PERADI Perlu Rumuskan Sanksi Pembangkangan Konstitusi
Rabu, 24 Maret 2021 - 04:48 WIB
JAKARTA - Sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak digubris Mahkamah Agung (MA), di antaranya soal PERADI sebagai wadah tunggal. Ini dinilai sebagai pembangkangan terhadap konstitusi (constitutional disobedince).
Mantan Panitera MK, Prof Zainal Arifin mengatakan, hukum itu harusnya menjadi panglima atau pemandu dalam bernegara. Adapun untuk menyanksi atas pembangkangan konstitusional (constitutional disobdince), Zeanal mengatakan, setidaknya bisa dilakukan melalui dua cara. Pertama, penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court) dan kedua, dari sisi sumpah jabatan.
"Kan sumpah jabatannya memegang dan melaksanakan segala perundang-undagan dengan sebenar-benarnya dan selurus-lurusnya," kata Zainal dalam diskusi virtual bertajuk "Constitutional Disobedience" gelaran Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) kepemimpinan Ketum Prof Otto Hasibuan, Selasa (23/3/2021).
Pertanyaanya, bagaimana kalau orang itu bukan pejabat. Bagaimana cara daya paksanya sehingga menuruti putusan. "Ini yang masih belum ketemu. Apakah ada batas faktum seperti TUN, bisa direplikasi putusan TUN itu dengan batas waktu," katanya.
Opsi lainnya, yakni seperti yang biasa dicantumkan dalam undang-undang. "Sampai] 30 hari kalau presiden tidak mau mengundangkan maka dengan sendirinya hukum yang sudah disepakti menjadi UU dengan nomor tersendiri. Kalau sifatnya presiden, ya ditambah dengan contempt of court," ucapnya.
Zainal berpendapat, perlu perubahan soal perintah atau amar agar MA tunduk melaksanakan putusan MK yang bersifat final dan mengikat. "Biar tidak bisa constitutional disobedince, sehingga perlu adanya pengaturan contitutional court," ujarnya.
Ia meminta PERADI di bawah Ketum Prof Otto Hasibuan harus mendorong pengaturan constitutional disobedience dalam peraturan perundang-undangan.
Saat ini, dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan hanya diatur Putusan MK sebagai tindak lanjut dalam materi peraturan perundang-undangan.
Mantan Panitera MK, Prof Zainal Arifin mengatakan, hukum itu harusnya menjadi panglima atau pemandu dalam bernegara. Adapun untuk menyanksi atas pembangkangan konstitusional (constitutional disobdince), Zeanal mengatakan, setidaknya bisa dilakukan melalui dua cara. Pertama, penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court) dan kedua, dari sisi sumpah jabatan.
"Kan sumpah jabatannya memegang dan melaksanakan segala perundang-undagan dengan sebenar-benarnya dan selurus-lurusnya," kata Zainal dalam diskusi virtual bertajuk "Constitutional Disobedience" gelaran Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) kepemimpinan Ketum Prof Otto Hasibuan, Selasa (23/3/2021).
Pertanyaanya, bagaimana kalau orang itu bukan pejabat. Bagaimana cara daya paksanya sehingga menuruti putusan. "Ini yang masih belum ketemu. Apakah ada batas faktum seperti TUN, bisa direplikasi putusan TUN itu dengan batas waktu," katanya.
Opsi lainnya, yakni seperti yang biasa dicantumkan dalam undang-undang. "Sampai] 30 hari kalau presiden tidak mau mengundangkan maka dengan sendirinya hukum yang sudah disepakti menjadi UU dengan nomor tersendiri. Kalau sifatnya presiden, ya ditambah dengan contempt of court," ucapnya.
Zainal berpendapat, perlu perubahan soal perintah atau amar agar MA tunduk melaksanakan putusan MK yang bersifat final dan mengikat. "Biar tidak bisa constitutional disobedince, sehingga perlu adanya pengaturan contitutional court," ujarnya.
Ia meminta PERADI di bawah Ketum Prof Otto Hasibuan harus mendorong pengaturan constitutional disobedience dalam peraturan perundang-undangan.
Saat ini, dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan hanya diatur Putusan MK sebagai tindak lanjut dalam materi peraturan perundang-undangan.
tulis komentar anda