Cetak Uang dan Simalakama BI
Rabu, 20 Mei 2020 - 10:14 WIB
Bagi BI sebagai otoritas moneter keterlibatan dengan pemerintah ditunjukkan dengan proaktif mendampingi setiap keputusan pemerintah (otoritas fiskal) yakni menjaga stabilitas ekonomi negara. Dua otoritas ini harus seiring sejalan bekerjasama. BI harus konsisten dengan menjaga stance kebijakan moneter akomodatif. Oleh karenanya untuk stimulus moneter, BI menurunkan suku bunga acuan untuk meringankan biaya bunga. Sehingga diharapkan akan membanjiri likuiditas ke pasar yang sedang kekeringan.
Usulan mencetak uang akan sangat dilematis bagi BI. Tingginya risiko jika bank sentral nekat mencetak uang akan sangat besar. Salah satu akibatnya yakni meroketnya inflasi. Peredaran uang yang tinggi namun tidak dibarengi pasokan produksi bisa membuat harga barang melonjak dan daya beli jatuh. Lebih jauh, perusahaan bisa mengurangi jumlah tenaga kerja alias pemutusan hubungan kerja besar-besaran. Dampak lainnya, perekonomian akan lebih cepat menukik, sehingga investasi tidak lagi menggairahkan. Jika BI mencetak uang dengan langkah yang tidak cermat maka stabilitas rupiah akan terganggu.
BI wajib mengikuti kebijakan moneter dalam koridor yang benar dan pruden. Teori dan empiris kebijakan bank sentral lain sudah cukup sebagai dasar pijakan. Jangan sampai BI dianggap sebagai bank sentral yang tidak kredibel. Situasi tidak mengenakkan membawa BI dengan kejadian BLBI pada masa lalu. Juga historia penyelamatan defisit anggaran Indonesia dengan mencetak uang pernah dilakukan era Orde Lama. Akibatnya terjadi hyperinflasi dan sanering. Konon cetak uang waktu itu tanpa underlying asset. Sehingga membuka peluang moral hazard atas kebijakan itu. Lebih-lebih kebijakan cetak uang tidak cermat terhadap sifat pruden dan longgar pengawasannya.
Sejatinya ide mencetak uang jelas membuat BI gamang. Terlebih terkait stabilitas moneter dan sistem keuangan. Namun beruntung, masih ada LPS yang bisa berpartner memitigasi risiko perbankan. Dalam hal ini, tentu BI tidak ingin disalahkan jika inflasi melambung. Padahal jejaknya jelas selama ini kebijakan moneter ekspansif yang dilakukan bersifat pruden dengan takaran dampak inflatoir yang rendah. Tapi di sisi lain saat ini pemerintah butuh uang segar untuk menutup pengeluaran fiskalnya. Artinya berlaku kebijakan fiskal ekspansif. Jadi, alih-alih menjadi baik konsekuensinya akan sama saja, yaitu hadirnya inflasi yang mengerus daya beli masyarakat.
Pembiayaan pandemi ini sebenarnya sudah terpikirkan oleh pemerintah, tanpa cetak uang. Yaitu dengan memainkan instrumen anggaran dengan seksama. Menteri Keuangan mengungkap sumber pendanaan anggaran penanganan pandemi dan dampak sosial dan ekonomi dalam APBN 2020. Salah satunya melalui Sisa Anggaran Lebih (SAL). SAL yakni akumulasi dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA)/Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SiKPA) tahun anggaran lalu dan tahun anggaran berjalan usai ditutup, ditambah atau dikurangi dengan koreksi pembukuan. Sumber lain bisa melalui dana yang sebelumnya dialokasikan untuk penyertaan modal negara (PMN), dana penghematan belanja APBN 2020, dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU), serta dana siaga APBN, ataupun tabungan negara.
BI harus memikirkan ulang desakan usulan cetak uang. Kebijakan moneter yang bersifat diskresi biasanya akan menghasilkan ketidakpastian, termasuk time inconsistency, kredibilitas dan independensi yang berisiko pada pembentukan ekspektasi masyarakat terhadap harga. Jika meminjam istilah nobel laureate Daniel Kahneman (2002), maka redam segera ide kurang rasional yang muncul. Karena tidak lebih sebagai mental short-cut system dan cenderung berpikir emosional, jangka pendek tanpa memikirkan risiko.
