Waspadai Varian Baru Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kewaspadaan terhadap munculnya varian baru virus Covid-19 multak diperlukan. Hal ini perlu menjadi kesadaran semua pihak karena virus yang menyebabkan pandemi global lebih dari setahun tersebut terus bermutasi. Saat ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menemukan dan menelusuri sejumlah varian baru virus korona antara lain B117, N439K, P1, termasuk B1351.
Varian B117 pertama kali ditemukan di Inggris ini. Virus ini disebut mudah menular dan berisiko lebih mematikan. Adapun N439K adalah varian yang pertama kali ditemukan di Skotlandia dan terungkap lebih pintar dibandingkan varian-varian sebelumnya karena lebih mudah menular serta bisa lolos atau kebal antibodi paska vaksinasi Covid-19.
Di Indonesia, saat ini baru B117 dan N439K yang sudah ditemukan. Bahkan N439K sudah masuk sejak November 2020. Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menyebut, sudah ada 48 kasus yang ditemukan dari 547 sampel yang disequens dan dikirimkan ke Bank Data Global Initiative on Sharing All Influenza Data, Gisaid.
Secara spesifik, mutasi B117 sudah ditemukan tujuh kasus. Dua kasus pertama dilaporkan menimpa warga Karawang, Jawa Barat yang baru pulang dari Arab Saudi. Empat lainnya di Palembang, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Balikpapan, Kalimantan Timur dan Medan, Sumatera Utara.
Teranyar, menimpa warga Kota Bogor, Jawa Barat. Warga tersebut diketahui baru melakukan perjalanan dari luar negeri.
Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia, (IDI) ZubairI Zoerban membenarkan virus ini dapat bermutasi dan menyebar lebih cepat dari mutasi sebelumnya. Dia berharap vaksin yang digunakan di Indonesia dapat menangkal virus Covid-19 varian B117.
"Covid-19 ini memang seperti juga virus lain yang kemudian ditakutkan adalah menjadi lebih mudah menyebar lalu menjadi tidak mempan terhadap obat tidak mempan sehingga tidak bisa dilindungi dengan vaksin yang sudah ada," ungkapnya.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, mencatat bahwa Covid-19 sejak empat bulan pertama sudah ada tiga varian baru di Wuhan, China. Mutasi selanjutnya ada di Inggris B117, Afrika Selatan 501Y.V2, terakhir varian N439K asal Skotlandia. Namun, menurut dia, perlu kajian lebih lanjut lagi, apakah mutasi itu terjadi di Indonesia atau dari luar.
Dia menjelaskan, mutasi N439K itu mutasinya berada pada sifat genotipe terhadap reseptor ACE 2 (Angiotensin converting enzyme 2) atau enzim yang menempel pada permukaan luar sel-sel di beberapa organ. Hal itulah yang membuat mudah menular. Kelebihan dari N439K lebih mudah menghindar dari antibodi atau tahan terhadap antibodi yang diciptakan sebelum varian ini bermutasi.
"Untuk fenotipe belum terbukti, saya menganjurkan untuk melakukan investigasi kasus dan penelitian sesudah menemukan tempat dimana ada virus yang bermutasi. Kemudian orang telah menjalani vaksinasi lalu masih terinfeksi itu perlu dikumpulkan untuk diteliti apakah itu varian baru," katanya.
Tri Yunis menambahkan, genotipe dari gen akan timbul sifatnya, sifat itu berubah dari aslinya itulah yang dinamakan bermutasi menjadi varian baru. Berapapun sifat yang berubah tetap kan menjadi varian baru. Untuk varian N439K itu terdapat dua sifat perbedaan yakni pada penularan dan sifat penghindaran dari antibodi. Untuk varian B117 satu sifat perbedaannya yakni penularannya.
Penjelasan lebih lanjut mengenai sifat gen, seperti manusia memiliki dua sifat gen yang diturunkan dari ibu bapak. Misalnya warna kulit ibu bapak hitam berarti seseorang tersebut memiliki gen kulit hitam. Tetapi jika hanya ibu yang berkulit putih. Berarti orang tersebut memiliki gen putih tapi nanti apakah kita berkulit putih atau tidak tergantung fenotipe .
