Stigma Kejahatan (Catatan Kecil Sejarah Persekusi terhadap Penjahat dan Kaum Perokok)
Rabu, 17 Maret 2021 - 18:12 WIB
Demikian persekusi terhadap tembakau dan perokok. Lebih dari 50 tahun lalu sejak ilmuwan perusahaan Pharmacia di Swedia mengembangkan produk pengganti nikotin pada 1962, berbagai rencana riset untuk membangun opini kejahatan perokok dan industri tembakau mulai disusun. Surgeon General (ahli bedah umum) Amerika bahkan sampai mengeluarkan laporan bahaya asap rokok bagi kesehatan dua tahun setelah itu.
Sejak itu, asap rokok ditempatkan sebagai objek riset paling penting bagi industri farmasi. Ribuan riset disusun dari yang secara metodologi meyakinkan sampai bahkan hanya kuis.
Riset pengaruh konsumsi rokok terhadap munculnya penyakit degeneratif (mematikan) dipilih sebagai kertas akademik untuk mendorong terbitnya regulasi. Melalui riset-riset itu, pengisap tembakau distigmatisasi sebagai pelaku kejahatan dan karena itu harus dihukum.
Cara itu dilakukan, karena nikotin yang secara alami terkandung di berbagai tanaman tidak dapat dipatenkan oleh industri farmasi. Yang bisa dipatenkan adalah senyawa nikotin imitatif atau yang disebut Nicotin Replacement Therapy (NRT).
Strategi itu dilakukan untuk merebut pasar nikotin dunia yang dikuasai perusahaan rokok. Pilihan ini bukan tanpa alasan. Besaran pasar nikotin terus berkembang dari sekitar puluhan triliun pada 1960-an sampai lebih Rp10.000 triliun pada 2018 (Euromonitor), atau setara lima kali lipat APBN Indonesia.
Sebagaimana penelitian Lambroso, dokter dan ilmuwan farmasi mengambil sampel pasien dari rumah sakit dan bukan dari publik. Di rumah sakit, semua pasien dipastikan sakit, seperti narapidana yang meringkuk di penjara yang dipastikan bersalah.
Prinsip periset “tak boleh bohong, tetapi boleh salah” secara prosedur mungkin diperhatikan. Tetapi, pilihan research based on hospital akan menghasilkan kesimpulan yang sangat berbeda dibanding research based on public. Simplifikasi riset telah ditempuh untuk tujuan politik dagang seperti yang digambarkan dengan indah oleh Wanda Hamilton dalam bukunya "Nicotin War" sebagai perang dagang (Insist, 2010).
Dari mana sikap itu berasal? Richard White dalam “Smoke Screens: The Truth about Tobacco” (2009) menggambarkan sikap anti-ilmiah kalangan dokter dan para peneliti industri farmasi sebagai pengaruh “Lalonde Effect”. Istilah ini merujuk pada statemen Menteri Kesehatan Kanada Marc Lalonde (1972-1977), yang menganjurkan agar semua hasil studi dibuat secara "jelas dan tegas", terlepas dari seberapa cacat sebuah studi dilakukan. "Menyadarkan orang-orang untuk berhenti merokok adalah hal baik bahkan jika sebuah studi salah dan melampaui validitas sains,” demikian pesan Lalonde seperti dikutip White.
Sebagai mantan pengacara yang paham pengaruh opini publik dalam pembentukan persepsi, sikap anti-ilmiah Lalonde memengaruhi materi kampanye anti-tembakau setelah itu. Sekecil apapun pengaruh asap tembakau terhadap penyakit, ia harus disimpulkan sebagai faktor yang sangat dominan. Demikian cara kerja Lalonde Effect.
Berbagai pandangan yang membantah hasil riset itu turut dipersekusi. Prof. Robert Nilsson, misalnya. Peneliti dari Universitas Stockholm, Swedia, itu mengatakan bahwa pengaruh asap rokok bagi perokok pasif tidak seberbahaya seperti yang digambarkan dokter.
Sejak itu, asap rokok ditempatkan sebagai objek riset paling penting bagi industri farmasi. Ribuan riset disusun dari yang secara metodologi meyakinkan sampai bahkan hanya kuis.
Riset pengaruh konsumsi rokok terhadap munculnya penyakit degeneratif (mematikan) dipilih sebagai kertas akademik untuk mendorong terbitnya regulasi. Melalui riset-riset itu, pengisap tembakau distigmatisasi sebagai pelaku kejahatan dan karena itu harus dihukum.
Cara itu dilakukan, karena nikotin yang secara alami terkandung di berbagai tanaman tidak dapat dipatenkan oleh industri farmasi. Yang bisa dipatenkan adalah senyawa nikotin imitatif atau yang disebut Nicotin Replacement Therapy (NRT).
Strategi itu dilakukan untuk merebut pasar nikotin dunia yang dikuasai perusahaan rokok. Pilihan ini bukan tanpa alasan. Besaran pasar nikotin terus berkembang dari sekitar puluhan triliun pada 1960-an sampai lebih Rp10.000 triliun pada 2018 (Euromonitor), atau setara lima kali lipat APBN Indonesia.
Sebagaimana penelitian Lambroso, dokter dan ilmuwan farmasi mengambil sampel pasien dari rumah sakit dan bukan dari publik. Di rumah sakit, semua pasien dipastikan sakit, seperti narapidana yang meringkuk di penjara yang dipastikan bersalah.
Prinsip periset “tak boleh bohong, tetapi boleh salah” secara prosedur mungkin diperhatikan. Tetapi, pilihan research based on hospital akan menghasilkan kesimpulan yang sangat berbeda dibanding research based on public. Simplifikasi riset telah ditempuh untuk tujuan politik dagang seperti yang digambarkan dengan indah oleh Wanda Hamilton dalam bukunya "Nicotin War" sebagai perang dagang (Insist, 2010).
Dari mana sikap itu berasal? Richard White dalam “Smoke Screens: The Truth about Tobacco” (2009) menggambarkan sikap anti-ilmiah kalangan dokter dan para peneliti industri farmasi sebagai pengaruh “Lalonde Effect”. Istilah ini merujuk pada statemen Menteri Kesehatan Kanada Marc Lalonde (1972-1977), yang menganjurkan agar semua hasil studi dibuat secara "jelas dan tegas", terlepas dari seberapa cacat sebuah studi dilakukan. "Menyadarkan orang-orang untuk berhenti merokok adalah hal baik bahkan jika sebuah studi salah dan melampaui validitas sains,” demikian pesan Lalonde seperti dikutip White.
Sebagai mantan pengacara yang paham pengaruh opini publik dalam pembentukan persepsi, sikap anti-ilmiah Lalonde memengaruhi materi kampanye anti-tembakau setelah itu. Sekecil apapun pengaruh asap tembakau terhadap penyakit, ia harus disimpulkan sebagai faktor yang sangat dominan. Demikian cara kerja Lalonde Effect.
Berbagai pandangan yang membantah hasil riset itu turut dipersekusi. Prof. Robert Nilsson, misalnya. Peneliti dari Universitas Stockholm, Swedia, itu mengatakan bahwa pengaruh asap rokok bagi perokok pasif tidak seberbahaya seperti yang digambarkan dokter.
tulis komentar anda