Stigma Kejahatan (Catatan Kecil Sejarah Persekusi terhadap Penjahat dan Kaum Perokok)
loading...
A
A
A
Hasan Aoni
Pendiri Omah Dongeng Marwah Kudus
STIGMA kejahatan telah disusun berabad-abad lalu oleh dokter dari ruang penjara dan rumah sakit. Di Italia pada akhir abad ke-19, jasad para penjahat diteliti oleh dokter ahli antropo-biologis Cesare Lombroso.
Hasilnya: orang dengan ciri bibir tebal, rambut keriting, hidung pesek, dagu lancip, tulang pipi keras dan wajah asimetris, memiliki tipe kejahatan tertentu yang membedakannya dengan yang lain. "Criminal is born not made," ujar Lambroso. Kejahatan adalah sifat yang dibawa sejak lahir. Benarkah?
Penelitian ini benar secara metodologis, tetapi cacat secara sampling dan humanik. Lambroso mengambil sampel jasad bekas narapidana yang telah divonis bersalah melakukan tindak kejahatan dan bukan sampel publik. Di Italia dan Prancis kala itu, budak asal Afrika banyak menghuni penjara yang lembab dan kejam.
Dengan perlakuan buruk dan hak hukum yang tak terjangkau, memungkinkan mereka tertinggi menghuni penjara. Wajar secara statistik lekuk wajah yang diteliti Lambroso mirip dengan mereka.
Kesimpulan itu selain rasialis sekaligus meniadakan sifat kejahatan suku dan bangsa lain dan karena itu bertentangan secara humanik. Bagaimana mungkin seseorang dipersekusi lebih jahat dari yang lain hanya karena berbeda bentuk wajah?
Meski kontroversial, Lambroso dianggap peletak dasar mazhab positifistik dalam kajian kriminologi dan dinobatkan sebagai bapak ilmu kriminologi setelah itu. Ia dalam riset yang dirilis tahun 1876 mengadopsi metode Comte dan Darwin, yang membuat hasil riset tersebut memenuhi kaidah ilmiah. Tetapi, ilmiah secara metodologis saja tak cukup jika dalam pemilihan sampel sudah mengandung banyak kelemahan.
37 tahun kemudian Charles Goring mematahkan pendapat Lambroso dari balik penjara di Inggris. Ia meneliti ratusan narapidana dengan varian suku dan bangsa yang lebih beragam. Goring menyimpulkan, tidak ada hubungan antara kejahatan dengan lekuk wajah manusia seperti dituangkan dalam bukunya "The English Convict: Studi Statistik" (1913).
Demikian persekusi terhadap tembakau dan perokok. Lebih dari 50 tahun lalu sejak ilmuwan perusahaan Pharmacia di Swedia mengembangkan produk pengganti nikotin pada 1962, berbagai rencana riset untuk membangun opini kejahatan perokok dan industri tembakau mulai disusun. Surgeon General (ahli bedah umum) Amerika bahkan sampai mengeluarkan laporan bahaya asap rokok bagi kesehatan dua tahun setelah itu.
Sejak itu, asap rokok ditempatkan sebagai objek riset paling penting bagi industri farmasi. Ribuan riset disusun dari yang secara metodologi meyakinkan sampai bahkan hanya kuis.
Riset pengaruh konsumsi rokok terhadap munculnya penyakit degeneratif (mematikan) dipilih sebagai kertas akademik untuk mendorong terbitnya regulasi. Melalui riset-riset itu, pengisap tembakau distigmatisasi sebagai pelaku kejahatan dan karena itu harus dihukum.
Cara itu dilakukan, karena nikotin yang secara alami terkandung di berbagai tanaman tidak dapat dipatenkan oleh industri farmasi. Yang bisa dipatenkan adalah senyawa nikotin imitatif atau yang disebut Nicotin Replacement Therapy (NRT).
Strategi itu dilakukan untuk merebut pasar nikotin dunia yang dikuasai perusahaan rokok. Pilihan ini bukan tanpa alasan. Besaran pasar nikotin terus berkembang dari sekitar puluhan triliun pada 1960-an sampai lebih Rp10.000 triliun pada 2018 (Euromonitor), atau setara lima kali lipat APBN Indonesia.