Akhirnya, kemampuan sinkronisasi kebijakan moneter dan fiskal yang akomodatif terhadap perekonomian yang terjadi adalah kuncinya. Jangan sampai ada sinyalemen membenturkan independensi BI dengan kuasi fiskal pemerintah. Tidak ada simalakama, yang ada gotong royong dulu saja antara otoritas moneter dan fiskal dalam memikul beban ekonomi negara, dan hindari jalan pintas menyesatkan dengan mencetak uang.
Usulan mencetak uang akan sangat dilematis bagi BI. Tingginya risiko jika bank sentral nekat mencetak uang akan sangat besar. Salah satu akibatnya yakni meroketnya inflasi. Peredaran uang yang tinggi namun tidak dibarengi pasokan produksi bisa membuat harga barang melonjak dan daya beli jatuh. Lebih jauh, perusahaan bisa mengurangi jumlah tenaga kerja alias pemutusan hubungan kerja besar-besaran. Dampak lainnya, perekonomian akan lebih cepat menukik, sehingga investasi tidak lagi menggairahkan. Jika BI mencetak uang dengan langkah yang tidak cermat maka stabilitas rupiah akan terganggu.
BI wajib mengikuti kebijakan moneter dalam koridor yang benar dan pruden. Teori dan empiris kebijakan bank sentral lain sudah cukup sebagai dasar pijakan. Jangan sampai BI dianggap sebagai bank sentral yang tidak kredibel. Situasi tidak mengenakkan membawa BI dengan kejadian BLBI pada masa lalu. Juga historia penyelamatan defisit anggaran Indonesia dengan mencetak uang pernah dilakukan era Orde Lama. Akibatnya terjadi hyperinflasi dan sanering. Konon cetak uang waktu itu tanpa underlying asset. Sehingga membuka peluang moral hazard atas kebijakan itu. Lebih-lebih kebijakan cetak uang tidak cermat terhadap sifat pruden dan longgar pengawasannya.
Sejatinya ide mencetak uang jelas membuat BI gamang. Terlebih terkait stabilitas moneter dan sistem keuangan. Namun beruntung, masih ada LPS yang bisa berpartner memitigasi risiko perbankan. Dalam hal ini, tentu BI tidak ingin disalahkan jika inflasi melambung. Padahal jejaknya jelas selama ini kebijakan moneter ekspansif yang dilakukan bersifat pruden dengan takaran dampak inflatoir yang rendah. Tapi di sisi lain saat ini pemerintah butuh uang segar untuk menutup pengeluaran fiskalnya. Artinya berlaku kebijakan fiskal ekspansif. Jadi, alih-alih menjadi baik konsekuensinya akan sama saja, yaitu hadirnya inflasi yang mengerus daya beli masyarakat.
Pembiayaan pandemi ini sebenarnya sudah terpikirkan oleh pemerintah, tanpa cetak uang. Yaitu dengan memainkan instrumen anggaran dengan seksama. Menteri Keuangan mengungkap sumber pendanaan anggaran penanganan pandemi dan dampak sosial dan ekonomi dalam APBN 2020. Salah satunya melalui Sisa Anggaran Lebih (SAL). SAL yakni akumulasi dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA)/Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SiKPA) tahun anggaran lalu dan tahun anggaran berjalan usai ditutup, ditambah atau dikurangi dengan koreksi pembukuan. Sumber lain bisa melalui dana yang sebelumnya dialokasikan untuk penyertaan modal negara (PMN), dana penghematan belanja APBN 2020, dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU), serta dana siaga APBN, ataupun tabungan negara.
BI harus memikirkan ulang desakan usulan cetak uang. Kebijakan moneter yang bersifat diskresi biasanya akan menghasilkan ketidakpastian, termasuk time inconsistency, kredibilitas dan independensi yang berisiko pada pembentukan ekspektasi masyarakat terhadap harga. Jika meminjam istilah nobel laureate Daniel Kahneman (2002), maka redam segera ide kurang rasional yang muncul. Karena tidak lebih sebagai mental short-cut system dan cenderung berpikir emosional, jangka pendek tanpa memikirkan risiko.
Akhirnya, kemampuan sinkronisasi kebijakan moneter dan fiskal yang akomodatif terhadap perekonomian yang terjadi adalah kuncinya. Jangan sampai ada sinyalemen membenturkan independensi BI dengan kuasi fiskal pemerintah. Tidak ada simalakama, yang ada gotong royong dulu saja antara otoritas moneter dan fiskal dalam memikul beban ekonomi negara, dan hindari jalan pintas menyesatkan dengan mencetak uang.
(maf)
tulis komentar anda