lapangan semakin sulit mencari likuiditas di pasar. Ada keyakinan dengan mencetak uang dan dimasukkan dalam sistem keuangan negara akan lebih aman. Alibinya inflasi akan tetap terkontrol karena permintaan masyarakat masih rendah. Usulan sekoci penyelamatan ekonomi dengan mencetak uang ini tidak tanggung-tanggung yaitu jika perlu mencapai ribuan triliun rupiah. Terkait desakan ini, maka seberapa sahih usulan cetak uang ini? Bagaimana risiko yang harus diambil jika jadi cetak uang? Bagaimana posisi BI sebagai otoritas moneter ini?



Belajar dari sejarah

Sejarah mencatat dampak cetak uang sangat berbahaya bagi ekonomi negara. Misal saja, cetak uang pernah terjadi di Jerman setelah kalah PD II untuk membayar kerugian perang. Begitu uang dicetak berlebihan mengakibatkan ia tidak memiliki harga. Akibatnya uang hanya untuk mainan, penghias dinding rumah dan menyalakan kompor. Di Zimbabwe, inflasi mendera menjadikan harga telur saja mencapai milyaran dolar Zimbabwe. Tingginya inflasi disana membuat negara ini pernah melakukan redenominasi mata uangnya. Yakni menyederhanakan uang 10 miliar dolar Zimbabwe menjadi 1 dolar Zimbabwe.

Satu lagi Hongaria yang pernah cetak uang dan disalurkan ke bank, perusahaan dan masyarakat. Dalam waktu 10 tahun mata uang Hongaria, Kronen 70.000 senilai dengan 1 dolar AS atau melemah 1.400.000 persen hanya dalam waktu 10 tahun dari tahun 1914 ke 1924. Diulang lagi setelah Perang Dunia ke-2, dan mengubah mata uangnya menjadi bernama Pengo (1945). Maka terjadi inflasi terparah sepanjang sejarah hanya dalam satu tahun. Yakni pernah memiliki uang cetak lembaran senilai 1 milyar triliun dan dalam satu hari terjadi inflasi sebesar 150.000 persen.

Kredibilitas BI
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More