Sebagaimana penelitian Lambroso, dokter dan ilmuwan farmasi mengambil sampel pasien dari rumah sakit dan bukan dari publik. Di rumah sakit, semua pasien dipastikan sakit, seperti narapidana yang meringkuk di penjara yang dipastikan bersalah.
Prinsip periset “tak boleh bohong, tetapi boleh salah” secara prosedur mungkin diperhatikan. Tetapi, pilihan research based on hospital akan menghasilkan kesimpulan yang sangat berbeda dibanding research based on public. Simplifikasi riset telah ditempuh untuk tujuan politik dagang seperti yang digambarkan dengan indah oleh Wanda Hamilton dalam bukunya "Nicotin War" sebagai perang dagang (Insist, 2010).
Dari mana sikap itu berasal? Richard White dalam “Smoke Screens: The Truth about Tobacco” (2009) menggambarkan sikap anti-ilmiah kalangan dokter dan para peneliti industri farmasi sebagai pengaruh “Lalonde Effect”. Istilah ini merujuk pada statemen Menteri Kesehatan Kanada Marc Lalonde (1972-1977), yang menganjurkan agar semua hasil studi dibuat secara "jelas dan tegas", terlepas dari seberapa cacat sebuah studi dilakukan. "Menyadarkan orang-orang untuk berhenti merokok adalah hal baik bahkan jika sebuah studi salah dan melampaui validitas sains,” demikian pesan Lalonde seperti dikutip White.
Sebagai mantan pengacara yang paham pengaruh opini publik dalam pembentukan persepsi, sikap anti-ilmiah Lalonde memengaruhi materi kampanye anti-tembakau setelah itu. Sekecil apapun pengaruh asap tembakau terhadap penyakit, ia harus disimpulkan sebagai faktor yang sangat dominan. Demikian cara kerja Lalonde Effect.
Berbagai pandangan yang membantah hasil riset itu turut dipersekusi. Prof. Robert Nilsson, misalnya. Peneliti dari Universitas Stockholm, Swedia, itu mengatakan bahwa pengaruh asap rokok bagi perokok pasif tidak seberbahaya seperti yang digambarkan dokter.
Ia hanya setara dengan perokok yang mengonsumsi seminggu satu batang dalam setahun. Tetapi, hasil riset itu diabaikan dan dipersekusi sebagai bersekongkol dengan industri tembakau.
Oleh kepentingan bisnis maupun politik, stigma kejahatan dalam dunia riset telah ditempuh secara jauh dan mereduksi prinsip-prinsip kebenaran. Demikian halnya yang terjadi dalam dunia pengobatan modern. Terdapat tren yang menyamakan statistik dengan sains dan kemajuan prosedur kuantitatif dengan kesempurnaan riset. Yang besar secara statistik akan dianggap benar secara prinsip.
Jika hasil riset itu secara terus-menerus disampaikan kepada publik dan dilakukan oleh lembaga yang berwenang, ia akan dianggap sebagai kebenaran. Kebenaran yang delutif dan setereotip. Stigma kejahatan terhadap narapidana dan perokok berlangsung dalam skema ini.
Sebagai delusi, ia hanya bisa efektif jika dilakukan dengan pendekatan paksa, baik melalui jalan politik atau uang. Seperti Hitler yang berhasil melarang warganya merokok dan menghukum berat tentara Nazi yang ketahuan merokok.
Publik terkecoh, karena Hitler sesungguhnya sedang menggelorakan kebencian rakyatnya terhadap musuh abadinya Amerika. Ia melakukannya dengan memerolok suku asli Amerika Indian, yang menciptakan rokok, sebagai: "Kemurkaan orang kulit merah terhadap orang kulit putih sebagai balas dendam karena telah diberi minuman keras". Untuk kepentingan politik tersebut, ia bahkan sampai harus menghentikan kebiasaan merokok 40 batang sehari.
Stigma kejahatan akan terus dilakukan oleh kekuatan politik dan uang sepanjang terdapat kue di pusaran isu tersebut. Ia akan disematkan kepada siapapun bahkan jika harus ditempuh dengan mereduksi kebenaran.
