Gaok Mencari Pewaris
Kamis, 18 Februari 2021 - 15:21 WIB
"Dari ketiga itu, apakah dia selalu terbarukan, dalam penampilan pentasnya, cara membawakannya, bahkan sering kali di dalam kostum dan properti menyesuaikan, tapi juga isi yang ditampilkan, dia mengolah yang ada pada zamannya," katanya.
Kasus Gaok, menurutnya, bisa dipengaruhi akibat gap atau jarak antara generasi tua dan muda. "Ini mesti diteliti lanjut, dari pengalaman tradisi lisan yang lain, tradisi itu hanya dibawakan oleh yang tua-tua, kemudian momennya, pentas kehadirannya, momen yang tidak milenial, yang serius, yang tua-tua gitu kan. Kadang anak mudanya juga akhirnya, ah ini mah punya orang tua, saya ga termasuk, saya ga minat," ujar Pudentia.
Dari cerita Aki Rukmin, upaya pembenahan (modernisasi) secara mandiri ia lakukan agar Gaok tidak tergerus zaman. Hal itu di antaranya manajemen pengelolaan organisasi (sedari awal, grup Gaok semodel Go-Show, alias langsung tampil). Aki Rukmin membuat sanggar yang dinamakan "Sinar Kiara Rambay". Sanggar yang berarti bendungan sumber mata air ini, ia jalankan dengan intuisi dan kemampuannya sendiri. Untuk meramaikan pertunjukan, Aki Rukmin menggandeng jasa pihak lain, sebagai musik pengiring yakni sanggar wayang golek Giri Cempaka. Biar lebih ciamik dari seni hiburan.
Langkah berikutnya, awal 2000-an, Aki Rukmin tidak segan mengkombinasikan Gaok dengan seni kontemporer lain. Ia padu padan unsur lagu, musik, bahkan banyolan komedi. Unsur yang sebenarnya tidak terpikirkan dari awal model Gaok, yang kala itu sakral untuk ritual maupun dakwah. Namun demi tuntutan atraktif, sesi komedi dimasukkan. Unsur tambahan musik dan komedi juga sebagai trik, mengingat faktor kesehatan Aki Rukmin yang termakan usia, sehingga harus pintar menjaga stamina saat melantunkan wawacan yang memang memiliki nada tinggi melengking.
Sayangnya, upaya ini tidak semulus perkiraan. Bahkan, sempat tercetus kolaborasi Gaok dengan seni pertunjukan yang lebih milenial, seperti Hip-Hop (ide seorang Rapper Enka, asli Desa Sukaraja, Majalengka), namun hanya sebatas wacana.
Aki Rukmin kini tengah nurunkeun elmu (mewariskan ilmu) kepada Udin dan Andi, yang digadang-gadang sebagai penerus sepeninggal Aki Rukmin. Proses regenerasi ini bukan tanpa kendala. "Emang susah banget, untuk ngapalin pupuhnya itu susah. Kalau saya 1-2 pupuh doang," ujar Udin. "Kita ga bisa ngejar suara Pak Rukmin yang memang khas, itu keunikannya, dia suaranya tinggi. Jangan terlalu tinggi sehingga orang umum bisa mengejarnya, rancagnya," katanya.
Hal ini diamini pak Andi yang diplot menjadi dalang atau peng-rawit Gaok. "Hapal ke teksnya tapi ke tinggi rendahnya nada pada bait yang susah," kata Andi. Pada praktiknya, ia mengaku hanya berupaya menguasai beberapa jenis pupuh. Itu pun karena masih terpakai jika dia mendapatkan order panggilan untuk kidung di acara pernikahan masyarakat desa. "Dhandhanggula Sinom pihak istri, di acara nikah pengantin," katanya.
Pelestarian dengan mewariskan Gaok (baik tradisi dan wawacan dengan aksara aslinya) bukan pekerjaan rumah sekejap. "Kalau dibawa meninggal (penutur tradisi lisan), selesai sudah, karena ilmunya lama itu," ujar Pudentia.
Mengapa penting? Pudentia beralasan tradisi lisan dan tradisi tertulis (aksara) membentuk kebudayaan dan peradaban ke depan. "Dia hidup dalam memori orang-orang, dia adalah bagian dari komunitas, bagian dari sosial budaya, dia selalu berkembang, bergerak, kalau kita mengetahui (betapa pentingnya pelestarian seni), gimana ciri-nya, mitologinya, way of life-nya, bagaimana memori yang ada di dalam pikiran, dan sebagainya," kata Pudentia.
