Revisi UU Pemilu Batal, Burhanuddin Soroti Legitimasti Plt Kepala Daerah
Sabtu, 13 Maret 2021 - 13:43 WIB
"Kalau misalnya pilkada ditarik 2024 itu ada 270 lebih penjabat (plt) yang kita tahu mereka tidak punya legitimasi karena tidak dipilih secara langsung oleh rakyat. Nah bagaimana mungkin kita memberikan mandat kepada penjabat apalagi dalam waktu 2 tahun sampai 2024, sementara mereka bukan penjabat by election, mereka penjabat by selection, itu problem demokrasi karena bagaimana pun kita memberi kewenangan kepada orang, orang tidak memberi hak untuk mengatur kita padahal ratusan penjabat tadi tidak dipilih oleh rakyat," ujarnya.
Burhan melihat, masalah ini tidak dipikirkan pada saat pembuatan UU 2016, termasuk partai-partai oposisi yang tak terdengar suaranya terhadap isu tersebut. "Nah bagaimana dengan penjabat yang dipilih oleh presiden atau menteri yang punya kewenanganan selama sekian tahun pada pilkda 2024. Padahal menurut saya Plt tidak punya kewenangan yang signifikan. Dalam waktu 2 tahun bagimana mungkin mereka hanya formalitas dan seremonial saja," katanya.
Kedua, lanjut Burhan, soal potensi berkurangnya legitimasi Pileg dan Pilpres 2024. Menurutnya, bagaimana pun bisa muncul isu politik, ketika Penjabat ditentukan oleh presiden dan Kemendagri. Isu politiknya adalah apakah ada partai atau pihak tertentu yang diuntungkan secara elektoral, dan sedangkan isu itu berhubungan dengan masa krusial menjelang 2024.
"Tentu ada dugaan politis bahwa penjabat gubernur, bupati/wali kota akan menguntungkan pihak tertentu. Satu prasangka yang gak bisa disalahkan. Nah kalau misalnya prasangka itu meluas, orang bisa mempertanyakan hasil legitimasi Pemilu 2024, nah itu problem itu ya," kata Burhan.
"Jadi kita ingin meningkatkan legitimasi pemilu, caranya adalah hal-hal yang dianggap mengganggu legitimasi, termasuk terpilihnya penjabat yang ditentukan oleh presiden atau mendagri itu seharusnya bisa kita minimalisir," imbuhnya.
Ketiga, Burhan mengatakan, Pemilu dan Pilkada yang dilakukan di tahun yang sama akan muncul isu keamanan. Dia menegaskan, akan menjadi isu krusial. Misalnya ada 500 lebih yang menggelar pilkada kemudian di satu wilayah, kemudian muncul masalah keamanan, maka aparat keamanan tidak bisa membawa aparat dari wilayah sebelah karena di waktu yang sama wilayah terzebut juga sedang menggelar Pilkada.
"Contoh sederhana 2020 Karawang ada pilkada, kalau misalnya ada masalah tidak bisa pihak aparat keamanan diambil dari majalengka, kalau misalnya mereka juga mengadakan agenda pilkada sendiri. Jadi hal-hal semacam ini, termasuk terkait dengan hal teknis ya, mungkin tidak ada agenda pemilu dalam setahun yang sedemikian banyak, meskipun argumen teknis tadi harus didisuksikan bersamaan dengan tiga isu yang tadi saya sebut," katanya.
(abd)
tulis komentar anda