"Fenotipe itu yang belum dibaca dari varian virus baru ini. Oleh karena itu saya menganjurkan untuk melakukan studi pada mereka yang terinfeksi dua kali, apakah itu varian baru. Juga pada orang yang setelah divaksinasi di tempat dimana varian ini ditemukan, kalau dia terinfeksi apakah itu varian tersebut," katanya.
Lebih lanjut dijelaskan, berdasar penelitian, jika sudah melakukan vaksinasi memang kemungkinan kebal 65%, sisanya kemungkinan orang tidak memiliki kekebalan.
’’Jadi perlu diteliti orang-orang yang sudah selesai divaksin tetapi antibodi masih kurang, dapat disebabkan karena antibodinya yang kurang atau karena varian baru virus tersebut,’’ ujar Tri.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, penemuan varian baru Covid-19 terus dipantau Badan Kesehatan Dunia (WHO). Berdasar data Kemenkes, Covid-19 memang selalu bermutasi, sejak Februari sudah ditemukan mutasi B614. WHO sudah menentukan ada tiga virus yang menjadi perhatian jika terjadi mutasi B117, B1351 dan N493K.
"Untuk N493K ini, baru satu jurnal yang mengatakan. Dan ini berdasarkan uji atau pengamatan di laboratorium. Berbeda dengan B117 yang disampaikan Inggris karena melihat bahwa di daerah Inggris Timur memang tiba tiba terjadi peningkatan kasus," ucapnya.
Nadia lantas menuturkan, jika ditemukan kasus yang berbeda di suatu daerah, wajib untuk dicurigai. Sebab, sebenarnya itu tanda kemungkinan mutasi virus sudah terjadi di daerah tersebut. Kemenkes kini sedang memonitoring kita sebut sebagai surveying generic virus.
Ketika ada mutasi virus, lanjut dia, Kemenkes fokus untuk empat hal. Pertama apakah tes yang sudah dimiliki Indonesia masih dapat mendeteksi adanya virus ini seperti tes antigen atau PCR. Kedua, apakah virus ini cepat menular berbeda dengan varian virus lainnya juga soal kemungkinan semakin parah atau justru lebih ringan.
"Mutasi virus ini tidak selalu jelek, bisa saja mutasi virus itu sifatnya membuat penyakit kita menjadi lebih ringan. Itu bisa terjadi dan pernah terjadi pada wabah influenza yang sudah terjadi dulu. Virus bermutasi akhirnya menjadi flu Spanyol musiman biasa," jelas Nadia. Terakhir, harus diperhatikan apakah mutasi ini mempengaruhi vaksin atau tidak.
Kemenkes masih menunggu arahan WHO mengenai N493K dan masih erus mendeteksi dan melaporkan jenis jenis mutasi yang terjadi. Begitu juga dengan vaksin, Kemenkes mengikuti rekomendasi global sebab vaksin digunakan juga di negara lain.
"Kita lebih melihat pola yang terjadi dalam masyarakat, ada tidak dalam suatu daerah yang tadinya hanya 1-2 orang yang sakit tidak lama langsung ratusan seperti pola pola penyakit menular," lanjutnya.
Seperti halnya demam berdarah yang sering terjadi mengejutkan dalam sebuah daerah banyak memakan korban dalam waktu singkat. Untuk yang seperti itu, harus dicari dari polanya. Kalau sudah diluar dari biasa itu yang harus dicurigai.
Seperti di Inggris karena adanya orang yang terinfeksi dari sampel yang positif kemudian dilakukan pemeriksaan genetiknya kemudian ditemukan adanya mutasi virus. Mutasi inilah yang kemudian diduga menjadi penyebab kenapa daerah tersebut tiba tiba terjadi peningkatan kasus secara tiba-tiba, orang cepat sakit berbeda dari pola seperti biasa.
Di Indonesia belum ada laporan daerah yang mengalami pola berbeda dari biasa. Belum ada kecurigaan, sebenarnya bisa juga dilihat di rumah sakit di daerah- daerah yang biasanya sembuh diberi obat tertentu kemudian pengobatan biasa mereka malah semakin parah. Pola seperti itu yang harus dilihat dari mutasi virus.
Juru Bicara Vaksinasi Kemenkes itu lantas menuturkan bahwa proses mutasi merupakan hal yang biasa dilakukan virus karena karakteristiknya yang berkembang dengan cara menginfeksi. Akan tetapi tidak semua mutasi itu perlu menjadi perhatian khusus atau berdampak menyebabkan suatu penyakit bertambah parah.
“Ini nature atau karakteristik virus untuk melakukan mutasi dengan cara menginfeksi. Karena tidak semua mutasi itu (berdampak) jelek. Bisa aja dia bermutasi, akhirnya virus menjadi tidak lebih menular atau makin lemah. Kalau yang baru, kita ketahui ditemukan dari hasil uji di laboratorium bahwa virus tersebut kemungkinan lebih pintar, bisa mengelabui antibodi untuk mengenalnya. Tapi belum menjadi perhatian khusus dari WHO,” lanjut dia.
Di sisi lain, Nadia menyatakan adanya berbagai varian virus Covid-19 tidak berpengaruh terhadap vaksin yang sudah diproduksi dan digunakan. Menurutnya, sejauh ini belum ada temuan terkait mutasi virus terhadap efikasi vaksin.
“Masih efektif. Belum ada bukti yang menyatakan bahwa vaksin yang sekarang sudah tidak bisa digunakan untuk mengenali virus Covid-19, termasuk variannya. Vaksin merespon berbagai macam antibodi atau protein, bukan hanya satu protein. Sementara, mutasi N439K ini terjadi pada single protein, bukan multiple protein.,” tegasnya.
Dia meminta masyarakat tidak panik terhadap kabar varian virus Covid-19 yang mulai merebak. Sebaliknya, Nadia terus menekankan untuk tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan 5M yakni memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan membatasi mobilitas. Selain testing, tracing dan treatment (3T), protokol kesehatan menjadi cara paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan virus Covid-19.
“Makin tinggi mobilitas orang maka risiko terjadi penularan itu semakin tinggi. Protokol kesehatan harus wajib. Yang berubah itu, di pintu masuk negara harus diperkuat untuk mencegah penyebaran virus,” pesannya.
Nadia juga mendorong pemerintah tetap mewaspadai penyebaran mutasi virus corona tersebut. Salah satunya yaitu memperkuat pemeriksaan atau skrining di pintu masuk kedatangan orang di bandar udara (bandara), pelabuhan, stasiun, dan lainnya.
“Sejak awal pandemi, WHO bersama GISAID (Global Initiative on Sharing All Influenza Data) meminta semua negara untuk memonitor perkembangan mutasi virus Covid-19. Di Indonesia, semua orang harus bawa hasil tes PCR negatif, kemudian diperiksa ulang. Kalaupun negatif, tetap harus isolasi atau karantina selama 5 hari. Jadi mereka tidak bisa langsung berkumpul bersama keluarga,” tukas dia.
Untuk diketahui, kasus aktif Covid-19 di Indonesia menunjukkan tren penurunan sejak Ferbuari 2021, dan merupakan dampak dari Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat PPKM Jawa - Bali dan dilanjutkan PPKM Mikro tingkat desa dan kelurahan. Perkembangan baik di Indonesia ini sejalan dengan perkembangan kasus aktif tingkat dunia.
Pada tingkat dunia, perkembangan kasus aktif terlihat sejalan dengan Indonesia. Dimana pergerakan grafiknya cenderung terus meningkat sejak awal hingga Oktober 2020. Lalu, trennya meningkat secara signifikan dan tajam hingga Februari 2021. Dan ini seiring meningkatnya kasus aktif pada negara-negara terbanyak menyumbang kasus aktif dunia diantaranya Amerika Serikat, Rusia, Inggris dan Perancis. Selanjutnya kasus aktif dunia terus menurun hingga hari ini.
"Perlu diingat, penurunan kasus aktif di Indonesia yang cukup signifikan ini juga berkontribusi terhadap penurunan kasus aktif di dunia," Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito memberi keterangan pers perkembangan penanganan Covid-19 di Graha BNPB, Selasa (9/3/2021) yang juga disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Dengan menurunnya kasus aktif baik di tingkat dunia dan Indonesia, diharapkan menjadi awal yang baik bagi perkembangan kedepannya. Kasus aktif diharapkan dapat terus ditekan hingga secara signifikan berkontribusi menekan kasus aktif tingkat dunia.
