Waspadai Varian Baru Covid-19
Rabu, 17 Maret 2021 - 06:17 WIB
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, mencatat bahwa Covid-19 sejak empat bulan pertama sudah ada tiga varian baru di Wuhan, China. Mutasi selanjutnya ada di Inggris B117, Afrika Selatan 501Y.V2, terakhir varian N439K asal Skotlandia. Namun, menurut dia, perlu kajian lebih lanjut lagi, apakah mutasi itu terjadi di Indonesia atau dari luar.
Dia menjelaskan, mutasi N439K itu mutasinya berada pada sifat genotipe terhadap reseptor ACE 2 (Angiotensin converting enzyme 2) atau enzim yang menempel pada permukaan luar sel-sel di beberapa organ. Hal itulah yang membuat mudah menular. Kelebihan dari N439K lebih mudah menghindar dari antibodi atau tahan terhadap antibodi yang diciptakan sebelum varian ini bermutasi.
"Untuk fenotipe belum terbukti, saya menganjurkan untuk melakukan investigasi kasus dan penelitian sesudah menemukan tempat dimana ada virus yang bermutasi. Kemudian orang telah menjalani vaksinasi lalu masih terinfeksi itu perlu dikumpulkan untuk diteliti apakah itu varian baru," katanya.
Tri Yunis menambahkan, genotipe dari gen akan timbul sifatnya, sifat itu berubah dari aslinya itulah yang dinamakan bermutasi menjadi varian baru. Berapapun sifat yang berubah tetap kan menjadi varian baru. Untuk varian N439K itu terdapat dua sifat perbedaan yakni pada penularan dan sifat penghindaran dari antibodi. Untuk varian B117 satu sifat perbedaannya yakni penularannya.
Penjelasan lebih lanjut mengenai sifat gen, seperti manusia memiliki dua sifat gen yang diturunkan dari ibu bapak. Misalnya warna kulit ibu bapak hitam berarti seseorang tersebut memiliki gen kulit hitam. Tetapi jika hanya ibu yang berkulit putih. Berarti orang tersebut memiliki gen putih tapi nanti apakah kita berkulit putih atau tidak tergantung fenotipe .
"Fenotipe itu yang belum dibaca dari varian virus baru ini. Oleh karena itu saya menganjurkan untuk melakukan studi pada mereka yang terinfeksi dua kali, apakah itu varian baru. Juga pada orang yang setelah divaksinasi di tempat dimana varian ini ditemukan, kalau dia terinfeksi apakah itu varian tersebut," katanya.
Lebih lanjut dijelaskan, berdasar penelitian, jika sudah melakukan vaksinasi memang kemungkinan kebal 65%, sisanya kemungkinan orang tidak memiliki kekebalan.
’’Jadi perlu diteliti orang-orang yang sudah selesai divaksin tetapi antibodi masih kurang, dapat disebabkan karena antibodinya yang kurang atau karena varian baru virus tersebut,’’ ujar Tri.
Dia menjelaskan, mutasi N439K itu mutasinya berada pada sifat genotipe terhadap reseptor ACE 2 (Angiotensin converting enzyme 2) atau enzim yang menempel pada permukaan luar sel-sel di beberapa organ. Hal itulah yang membuat mudah menular. Kelebihan dari N439K lebih mudah menghindar dari antibodi atau tahan terhadap antibodi yang diciptakan sebelum varian ini bermutasi.
"Untuk fenotipe belum terbukti, saya menganjurkan untuk melakukan investigasi kasus dan penelitian sesudah menemukan tempat dimana ada virus yang bermutasi. Kemudian orang telah menjalani vaksinasi lalu masih terinfeksi itu perlu dikumpulkan untuk diteliti apakah itu varian baru," katanya.
Tri Yunis menambahkan, genotipe dari gen akan timbul sifatnya, sifat itu berubah dari aslinya itulah yang dinamakan bermutasi menjadi varian baru. Berapapun sifat yang berubah tetap kan menjadi varian baru. Untuk varian N439K itu terdapat dua sifat perbedaan yakni pada penularan dan sifat penghindaran dari antibodi. Untuk varian B117 satu sifat perbedaannya yakni penularannya.
Penjelasan lebih lanjut mengenai sifat gen, seperti manusia memiliki dua sifat gen yang diturunkan dari ibu bapak. Misalnya warna kulit ibu bapak hitam berarti seseorang tersebut memiliki gen kulit hitam. Tetapi jika hanya ibu yang berkulit putih. Berarti orang tersebut memiliki gen putih tapi nanti apakah kita berkulit putih atau tidak tergantung fenotipe .
"Fenotipe itu yang belum dibaca dari varian virus baru ini. Oleh karena itu saya menganjurkan untuk melakukan studi pada mereka yang terinfeksi dua kali, apakah itu varian baru. Juga pada orang yang setelah divaksinasi di tempat dimana varian ini ditemukan, kalau dia terinfeksi apakah itu varian tersebut," katanya.
Lebih lanjut dijelaskan, berdasar penelitian, jika sudah melakukan vaksinasi memang kemungkinan kebal 65%, sisanya kemungkinan orang tidak memiliki kekebalan.
’’Jadi perlu diteliti orang-orang yang sudah selesai divaksin tetapi antibodi masih kurang, dapat disebabkan karena antibodinya yang kurang atau karena varian baru virus tersebut,’’ ujar Tri.
Lihat Juga :
tulis komentar anda