Indonesia, Ethiopia, dan Indeks Pangan

Minggu, 07 Maret 2021 - 06:30 WIB
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), Khudori. Foto/Koran SINDO
Khudori

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan

Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)

PUBLIK tersentak kala Rektor IPB University Arief Satria membeberkan posisi Indonesia dalam sejumlah indeks global terkait pangan. Dalam Food Sustainability Index (FSI) 2018, posisi Indonesia (60 dari 67 negara) kalah jauh dari Ethiopia (27) dan Zimbabwe (30), dua negara yang puluhan tahun lalu identik dengan kelaparan. Posisi puncak FSI diduduki oleh Prancis. Sontak, publik terheran-heran. Publik kemudian mempertanyakan apa saja yang dilakukan pemerintah, terutama Kementerian Pertanian, selama ini sehingga kondisi pangan Indonesia tersalip oleh dua negara terbelakang itu?

Pertanyaannya, benarkah kinerja pembangunan pangan Indonesia kalah jauh dari Ethiopia dan Zimbabwe? Untuk menjawab ini, mesti dielaborasi terlebih dahulu apa itu indeks pangan. Indeks sebenarnya hanya salah satu alat untuk mengukur sesuatu, salah satunya mengukur kinerja pembangunan pangan. Di level global, ada banyak indeks terkait pangan. Selain FSI, ada Global Food Security Index (GFSI), Global Hunger Index (GHI), Rice Bowl Index (RBI), Index Mundi, dan yang lain. Kegunaannya tentu berbeda.



FSI dikembangkan BCFN Foundation dan Economist Intelligence Unit sejak 2016 untuk mempromosikan pengetahuan tentang keberlanjutan pangan. Indeks ini gabungan data kualitatif dan kuantitatif tiga pilar (tantangan nutrisi, pertanian berkelanjutan, dan limbah makanan) berdasarkan 37 indikator dan 89 sub-indikator. Indeks membandingkan 67 negara di seluruh dunia untuk menyoroti praktik terbaik lewat tiga pilar dikaitkan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG’s).

FSI membagi tiga klaster negara: kaya, menengah, dan miskin. Ethiopia dan Zimbabwe masuk negara miskin, sedangkan Indonesia di klaster negara menengah. Dari tiga pilar, posisi Indonesia berada di bawah rata-rata. Sebaliknya, Ethiopia dan Zimbabwe superior di pilar limbah pangan. Zimbabwe juga baik pada pilar pertanian berkelanjutan. Ditilik dari perspektif jangka panjang, Zimbabwe dan Ethiopia lebih baik dari Indonesia. Pekerjaan rumah Indonesia bukan saja sebagai negara penyumbang limbah pangan kedua terbesar (300 kg per orang/tahun) setelah Arab Saudi, tapi juga tiga beban gizi (stunting, gizi buruk, dan balita kurus), dan keterbatasan dan kerentanan sumber daya alam.

Untuk kepentingan jangka pendek, GFSI dan GHI lebih berguna dari FSI. GFSI merupakan ukuran holistik dari sistem pangan nasional, berfokus pada pemeriksaan dan analisis pendorong di balik ketahanan pangan di 113 negara di dunia. Lewat empat pilar (ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan keamanan pangan, dan sumber daya alam dan resiliensi), 26 kategori, dan 59 indikator (kualitatif dan kuantitatif) diukur sejauhmana suatu negara mampu memenuhi kebutuhan kalori dan gizi penduduknya. Diperiksa pula dampak faktor eksternal, seperti infrastruktur pertanian, stabilitas politik dan risiko iklim.

Pada 2020, Indonesia di posisi 65, jauh dari peringkat Ethiopia (108) yang dekat buncit. Zimbabwe tidak ada data. Pilar ketersediaan (34) dan keterjangkauan (55) Indonesia baik, sementara kualitas dan keamanan pangan (89), dan sumber daya alam dan resiliensi (109) masih menjadi pekerjaan besar. Sebaliknya, pada keempat pilar posisi Ethiopia amat buruk: di peringkat 101-109. Benar bahwa di ASEAN posisi Indonesia hanya lebih baik dari Myanmar (70), Filipina (73), Kamboja (81), Bangladesh (84), dan Laos (90). Kalah dari Singapura (19), Malaysia (43), Thailand (51), dan Vietnam (63).
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More