Pendiri Omah Dongeng Marwah Kudus
STIGMA kejahatan telah disusun berabad-abad lalu oleh dokter dari ruang penjara dan rumah sakit. Di Italia pada akhir abad ke-19, jasad para penjahat diteliti oleh dokter ahli antropo-biologis Cesare Lombroso.
Hasilnya: orang dengan ciri bibir tebal, rambut keriting, hidung pesek, dagu lancip, tulang pipi keras dan wajah asimetris, memiliki tipe kejahatan tertentu yang membedakannya dengan yang lain. "Criminal is born not made," ujar Lambroso. Kejahatan adalah sifat yang dibawa sejak lahir. Benarkah?
Penelitian ini benar secara metodologis, tetapi cacat secara sampling dan humanik. Lambroso mengambil sampel jasad bekas narapidana yang telah divonis bersalah melakukan tindak kejahatan dan bukan sampel publik. Di Italia dan Prancis kala itu, budak asal Afrika banyak menghuni penjara yang lembab dan kejam.
Dengan perlakuan buruk dan hak hukum yang tak terjangkau, memungkinkan mereka tertinggi menghuni penjara. Wajar secara statistik lekuk wajah yang diteliti Lambroso mirip dengan mereka.
Kesimpulan itu selain rasialis sekaligus meniadakan sifat kejahatan suku dan bangsa lain dan karena itu bertentangan secara humanik. Bagaimana mungkin seseorang dipersekusi lebih jahat dari yang lain hanya karena berbeda bentuk wajah?
Meski kontroversial, Lambroso dianggap peletak dasar mazhab positifistik dalam kajian kriminologi dan dinobatkan sebagai bapak ilmu kriminologi setelah itu. Ia dalam riset yang dirilis tahun 1876 mengadopsi metode Comte dan Darwin, yang membuat hasil riset tersebut memenuhi kaidah ilmiah. Tetapi, ilmiah secara metodologis saja tak cukup jika dalam pemilihan sampel sudah mengandung banyak kelemahan.
37 tahun kemudian Charles Goring mematahkan pendapat Lambroso dari balik penjara di Inggris. Ia meneliti ratusan narapidana dengan varian suku dan bangsa yang lebih beragam. Goring menyimpulkan, tidak ada hubungan antara kejahatan dengan lekuk wajah manusia seperti dituangkan dalam bukunya "The English Convict: Studi Statistik" (1913).
Demikian persekusi terhadap tembakau dan perokok. Lebih dari 50 tahun lalu sejak ilmuwan perusahaan Pharmacia di Swedia mengembangkan produk pengganti nikotin pada 1962, berbagai rencana riset untuk membangun opini kejahatan perokok dan industri tembakau mulai disusun. Surgeon General (ahli bedah umum) Amerika bahkan sampai mengeluarkan laporan bahaya asap rokok bagi kesehatan dua tahun setelah itu.
Sejak itu, asap rokok ditempatkan sebagai objek riset paling penting bagi industri farmasi. Ribuan riset disusun dari yang secara metodologi meyakinkan sampai bahkan hanya kuis.
Riset pengaruh konsumsi rokok terhadap munculnya penyakit degeneratif (mematikan) dipilih sebagai kertas akademik untuk mendorong terbitnya regulasi. Melalui riset-riset itu, pengisap tembakau distigmatisasi sebagai pelaku kejahatan dan karena itu harus dihukum.
Cara itu dilakukan, karena nikotin yang secara alami terkandung di berbagai tanaman tidak dapat dipatenkan oleh industri farmasi. Yang bisa dipatenkan adalah senyawa nikotin imitatif atau yang disebut Nicotin Replacement Therapy (NRT).
Strategi itu dilakukan untuk merebut pasar nikotin dunia yang dikuasai perusahaan rokok. Pilihan ini bukan tanpa alasan. Besaran pasar nikotin terus berkembang dari sekitar puluhan triliun pada 1960-an sampai lebih Rp10.000 triliun pada 2018 (Euromonitor), atau setara lima kali lipat APBN Indonesia.