Untuk itu Wiku mengajak semua pihak untuk bahu membahu dalam menurunkan kasus aktif di Indonesia. "Upaya menurunkan kasus aktif di Indonesia ini merupakan bagian dari kontribusi Indonesia terhadap penurunan kasus aktif dunia," pungkas Wiku.
Varian B117 pertama kali ditemukan di Inggris ini. Virus ini disebut mudah menular dan berisiko lebih mematikan. Adapun N439K adalah varian yang pertama kali ditemukan di Skotlandia dan terungkap lebih pintar dibandingkan varian-varian sebelumnya karena lebih mudah menular serta bisa lolos atau kebal antibodi paska vaksinasi Covid-19.
Di Indonesia, saat ini baru B117 dan N439K yang sudah ditemukan. Bahkan N439K sudah masuk sejak November 2020. Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menyebut, sudah ada 48 kasus yang ditemukan dari 547 sampel yang disequens dan dikirimkan ke Bank Data Global Initiative on Sharing All Influenza Data, Gisaid.
Secara spesifik, mutasi B117 sudah ditemukan tujuh kasus. Dua kasus pertama dilaporkan menimpa warga Karawang, Jawa Barat yang baru pulang dari Arab Saudi. Empat lainnya di Palembang, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Balikpapan, Kalimantan Timur dan Medan, Sumatera Utara.
Teranyar, menimpa warga Kota Bogor, Jawa Barat. Warga tersebut diketahui baru melakukan perjalanan dari luar negeri.
Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia, (IDI) ZubairI Zoerban membenarkan virus ini dapat bermutasi dan menyebar lebih cepat dari mutasi sebelumnya. Dia berharap vaksin yang digunakan di Indonesia dapat menangkal virus Covid-19 varian B117.
"Covid-19 ini memang seperti juga virus lain yang kemudian ditakutkan adalah menjadi lebih mudah menyebar lalu menjadi tidak mempan terhadap obat tidak mempan sehingga tidak bisa dilindungi dengan vaksin yang sudah ada," ungkapnya.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, mencatat bahwa Covid-19 sejak empat bulan pertama sudah ada tiga varian baru di Wuhan, China. Mutasi selanjutnya ada di Inggris B117, Afrika Selatan 501Y.V2, terakhir varian N439K asal Skotlandia. Namun, menurut dia, perlu kajian lebih lanjut lagi, apakah mutasi itu terjadi di Indonesia atau dari luar.
Dia menjelaskan, mutasi N439K itu mutasinya berada pada sifat genotipe terhadap reseptor ACE 2 (Angiotensin converting enzyme 2) atau enzim yang menempel pada permukaan luar sel-sel di beberapa organ. Hal itulah yang membuat mudah menular. Kelebihan dari N439K lebih mudah menghindar dari antibodi atau tahan terhadap antibodi yang diciptakan sebelum varian ini bermutasi.
"Untuk fenotipe belum terbukti, saya menganjurkan untuk melakukan investigasi kasus dan penelitian sesudah menemukan tempat dimana ada virus yang bermutasi. Kemudian orang telah menjalani vaksinasi lalu masih terinfeksi itu perlu dikumpulkan untuk diteliti apakah itu varian baru," katanya.
Tri Yunis menambahkan, genotipe dari gen akan timbul sifatnya, sifat itu berubah dari aslinya itulah yang dinamakan bermutasi menjadi varian baru. Berapapun sifat yang berubah tetap kan menjadi varian baru. Untuk varian N439K itu terdapat dua sifat perbedaan yakni pada penularan dan sifat penghindaran dari antibodi. Untuk varian B117 satu sifat perbedaannya yakni penularannya.
Penjelasan lebih lanjut mengenai sifat gen, seperti manusia memiliki dua sifat gen yang diturunkan dari ibu bapak. Misalnya warna kulit ibu bapak hitam berarti seseorang tersebut memiliki gen kulit hitam. Tetapi jika hanya ibu yang berkulit putih. Berarti orang tersebut memiliki gen putih tapi nanti apakah kita berkulit putih atau tidak tergantung fenotipe .
"Fenotipe itu yang belum dibaca dari varian virus baru ini. Oleh karena itu saya menganjurkan untuk melakukan studi pada mereka yang terinfeksi dua kali, apakah itu varian baru. Juga pada orang yang setelah divaksinasi di tempat dimana varian ini ditemukan, kalau dia terinfeksi apakah itu varian tersebut," katanya.
