Indonesia, Ethiopia, dan Indeks Pangan
Minggu, 07 Maret 2021 - 06:30 WIB
Sementara itu, GHI mengukur dan melacak kelaparan secara komprehensif di level global, regional, dan nasional. Skor GHI didasarkan 4 pilar: kurang gizi, anak kurus (wasting), stunting, dan tingkat kematian balita. Mencakup 132 negara (25 di antaranya tak tersedia data), GHI menilai kemajuan/kemunduran dalam memerangi kelaparan. Pada 2020 Indonesia di peringkat 70 dari 107 negara, jauh meninggalkan Ethiopia (92) dan Zimbabwe (104). Di ASEAN, Indonesia memang kalah dari Thailand (48), Malaysia (59), Vietnam (61), dan Filipina (69). Indonesia hanya lebih baik dari Bangladesh (75), Kamboja (76), Myamnar (78), dan Laos (104). Ini karena jumlah stunting, anak kurus, dan kurang gizi masih tinggi. Dari tahun ke tahun penurunan ketigannya amat lambat.
Dari konfigurasi ini tampak bahwa posisi Indonesia sebenarnya tidak lebih buruk dari Ethiopia dan Zimbabwe. Dalam indeks ketahanan pangan dan indeks kelaparan, dua parameter utama di level global dalam mengukur kinerja pangan sebuah negara, posisi Indonesia jauh lebih baik dari dua negara tersebut. Di level ASEAN, Indonesia memang kalah dengan negara-negara yang dulu berada di bawah kita. Kenyataan ini harus dilihat sebagai tantangan dan pelecut untuk berbenah di masa depan: bagaimana meningkatkan kinerja pembangunan pangan untuk mendongkrak kinerja. Agar Indonesia lebih baik lagi.
Indeks, apapun namanya, akan memudahkan tatkala hendak menilai sesuatu, terutama membandingkan dalam times series atau dengan negara lain. Tentu indeks punya keterbatasan, karena ada simplifikasi, terutama terkait ketersediaan data. Tidak semua data yang diperlukan mengukur indeks tersedia. Data yang tersedia pun belum tentu bisa diperbandingkan antara satu dengan yang lain. Bahkan, dalam sejumlah indeks pangan global, tersedia parameter adjusment expert. Ini antara lain untuk menjembatani jurang yang lebar antara ketersediaan data yang komplet antara negara satu dengan lain.
Bagi publik, ada baiknya tidak langsung menelan mentah-mentah apa yang tersaji di media. Untuk memastikan bahwa informasi yang tersaji di media itu benar atau tidak, tak ada salahnya untuk melakukan cek dan recek ke sumber aslinya. Terlepas dari aneka keterbatasan, pelbagai indeks pangan global itu bisa dijadikan salah satu indikator untuk melihat bagaimana kinerja pembangunan Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Membandingkan indeks tentu harus fair, tidak bisa dicampur aduk. FSI suatu negara harus dibandingkan dengan negara lain, tak bisa dicampur dengan GFSI atau GHI.
Lebih dari itu, agar lebih berdaya guna, Indonesia telah mengembangkan indeks sendiri: Indeks Ketahanan Pangan. Terdiri tiga pilar (ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan), indeks mencakup 9 indikator. Indeks ini berfungsi untuk mengukur capaian pembangunan ketahanan pangan di suatu wilayah, mengukur kinerja daerah dalam memenuhi urusan wajib pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan merupakan salah satu alat dalam menentukan prioritas daerah dan prioritas intervensi program. Meski belum sempurna, ini adalah salah satu piranti penting untuk mengukur kinerja.
Dari konfigurasi ini tampak bahwa posisi Indonesia sebenarnya tidak lebih buruk dari Ethiopia dan Zimbabwe. Dalam indeks ketahanan pangan dan indeks kelaparan, dua parameter utama di level global dalam mengukur kinerja pangan sebuah negara, posisi Indonesia jauh lebih baik dari dua negara tersebut. Di level ASEAN, Indonesia memang kalah dengan negara-negara yang dulu berada di bawah kita. Kenyataan ini harus dilihat sebagai tantangan dan pelecut untuk berbenah di masa depan: bagaimana meningkatkan kinerja pembangunan pangan untuk mendongkrak kinerja. Agar Indonesia lebih baik lagi.
Indeks, apapun namanya, akan memudahkan tatkala hendak menilai sesuatu, terutama membandingkan dalam times series atau dengan negara lain. Tentu indeks punya keterbatasan, karena ada simplifikasi, terutama terkait ketersediaan data. Tidak semua data yang diperlukan mengukur indeks tersedia. Data yang tersedia pun belum tentu bisa diperbandingkan antara satu dengan yang lain. Bahkan, dalam sejumlah indeks pangan global, tersedia parameter adjusment expert. Ini antara lain untuk menjembatani jurang yang lebar antara ketersediaan data yang komplet antara negara satu dengan lain.
Bagi publik, ada baiknya tidak langsung menelan mentah-mentah apa yang tersaji di media. Untuk memastikan bahwa informasi yang tersaji di media itu benar atau tidak, tak ada salahnya untuk melakukan cek dan recek ke sumber aslinya. Terlepas dari aneka keterbatasan, pelbagai indeks pangan global itu bisa dijadikan salah satu indikator untuk melihat bagaimana kinerja pembangunan Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Membandingkan indeks tentu harus fair, tidak bisa dicampur aduk. FSI suatu negara harus dibandingkan dengan negara lain, tak bisa dicampur dengan GFSI atau GHI.
Lebih dari itu, agar lebih berdaya guna, Indonesia telah mengembangkan indeks sendiri: Indeks Ketahanan Pangan. Terdiri tiga pilar (ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan), indeks mencakup 9 indikator. Indeks ini berfungsi untuk mengukur capaian pembangunan ketahanan pangan di suatu wilayah, mengukur kinerja daerah dalam memenuhi urusan wajib pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan merupakan salah satu alat dalam menentukan prioritas daerah dan prioritas intervensi program. Meski belum sempurna, ini adalah salah satu piranti penting untuk mengukur kinerja.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda