Kampus Mengajar
Jum'at, 12 Maret 2021 - 05:10 WIB
Bramastia
Pemerhati Kebijakan Pendidikan, Dosen Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta)
KAMPUS Mengajar sesungguhnya menjadi program (serta jargon) baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang menarik. Namun, sayang seribu sayang, agenda Kampus Mengajar terlalu sempit cakupannya. Kampus Mengajar menjadi bagian program Kampus Merdeka yang “hanya” melibatkan mahasiswa dalam mengembangkan diri di luar kampus dan melibatkan mahasiswa menjadi pengajar sekolah seluruh penjuru Tanah Air.
Dalam pandangan penulis, kampus terdiri dan berisikan kaum intelektual, baik mahasiswa maupun dosen. Kampus Mengajar merupakan program (dan jargon besar) yang sudah semestinya menempatkan kaum intelektual sebagai agent of change (agen perubahan) kehidupan lewat jalan pendidikan. Kampus Mengajar yang terdiri atas kaum intelektual, kini mendapatkan sorotan tajam dan posisinya sedang berada di ambang pertaruhan.
Kaum intelektual kini ada pada titik persimpangan dan menjadi bandul penentu masa depan bangsa Indonesia yang sedang meradang di tengah krisis kepercayaan. Di sinilah sesungguhnya peran intelektual sedang diminta tanggung jawab dalam proses penyadaran diri atas ketidaksadarannya. Peranan kaum intelektual melalui program Kampus Mengajar harus mampu menggugah rakyat Indonesia agar sadar dan bangkit dari segala keterpurukan moral serta etika berbangsa dan bernegara.
Menurut Gramsci (1972) yang mempunyai pandangan bahwa tidak akan mungkin kesadaran kelas terjadi, jika tidak disadarkan oleh orang lain, barangkali sedang terjadi. Bagi Gramsci, proses penyadaran kelas sesungguhnya tidak terjadi secara natural. Konon, revolusi harus diciptakan dan dipersiapkan sedemikian rupa. Kampus Mengajar harus menjawab pertanyaan Gramsci tentang siapa yang patut memberikan penyadaran kelas dan bagaimana cara menyadarkannya.
Mencerahkan Diri
Ironisnya, bagaimana jika Kampus Mengajar mengalami ketidaksadaran diri atas perilaku yang mirip dengan kelas pekerja? Kaum intelektual kini sebagai pelaku Kampus Mengajar mengalami ketidaksadaran atas perilaku berbasis proyek yang jauh dari nilai-nilai idealismenya. Padahal, pandangan Gramsci selalu menekankan tentang peran kaum intelektual untuk selalu memberi penyadaran dan pencerahan kelas. Kaum intelektual yang ada dalam kelompok civil society atau kelompok masyarakatlah yang harus menjadi roda penggerak kejujuran melalui agenda Kampus Mengajar.
Melalui Kampus Mengajar, kaum intelektual harus berani menebarkan kejujuran. Manipulasi kesadaran jangan terjadi pada kaum intelektual karena akan menjadi tamparan bagi komunitasnya. Tugas kaum intelektual harus terus menerus guna membangun kesadaran kelas dan jangan sampai kesadarannya teralienasi akut. Ia harus mengedepankan nilai dan moralitas yang selama ini didengungkan. Karena pemilik simbol intelektual melekat pada diri intelektual sehingga jangan sampai melakukan kerja akal tanpa moral atau bahkan melakukan pengkhianatan kaum intelektual.
Pemerhati Kebijakan Pendidikan, Dosen Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta)
KAMPUS Mengajar sesungguhnya menjadi program (serta jargon) baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang menarik. Namun, sayang seribu sayang, agenda Kampus Mengajar terlalu sempit cakupannya. Kampus Mengajar menjadi bagian program Kampus Merdeka yang “hanya” melibatkan mahasiswa dalam mengembangkan diri di luar kampus dan melibatkan mahasiswa menjadi pengajar sekolah seluruh penjuru Tanah Air.
Dalam pandangan penulis, kampus terdiri dan berisikan kaum intelektual, baik mahasiswa maupun dosen. Kampus Mengajar merupakan program (dan jargon besar) yang sudah semestinya menempatkan kaum intelektual sebagai agent of change (agen perubahan) kehidupan lewat jalan pendidikan. Kampus Mengajar yang terdiri atas kaum intelektual, kini mendapatkan sorotan tajam dan posisinya sedang berada di ambang pertaruhan.
Kaum intelektual kini ada pada titik persimpangan dan menjadi bandul penentu masa depan bangsa Indonesia yang sedang meradang di tengah krisis kepercayaan. Di sinilah sesungguhnya peran intelektual sedang diminta tanggung jawab dalam proses penyadaran diri atas ketidaksadarannya. Peranan kaum intelektual melalui program Kampus Mengajar harus mampu menggugah rakyat Indonesia agar sadar dan bangkit dari segala keterpurukan moral serta etika berbangsa dan bernegara.
Menurut Gramsci (1972) yang mempunyai pandangan bahwa tidak akan mungkin kesadaran kelas terjadi, jika tidak disadarkan oleh orang lain, barangkali sedang terjadi. Bagi Gramsci, proses penyadaran kelas sesungguhnya tidak terjadi secara natural. Konon, revolusi harus diciptakan dan dipersiapkan sedemikian rupa. Kampus Mengajar harus menjawab pertanyaan Gramsci tentang siapa yang patut memberikan penyadaran kelas dan bagaimana cara menyadarkannya.
Mencerahkan Diri
Ironisnya, bagaimana jika Kampus Mengajar mengalami ketidaksadaran diri atas perilaku yang mirip dengan kelas pekerja? Kaum intelektual kini sebagai pelaku Kampus Mengajar mengalami ketidaksadaran atas perilaku berbasis proyek yang jauh dari nilai-nilai idealismenya. Padahal, pandangan Gramsci selalu menekankan tentang peran kaum intelektual untuk selalu memberi penyadaran dan pencerahan kelas. Kaum intelektual yang ada dalam kelompok civil society atau kelompok masyarakatlah yang harus menjadi roda penggerak kejujuran melalui agenda Kampus Mengajar.
Melalui Kampus Mengajar, kaum intelektual harus berani menebarkan kejujuran. Manipulasi kesadaran jangan terjadi pada kaum intelektual karena akan menjadi tamparan bagi komunitasnya. Tugas kaum intelektual harus terus menerus guna membangun kesadaran kelas dan jangan sampai kesadarannya teralienasi akut. Ia harus mengedepankan nilai dan moralitas yang selama ini didengungkan. Karena pemilik simbol intelektual melekat pada diri intelektual sehingga jangan sampai melakukan kerja akal tanpa moral atau bahkan melakukan pengkhianatan kaum intelektual.
Lihat Juga :
tulis komentar anda