Demokrasi Indonesia Masih Malu-malu
Sabtu, 06 Maret 2021 - 14:18 WIB
JAKARTA - Proses demokrasi di Indonesia dan masa depannya hingga kini kerap menjadi sorotan berbagai pihak, seperti akademisi, pengamat, politisi, cendekiawan sampai masyarakat. Menariknya isu demokrasi jugalah yang menjadi alasan Moya Institute menggelar diskusi virtual bertema demokrasi Indonesia di Simpang Jalan? pada Jumat (5/3/2021).
Dalam pembuka diskusi, Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto memaparkan tentang situasi demokrasi di Tanah Air yang kini terus berubah ditandai dengan fenomena banyaknya partai politik baru muncul. "Oleh sebab itu sebetulnya turut memperkaya khasanan demokrasi di Indonesia dengan segala perisfiwa politik terjadi, apalagi pada saat pandemi COVID-19 sekarang yang membuat jadi terbatas," ujar Hery.
Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Anis Matta yang didapuk sebagai pembicara utama mengatakan selama 20 tahun terakhir di Indonesia, perubahan sosial terasa lebih cepat dan besar ketimbang reformasi politik.
Penyebabnya, menurut Anis Matta, kondisi struktural dengan bonus demografi, lalu terbentukya kelas menengah baru yang jumlahnya cukup banyak, tren pertumbuhan populasi urban, serta infiltrasi global.
"Meski begitu, reformasi ketatanegaraan juga bisa menciptakan keseimbangan baru dan stabilitas politik Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia," jelas Anis Matta.
Sementara itu Wakil Ketua Parta Gelora Indonesia yang juga narasumber diskusi, Fahri Hamzah menjelaskan sekarang ini elite di Indonesia tidak menunjukkan keseriusan berdemokrasi. Menurut Fahri, kondisi begitu terjadi sebab telah terlalu lamanya Indonesia dalam kungkungan sistem politik kerajaan sekaligus mengalami masa kolonialisme imperialisme.
"Cita rasa, kebebasan melemah, dan harus mengikuti maunya negara sedang terjadi di Indonesia. Itu sama saja dengan kudeta yang harus dicemaskan," kata Fahri.
Narasumber lainnya, Pengamat Politik sekaligus Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, Komaruddin Hidayat mengungkapkan proses demokrasi di Indonesia terasa terlalu mengikat dan normatif karena menerapkan referensi dari Barat.
"Jadinya demokrasi di Indonesia lebih dekat ke informasi untuk mempengaruhi opini masyarakat, jadi market. Informasi bertemu dengan realitas masyarakat yang pluralis dan relijius membuat kadang sinkron, kadang benturan," ujar Komaruddin.
Dalam pembuka diskusi, Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto memaparkan tentang situasi demokrasi di Tanah Air yang kini terus berubah ditandai dengan fenomena banyaknya partai politik baru muncul. "Oleh sebab itu sebetulnya turut memperkaya khasanan demokrasi di Indonesia dengan segala perisfiwa politik terjadi, apalagi pada saat pandemi COVID-19 sekarang yang membuat jadi terbatas," ujar Hery.
Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Anis Matta yang didapuk sebagai pembicara utama mengatakan selama 20 tahun terakhir di Indonesia, perubahan sosial terasa lebih cepat dan besar ketimbang reformasi politik.
Penyebabnya, menurut Anis Matta, kondisi struktural dengan bonus demografi, lalu terbentukya kelas menengah baru yang jumlahnya cukup banyak, tren pertumbuhan populasi urban, serta infiltrasi global.
"Meski begitu, reformasi ketatanegaraan juga bisa menciptakan keseimbangan baru dan stabilitas politik Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia," jelas Anis Matta.
Sementara itu Wakil Ketua Parta Gelora Indonesia yang juga narasumber diskusi, Fahri Hamzah menjelaskan sekarang ini elite di Indonesia tidak menunjukkan keseriusan berdemokrasi. Menurut Fahri, kondisi begitu terjadi sebab telah terlalu lamanya Indonesia dalam kungkungan sistem politik kerajaan sekaligus mengalami masa kolonialisme imperialisme.
"Cita rasa, kebebasan melemah, dan harus mengikuti maunya negara sedang terjadi di Indonesia. Itu sama saja dengan kudeta yang harus dicemaskan," kata Fahri.
Narasumber lainnya, Pengamat Politik sekaligus Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, Komaruddin Hidayat mengungkapkan proses demokrasi di Indonesia terasa terlalu mengikat dan normatif karena menerapkan referensi dari Barat.
"Jadinya demokrasi di Indonesia lebih dekat ke informasi untuk mempengaruhi opini masyarakat, jadi market. Informasi bertemu dengan realitas masyarakat yang pluralis dan relijius membuat kadang sinkron, kadang benturan," ujar Komaruddin.
tulis komentar anda