Lebih lanjut dijelaskan, berdasar penelitian, jika sudah melakukan vaksinasi memang kemungkinan kebal 65%, sisanya kemungkinan orang tidak memiliki kekebalan.
’’Jadi perlu diteliti orang-orang yang sudah selesai divaksin tetapi antibodi masih kurang, dapat disebabkan karena antibodinya yang kurang atau karena varian baru virus tersebut,’’ ujar Tri.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, penemuan varian baru Covid-19 terus dipantau Badan Kesehatan Dunia (WHO). Berdasar data Kemenkes, Covid-19 memang selalu bermutasi, sejak Februari sudah ditemukan mutasi B614. WHO sudah menentukan ada tiga virus yang menjadi perhatian jika terjadi mutasi B117, B1351 dan N493K.
"Untuk N493K ini, baru satu jurnal yang mengatakan. Dan ini berdasarkan uji atau pengamatan di laboratorium. Berbeda dengan B117 yang disampaikan Inggris karena melihat bahwa di daerah Inggris Timur memang tiba tiba terjadi peningkatan kasus," ucapnya.
Nadia lantas menuturkan, jika ditemukan kasus yang berbeda di suatu daerah, wajib untuk dicurigai. Sebab, sebenarnya itu tanda kemungkinan mutasi virus sudah terjadi di daerah tersebut. Kemenkes kini sedang memonitoring kita sebut sebagai surveying generic virus.
Ketika ada mutasi virus, lanjut dia, Kemenkes fokus untuk empat hal. Pertama apakah tes yang sudah dimiliki Indonesia masih dapat mendeteksi adanya virus ini seperti tes antigen atau PCR. Kedua, apakah virus ini cepat menular berbeda dengan varian virus lainnya juga soal kemungkinan semakin parah atau justru lebih ringan.
"Mutasi virus ini tidak selalu jelek, bisa saja mutasi virus itu sifatnya membuat penyakit kita menjadi lebih ringan. Itu bisa terjadi dan pernah terjadi pada wabah influenza yang sudah terjadi dulu. Virus bermutasi akhirnya menjadi flu Spanyol musiman biasa," jelas Nadia. Terakhir, harus diperhatikan apakah mutasi ini mempengaruhi vaksin atau tidak.
Kemenkes masih menunggu arahan WHO mengenai N493K dan masih erus mendeteksi dan melaporkan jenis jenis mutasi yang terjadi. Begitu juga dengan vaksin, Kemenkes mengikuti rekomendasi global sebab vaksin digunakan juga di negara lain.
"Kita lebih melihat pola yang terjadi dalam masyarakat, ada tidak dalam suatu daerah yang tadinya hanya 1-2 orang yang sakit tidak lama langsung ratusan seperti pola pola penyakit menular," lanjutnya.
Seperti halnya demam berdarah yang sering terjadi mengejutkan dalam sebuah daerah banyak memakan korban dalam waktu singkat. Untuk yang seperti itu, harus dicari dari polanya. Kalau sudah diluar dari biasa itu yang harus dicurigai.
Seperti di Inggris karena adanya orang yang terinfeksi dari sampel yang positif kemudian dilakukan pemeriksaan genetiknya kemudian ditemukan adanya mutasi virus. Mutasi inilah yang kemudian diduga menjadi penyebab kenapa daerah tersebut tiba tiba terjadi peningkatan kasus secara tiba-tiba, orang cepat sakit berbeda dari pola seperti biasa.
Di Indonesia belum ada laporan daerah yang mengalami pola berbeda dari biasa. Belum ada kecurigaan, sebenarnya bisa juga dilihat di rumah sakit di daerah- daerah yang biasanya sembuh diberi obat tertentu kemudian pengobatan biasa mereka malah semakin parah. Pola seperti itu yang harus dilihat dari mutasi virus.
Juru Bicara Vaksinasi Kemenkes itu lantas menuturkan bahwa proses mutasi merupakan hal yang biasa dilakukan virus karena karakteristiknya yang berkembang dengan cara menginfeksi. Akan tetapi tidak semua mutasi itu perlu menjadi perhatian khusus atau berdampak menyebabkan suatu penyakit bertambah parah.