Sebagaimana penelitian Lambroso, dokter dan ilmuwan farmasi mengambil sampel pasien dari rumah sakit dan bukan dari publik. Di rumah sakit, semua pasien dipastikan sakit, seperti narapidana yang meringkuk di penjara yang dipastikan bersalah.
Prinsip periset “tak boleh bohong, tetapi boleh salah” secara prosedur mungkin diperhatikan. Tetapi, pilihan research based on hospital akan menghasilkan kesimpulan yang sangat berbeda dibanding research based on public. Simplifikasi riset telah ditempuh untuk tujuan politik dagang seperti yang digambarkan dengan indah oleh Wanda Hamilton dalam bukunya "Nicotin War" sebagai perang dagang (Insist, 2010).
Dari mana sikap itu berasal? Richard White dalam “Smoke Screens: The Truth about Tobacco” (2009) menggambarkan sikap anti-ilmiah kalangan dokter dan para peneliti industri farmasi sebagai pengaruh “Lalonde Effect”. Istilah ini merujuk pada statemen Menteri Kesehatan Kanada Marc Lalonde (1972-1977), yang menganjurkan agar semua hasil studi dibuat secara "jelas dan tegas", terlepas dari seberapa cacat sebuah studi dilakukan. "Menyadarkan orang-orang untuk berhenti merokok adalah hal baik bahkan jika sebuah studi salah dan melampaui validitas sains,” demikian pesan Lalonde seperti dikutip White.
Sebagai mantan pengacara yang paham pengaruh opini publik dalam pembentukan persepsi, sikap anti-ilmiah Lalonde memengaruhi materi kampanye anti-tembakau setelah itu. Sekecil apapun pengaruh asap tembakau terhadap penyakit, ia harus disimpulkan sebagai faktor yang sangat dominan. Demikian cara kerja Lalonde Effect.
Berbagai pandangan yang membantah hasil riset itu turut dipersekusi. Prof. Robert Nilsson, misalnya. Peneliti dari Universitas Stockholm, Swedia, itu mengatakan bahwa pengaruh asap rokok bagi perokok pasif tidak seberbahaya seperti yang digambarkan dokter.
Ia hanya setara dengan perokok yang mengonsumsi seminggu satu batang dalam setahun. Tetapi, hasil riset itu diabaikan dan dipersekusi sebagai bersekongkol dengan industri tembakau.
Oleh kepentingan bisnis maupun politik, stigma kejahatan dalam dunia riset telah ditempuh secara jauh dan mereduksi prinsip-prinsip kebenaran. Demikian halnya yang terjadi dalam dunia pengobatan modern. Terdapat tren yang menyamakan statistik dengan sains dan kemajuan prosedur kuantitatif dengan kesempurnaan riset. Yang besar secara statistik akan dianggap benar secara prinsip.
Jika hasil riset itu secara terus-menerus disampaikan kepada publik dan dilakukan oleh lembaga yang berwenang, ia akan dianggap sebagai kebenaran. Kebenaran yang delutif dan setereotip. Stigma kejahatan terhadap narapidana dan perokok berlangsung dalam skema ini.
Sebagai delusi, ia hanya bisa efektif jika dilakukan dengan pendekatan paksa, baik melalui jalan politik atau uang. Seperti Hitler yang berhasil melarang warganya merokok dan menghukum berat tentara Nazi yang ketahuan merokok.
Publik terkecoh, karena Hitler sesungguhnya sedang menggelorakan kebencian rakyatnya terhadap musuh abadinya Amerika. Ia melakukannya dengan memerolok suku asli Amerika Indian, yang menciptakan rokok, sebagai: "Kemurkaan orang kulit merah terhadap orang kulit putih sebagai balas dendam karena telah diberi minuman keras". Untuk kepentingan politik tersebut, ia bahkan sampai harus menghentikan kebiasaan merokok 40 batang sehari.
Stigma kejahatan akan terus dilakukan oleh kekuatan politik dan uang sepanjang terdapat kue di pusaran isu tersebut. Ia akan disematkan kepada siapapun bahkan jika harus ditempuh dengan mereduksi kebenaran.
(poe)