Menjawab Tantangan Zaman
Kasus Gaok, menurutnya, bisa dipengaruhi akibat gap atau jarak antara generasi tua dan muda. "Ini mesti diteliti lanjut, dari pengalaman tradisi lisan yang lain, tradisi itu hanya dibawakan oleh yang tua-tua, kemudian momennya, pentas kehadirannya, momen yang tidak milenial, yang serius, yang tua-tua gitu kan. Kadang anak mudanya juga akhirnya, ah ini mah punya orang tua, saya ga termasuk, saya ga minat," ujar Pudentia.
Dari cerita Aki Rukmin, upaya pembenahan (modernisasi) secara mandiri ia lakukan agar Gaok tidak tergerus zaman. Hal itu di antaranya manajemen pengelolaan organisasi (sedari awal, grup Gaok semodel Go-Show, alias langsung tampil). Aki Rukmin membuat sanggar yang dinamakan "Sinar Kiara Rambay". Sanggar yang berarti bendungan sumber mata air ini, ia jalankan dengan intuisi dan kemampuannya sendiri. Untuk meramaikan pertunjukan, Aki Rukmin menggandeng jasa pihak lain, sebagai musik pengiring yakni sanggar wayang golek Giri Cempaka. Biar lebih ciamik dari seni hiburan.
Langkah berikutnya, awal 2000-an, Aki Rukmin tidak segan mengkombinasikan Gaok dengan seni kontemporer lain. Ia padu padan unsur lagu, musik, bahkan banyolan komedi. Unsur yang sebenarnya tidak terpikirkan dari awal model Gaok, yang kala itu sakral untuk ritual maupun dakwah. Namun demi tuntutan atraktif, sesi komedi dimasukkan. Unsur tambahan musik dan komedi juga sebagai trik, mengingat faktor kesehatan Aki Rukmin yang termakan usia, sehingga harus pintar menjaga stamina saat melantunkan wawacan yang memang memiliki nada tinggi melengking.
Sayangnya, upaya ini tidak semulus perkiraan. Bahkan, sempat tercetus kolaborasi Gaok dengan seni pertunjukan yang lebih milenial, seperti Hip-Hop (ide seorang Rapper Enka, asli Desa Sukaraja, Majalengka), namun hanya sebatas wacana.
Aki Rukmin kini tengah nurunkeun elmu (mewariskan ilmu) kepada Udin dan Andi, yang digadang-gadang sebagai penerus sepeninggal Aki Rukmin. Proses regenerasi ini bukan tanpa kendala. "Emang susah banget, untuk ngapalin pupuhnya itu susah. Kalau saya 1-2 pupuh doang," ujar Udin. "Kita ga bisa ngejar suara Pak Rukmin yang memang khas, itu keunikannya, dia suaranya tinggi. Jangan terlalu tinggi sehingga orang umum bisa mengejarnya, rancagnya," katanya.
Hal ini diamini pak Andi yang diplot menjadi dalang atau peng-rawit Gaok. "Hapal ke teksnya tapi ke tinggi rendahnya nada pada bait yang susah," kata Andi. Pada praktiknya, ia mengaku hanya berupaya menguasai beberapa jenis pupuh. Itu pun karena masih terpakai jika dia mendapatkan order panggilan untuk kidung di acara pernikahan masyarakat desa. "Dhandhanggula Sinom pihak istri, di acara nikah pengantin," katanya.
Pelestarian dengan mewariskan Gaok (baik tradisi dan wawacan dengan aksara aslinya) bukan pekerjaan rumah sekejap. "Kalau dibawa meninggal (penutur tradisi lisan), selesai sudah, karena ilmunya lama itu," ujar Pudentia.
Mengapa penting? Pudentia beralasan tradisi lisan dan tradisi tertulis (aksara) membentuk kebudayaan dan peradaban ke depan. "Dia hidup dalam memori orang-orang, dia adalah bagian dari komunitas, bagian dari sosial budaya, dia selalu berkembang, bergerak, kalau kita mengetahui (betapa pentingnya pelestarian seni), gimana ciri-nya, mitologinya, way of life-nya, bagaimana memori yang ada di dalam pikiran, dan sebagainya," kata Pudentia.
Menjawab Tantangan Zaman
Lihat Juga :
tulis komentar anda