“Ini nature atau karakteristik virus untuk melakukan mutasi dengan cara menginfeksi. Karena tidak semua mutasi itu (berdampak) jelek. Bisa aja dia bermutasi, akhirnya virus menjadi tidak lebih menular atau makin lemah. Kalau yang baru, kita ketahui ditemukan dari hasil uji di laboratorium bahwa virus tersebut kemungkinan lebih pintar, bisa mengelabui antibodi untuk mengenalnya. Tapi belum menjadi perhatian khusus dari WHO,” lanjut dia.
Di sisi lain, Nadia menyatakan adanya berbagai varian virus Covid-19 tidak berpengaruh terhadap vaksin yang sudah diproduksi dan digunakan. Menurutnya, sejauh ini belum ada temuan terkait mutasi virus terhadap efikasi vaksin.
“Masih efektif. Belum ada bukti yang menyatakan bahwa vaksin yang sekarang sudah tidak bisa digunakan untuk mengenali virus Covid-19, termasuk variannya. Vaksin merespon berbagai macam antibodi atau protein, bukan hanya satu protein. Sementara, mutasi N439K ini terjadi pada single protein, bukan multiple protein.,” tegasnya.
Dia meminta masyarakat tidak panik terhadap kabar varian virus Covid-19 yang mulai merebak. Sebaliknya, Nadia terus menekankan untuk tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan 5M yakni memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan membatasi mobilitas. Selain testing, tracing dan treatment (3T), protokol kesehatan menjadi cara paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan virus Covid-19.
“Makin tinggi mobilitas orang maka risiko terjadi penularan itu semakin tinggi. Protokol kesehatan harus wajib. Yang berubah itu, di pintu masuk negara harus diperkuat untuk mencegah penyebaran virus,” pesannya.
Nadia juga mendorong pemerintah tetap mewaspadai penyebaran mutasi virus corona tersebut. Salah satunya yaitu memperkuat pemeriksaan atau skrining di pintu masuk kedatangan orang di bandar udara (bandara), pelabuhan, stasiun, dan lainnya.
“Sejak awal pandemi, WHO bersama GISAID (Global Initiative on Sharing All Influenza Data) meminta semua negara untuk memonitor perkembangan mutasi virus Covid-19. Di Indonesia, semua orang harus bawa hasil tes PCR negatif, kemudian diperiksa ulang. Kalaupun negatif, tetap harus isolasi atau karantina selama 5 hari. Jadi mereka tidak bisa langsung berkumpul bersama keluarga,” tukas dia.
Untuk diketahui, kasus aktif Covid-19 di Indonesia menunjukkan tren penurunan sejak Ferbuari 2021, dan merupakan dampak dari Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat PPKM Jawa - Bali dan dilanjutkan PPKM Mikro tingkat desa dan kelurahan. Perkembangan baik di Indonesia ini sejalan dengan perkembangan kasus aktif tingkat dunia.
Pada tingkat dunia, perkembangan kasus aktif terlihat sejalan dengan Indonesia. Dimana pergerakan grafiknya cenderung terus meningkat sejak awal hingga Oktober 2020. Lalu, trennya meningkat secara signifikan dan tajam hingga Februari 2021. Dan ini seiring meningkatnya kasus aktif pada negara-negara terbanyak menyumbang kasus aktif dunia diantaranya Amerika Serikat, Rusia, Inggris dan Perancis. Selanjutnya kasus aktif dunia terus menurun hingga hari ini.
"Perlu diingat, penurunan kasus aktif di Indonesia yang cukup signifikan ini juga berkontribusi terhadap penurunan kasus aktif di dunia," Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito memberi keterangan pers perkembangan penanganan Covid-19 di Graha BNPB, Selasa (9/3/2021) yang juga disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Dengan menurunnya kasus aktif baik di tingkat dunia dan Indonesia, diharapkan menjadi awal yang baik bagi perkembangan kedepannya. Kasus aktif diharapkan dapat terus ditekan hingga secara signifikan berkontribusi menekan kasus aktif tingkat dunia.
Untuk itu Wiku mengajak semua pihak untuk bahu membahu dalam menurunkan kasus aktif di Indonesia. "Upaya menurunkan kasus aktif di Indonesia ini merupakan bagian dari kontribusi Indonesia terhadap penurunan kasus aktif dunia," pungkas Wiku.
(ynt)